Pergolakan Bali Melawan Belanda (Perlawanan Kerajaan-kerajaan di Bali pada Periode 1800-an hingga 1900-an)


1.         Terbentuknya Kerajaan-kerajaan di Bali

Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terdiri atas satu pulau bernama Bali dan pulau-pulau kecil di sekitarnya yang memiliki sejarah panjang berkaitan dengan eksistensi kerajaan-kerajaannya. Provinsi Bali terletak di timur pulau Jawa dan merupakan pusat perkembangan agama Hindu di Indonesia.  Dalam sejarah Bali, sejak berakhirnya masa prasejarah di Indonesia yang ditandai dengan masuknya tulisan dan ajaran agama Hindu ke Bali, telah berdiri kerajaan-kerajaan di Bali yang sebelumnya diawali oleh lahirnya kerajaan Bali. Kerajaan Bali kemudian hancur karena diserang oleh ekspedisi Gadjah Mada dari Majapahit pada abad ke-14.


Ekspedisi Gadjah Mada yang mengalahkan pemimpin pemerintahan Bali saat itu, Raja Bedahulu, Kebo Iwa, berhasil membentuk pemerintahan baru di Bali di bawah bendera Kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh Ketut Sri Kresna Kepakisan. Pusat pemerintahan kemudian dipindahkan ke Gelgel (Klungkung) dan kemudian berhasillah dicapai kejayaan Kerajaan Gelgel di bawah pimpinan. Dalem Watu Renggong. Dinasti Kerajaan lalu berlanjut ke Kerajaan Klungkung. Pada dinasti inilah, Bali memiliki kerajaan-kerajaan kecil yang setelah kemerdekaan disebut sebagai kabupaten.
     
Eksistensi kerajaan-kerajaan yang berafiliasi dengan ajaran agama Hindu ini terutama terjadi pada menjelang pertengahan abad ke-19. Di pantai utara, terdapat Kerajaan Buleleng. Di ujung timur Pulau Bali terdapat Kerajaan Karangasem dan di pantai-pantai tenggara terdapat Kerajaan Klungkung dan Kerajaan Gianyar. Di sebelah selatan terdapat Kerajaan Badung dan Kerajaan Jembrana, Tabanan, Tabanan dan Mengwi berada di pantai barat daya pulau ini. Kerajaan-kerajaan tersebut juga meluaskan daerah kekuasaannya keluar Bali hingga Lombok dan sekitarnya.
   
Kondisi sosial masyarakat di Bali pada masa tersebut mencakup kataatan pada nilai-nilai religiusitas yang dikembangkan sejak teranutnya kepercayaan animisme dan dinamisme hingga masuknya ajaran agama Hindu. Hierarki birokrasi menjalankan tugasnya masing-masing sesuai dengan ketentuan adat dan kesepakatan bersama. Budaya dan tradisi masyarakat Bali yang kita kenal sekarang, sedikit banyak merupakan warisan dari apa yang dikembangkan oleh masyarakat Bali pada periode-periode tersebut.


2.    Kondisi Bali Sebelum Perlawanan Menghadapi Usaha Penguasaan oleh Belanda  dan Faktor Penyebab Usaha Penguasaan Bali oleh Belanda

     
Kerajaan-kerajaan yang telah disebutkan pada bagian akhir poin II.1 merupakan kerajaan-kerajaan yang merdeka dan berdaulat. Sehingga kemudian bisa mengatur dan menentukan sendiri arah kebijakan luar negerinya. Hubungan antara raja-raja di Bali dengan Belanda telah terjalin sejak abad ke-17, namun bukan berbentuk hubungan politik yang kemudian dapat berakhir pada penguasaan sepihak. Hubungan antara raja-raja Bali dengan Pemerintah Hindia Belanda hingga pada periode 1830-an hanyalah dalam bidang penyewaan orang Bali untuk dijadikan balatentara VOC maupun Pemerintah Hindia Belanda.
     
Di akhir tahun 1840, dua faktor meyakinkan Belanda untuk menempatkan Bali berada di bawah pengaruh kekuasaannya. Yaitu perampasan dan perampokan yang dilakukan oleh orang-orang Bali terhadap kapal kapal-kapal yang terdampar dan adanya kemungkinan kekuatan Eropa lainnya akan menguasai Bali.
     
Pada awalnya, tujuan utama usaha penguasaan Bali oleh Belanda bukan murni sebagai usaha mengambil alih kekuasaan dari para raja yang memegang kedaulatan. Belanda hanya ingin menancapkan dasar hukum bagi Bali agar terhindar dari pengaruh negara barat lainnya. Namun lama kelamaan, seiring berjalannya waktu, Belanda mulai untuk melakukan usaha pengusaan secara langsung.
       
Dalam bidang politik, hubungan antara Bali dan Belanda baru terjadi setelah Raja Karangasem pada 1841 meminta bantuan pada Belanda untuk memulihkan kekuasaannya di Lombok. Hal ini oleh Pemerintah Hindia Belanda dijadikan kesempatan untuk membuka perjanjian yang kemudian akan menjadi ikatan untuk mengadakan hubungan politik. Dalam perjanjian tersebut dinyatakan bahwa raja-raja di Bali mengakui bahwa kerajaan-kerajaan Bali berada di bawah kekuasaan negara Belanda; raja-raja Bali tidak akan menyerahkan kerajaannya kepada bangsa-bangsa Eropa lain; dan raja memberi izin pengibaran bendera Belanda di daerahnya.
            
Dalam perkembangan selanjutnya, kendala perampasan kapal terdampar Belanda oleh orang-orang Bali (tawan karang) menjadi hal yang dipermasalahkan Belanda. Seperti kapal-kapal Belanda yang dirampas pada 1841 di pantai wilayah Badung. Meskipun pada 1843 raja-raja Buleleng, Karangasem dan raja lain telah meneken perjanjian penghapusan tawan karang, tapi tak pernah dilaksanakan secara sungguh-sungguh. Perampasan kapal-kapal Belanda juga terjadi pada 1844 di pantai Prancak (Bali Barat) dan Sangsit (Buleleng bagian Timur). Penolakan Bali untuk menghapuskan tawan karang berdampak pada kegelisahan dari diri raja-raja. Patih Buleleng I Gusti Ketut Jelantik dengan tegas menolak menghapuskan tawan karang. Pasukan-pasukan tempur disiapkan untuk mengantisipasi serangan Belanda. Ultimatum 3x24 jam yang berlaku sejak 24 Juni 1846 dengan tuntutan agar Raja Buleleng mengakui kekuasaan Belanda, menghapuskan tawan karang dan melindungi aktivitas perdagangan Hindia Belanda. Penentangan Bali terus bergulir hingga batas ultimatum terlampaui. Selain Raja Buleleng, Kerajaan Karangasem menyatakan siap menentang Pemerintah Hindia Belanda.


3. Jalannya Pertempuran Bali Melawan Belanda

        
Pada 27 Juni 1846, telah tiba di pantai Buleleng pasukan Belanda berkekuatan 1.700 orang yang berhasil duduki istana raja Buleleng di Singaraja pada dua hari setelah pendaratan. Raja Buleleng dan Gusti Jelantik mundur ke Jagaraga dan berdamai dengan Belanda. Perjanjian perdamaian mengharuskan Raja Buleleng menghapuskan benteng-bentengnya yang pernah digunakan untuk melawan Belanda, mengganti ¾ biaya perang serta memperbolehkan penempatan serdadu-serdadu Belanda di wilayah Buleleng. Hal ini diikuti Raja Karangasem dengan mengganti ¼ biaya perang.
     
Kesepakatan tersebut tidak dijalankan oleh Raja Buleleng dan hanya dijadikan sebagai siasat mengulur waktu. Pembayaran ganti rugi tak pernah dilakukan dan  persiapan militer kerajaan-kerajaan Bali semakin ditingkatkan. Raja Klungkung yang berpengaruh juga menunjukkan sikap menentang Belanda, semakin memperkokoh pertahanan Bali dari serangan pihak luar di saat raja-raja di Bali semakin menunjukkan kedaulatan tanpa memperhatikan butir perjanjian yang mengisyaratkan tunduknya Bali pada Belanda. Apalagi sewaktu penarikan pasukan Belanda kembali ke Jawa, persiapan militer kerajaan-kerajaan Bali semakin ditingkatkan.
      
Situasi genting yang ditunjukkan dengan perlawanan dalam kesepakatan perjanjian, menimbulkan kegelisahan pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Raja-raja dari Buleleng, Karangasem dan Klungkung mendapat ultimatum agar memenuhi tuntutan Belanda di antaranya agar segera menyerahkan serdadu-serdadu Belanda yang melarikan diri, meminta maaf, mengganti kerugian kapal Belanda yang terkena tawan karang dan diharuskan membayar kerugian perang seperti tercantum dalam perjanjian 1846.
    
Menghadapi ultimatum tersebut, raja-raja Bali tak memperdulikannya. Maka jadilah pasukan Belanda mendarat di Sangsit pada 6 Juni 1848 dan pada hari-hari berikutnya. Pasukan Bali terdesak karena jumlah pasukan Belanda lebih banyak. Pasukan Belanda ini lebih besar jika dibandingkan pasukan pada 1846. Setelah Timur Sangsit dan Bungkulan dapat diduduki Belanda, Jagaraga sebagai benteng terkuat Buleleng menjadi sasaran serangan. Kecuali bangunan benteng yang kokoh, empat benteng berangkai di Jagaraja yang membentuk satu garis pertahanan itu terletak di daerah yang sulit dicapai oleh musuh. Dalam serangan di benteng Jagaraga tersebut, pasukan Bali menewaskan lima opsir dan 74 serdadu Belanda. Jenderal Der Wijck yang memimpin pasukan darat Belanda tidak berhasil mendesak pasukan Bali meninggalkan garis pertahanannya sehingga Belanda kembali ke pantai.
   
Kegetiran pasukan Belanda yang mundur, semakin dipersulit dengan memblokade pasukan Belanda. Kesulitan pengangkutan alat-alat perang karena menipisnya pekerja kasar dan minimnya air tawar cukup membuat Belanda kesulitan. Hal ini menyebabkan untuk sementara waktu medan pertempuran sepi. Pasukan Bali memantau keadaan lapangan sedangkan pasukan Belanda menunggu perintah Batavia. Belanda akhirnya mundur ke Jawa setelah permintaan penambahan pasukan tak dipenuhi mengingat kebutuhan tentara di Jawa juga tidak sedikit.
     
Kegagalan ekspedisi Belanda di Bali pada 1848 membawa kepercayaan diri yang tinggi bagi kalangan raja-raja Bali. Raja Buleleng, Karangasem dan Mengwi sepakat untuk mengusir Belanda, sementara Badung, Gianyar, Bangli dan Tabanan belum sepenuhnya terang-terangan memusuhi Belanda.
      
Belanda akhirnya kembali menyerang pada Maret dan April 1849. Pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal Michiels dan Van Swieten sebagai wakilnya mendarat dengan kekuatan yang lebih besar jika dibandingkan dengan pendaratan-pendaratan sebelumnya. Pasukan Bali tidak berhasil menghalau bergeraknya musuh menuju Singaraja. Perebutan benteng Jagaraga yang dulu gagal kini dimulai lagi.
       
Dalam pertempuran itu yang kedua kalinya ini, dengan korban yang banyak Belanda berhasil merebut benteng itu. Belanda menawan banyak prajurit Bali. Dengan semakin terdesaknya pasukan Bali, maka Raja Buleleng mengirim utusan untuk menemui pasukan Belanda. Kesepakatan bertemu baru bisa terlaksana pada 7 April 1849 saat rombongan Karangasem dan Buleleng berjumlah 3000 orang bersenjata tombak dan senapan tiba di sebuah kampung di Singaraja.
      
Jenderal Michiels mengajukan pokok-pokok perjanjian yang antara lain menyebut bahwa Raja Karangasem dan Buleleng harus mengakui pemerintahan Hindia Belanda, mengosongkan benteng, meruntuhkan benteng Jagaraga serta menyerahkan serdadu dan senjata Belanda yang dulu dirampas. Atas permintaan wakil-wakil Bali, Raja Karangasem dan Gusti Jelantik menerima usul-usulan tersebut. Pertemuan dengan Raja Buleleng akan digelar di Sangsit.
      
Belanda melihat gelagat mengulur-ulur waktu dari pihak Buleleng dan Karangasem setelah tak ada niat mematuhi perjanjian. Hingga batas yang telah ditentukan, benteng-benteng tak juga diruntuhkan. Suasana menjadi tegang dan pertempuran kembali meletus. Pasukan Belanda sebesar 2.400 orang bersenjatakan senapan, meriam dan mortir mulai bergerak menuju Jagaraga. Prajurit Bali berjumlah 15.000 orang yang dua ribu di antaranya bersenjatakan pedang panjang.
    
Setelah pasukan Belanda ditarik mundur, keesokan harinya pada 16 April, benteng Jagaraga diserang mendadak. Karena serangan yang mendadak, pasukan Bali terkejut. Dalam pertarungan yang sengit, Bali tidak bisa menghalau serangan Belanda. Sisa pasukan Raja Buleleng mundur hingga Karangasem sedangkan Raja Buleleng dan Gusti Jelantik menyingkir ke daerah perbatasan Karangasem dan Buleleng. Dengan menyingkirnya Raja Buleleng, maka secara hierarki, kepala daerah bawahannya terpaksa menyerah kepada Belanda seperti Gusti Nyoman Lebak, kemudian disusul para bawahannya yang lain.

 4.    Akhir Pertempuran Melawan Belanda di Bali

         
Dengan jatuhnya Buleleng ke Belanda, membawa pengaruh yang signifikan bagi negara-negara kerajaan lain. Beberapa seperti Badung, Bangli dan Jembrana telah menyatakan dukungan pada Belanda sementara Klungkung dan Karangasem tetap berjuang melawan. Raja Karangasem dan Raja Buleleng beserta Gusti Jelantik mengadakan persiapan-persiapan apabila sewaktu-waktu diserang Belanda. Pada 9 Mei 1849, Jenderal Miechels dan pasukannya mendarat di teluk Labuhan Amuk di tenggara Karangasem, dekat perbatasan Klungkung. Pasukan-pasukan dari Bali yang telah dikuasi Belanda turut serta dalam melawan Karangasem dan Klungkung, seperti pasukan Gusti Nyoman Lebak dan pasukan Raja Mataram Lombok. Pengikut Raja Karangasem banyak yang menyatakan menyerah pada Belanda. Raja Karangasem pun meninggal dalam penyerangan ini. Raja Buleleng dan Gusti Jelantik dapat meloloskan diri ke bukit.
    
Pasukan Belanda semakin meringsek masuk ke Klungkung. Prajurit Bali berusaha mempertahankan kubu-kubu pertahanannya yang terletak di sepanjang garis pantai. Pasukan Belanda menyerang dari dua jurusan yaitu dari belakang dan depan arah pantai. Prajurit Bali yang berjumlah 200-300 orang akhirnya menyingkir.
      
Utusan dari kerajaan-kerajaan di Bali kemudian menemui Gubernur Jenderal di Batavia. Utusan-utusan tersebut berasal dari Klungkung, Badung, Tabanan dan Gianyar. Perjuangan bertahun-tahun mempertahankan Bali dari cengkeraman penjajah Belanda akhirnya terpatahahkan. Belanda dengan kekuatan sumber daya yang dimilikinya, berhasil mematahkan perjuangan fisik masyarakat Bali dengan justru mengikutsertakan bagian dari masyarakat Bali itu sendiri.
      
Dari tahun 1849 sampai kira-kira 1882, pemerintah kolonial mengamati, tetapi tidak melakukan campur tangan yang berarti dalam kejadian-kejadian di dalam negeri Bali Selatan dan Timur (Klungkung, Badung, Tabanan, Gianyar, Mengwi, Bangli dan Karangasem) . Akan tetapi, setelah pemberontakan terjadi di Buleleng pada 1853, pihak Belanda mulai menjalankan kekuasaan yang berlebih khususnya di wilayah Bali Utara. Dan seiring berjalannya waktu, Belanda mulai campur tangan terhadap kejadian-kejadian di Bali Selatan dan Timur mulai dari mengatur kekuasaan, sengketa-sengketa perbatasan, perbudakan dan adat istiadat.
       
Pada sekitar tahun 1900, negara-negara tersebut secara efektif menjadi wilayah jajahan Belanda. Intervensi militer pun kembali bergulir tatkala tradisi tawan karam kembali dilakukan di tahun 1904. Keluarga kerajaan Badung menanggapi serangan militer Belanda itu dengan melakukan puputan sebagai pertempuran terakhir. Mereka berjuang atas nama kesucian diri membela tanah kelahirannya menyongsong kematian dengan berpakaian serba putih dan bersenjatakan keris.
       
Pasukan kolonial terus bergerak ke Tabanan, di mana sang raja menyerah dan melakukan bunuh diri bersama putranya. Belanda juga memaksakan pengaruh kekuasaan secara langsung di Klungkung, Karangasem, Bangli dan Gianyar. Pertempuran terakhir oleh Dewa Agung pada 1908 yang mengakibatkan dirinya gugur, menyebabkan pengiriman ekspedisi penaklukan Belanda ke Bali dan menandai era penancapan kekuasaan Belanda secara langsung di Bali.



Daftar Pustaka

Ricklefs, M. C. 1998.  Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press.

Notosusanto, Nugroho,. & Marwati Djoened Pusponegoro. 1993. Sejarah Nasional
            Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka.

Dekker, I Nyoman. 1974. Sejarah Indonesia dalam Abad XIX 1800-1900. Malang:   Almamater YPTP IKIP Malang.

Post a Comment

Previous Post Next Post