A. Perkembangan Teknologi di Indonesia
Sekalipun belum mengenal tulisan manusia purba sudah mengembangkan kebudayaan dan teknologi. Teknologi waktu itu bermula dari teknologi bebatuan yang digunakan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan. Dalam praktiknya peralatan atau teknologi bebatuan tersebut dapat berfungsi serba guna. Pada tahap paling awal alat yang digunakan masih bersifat kebetulan dan seadanya serta bersifat trial and eror. Mula-mula mereka hanya menggunakan benda-benda dari alam terutama batu. Teknologi bebatuan pada zaman ini berkembang dalam kurun waktu yang begitu panjang.
Peralatan pertama yang digunakan oleh manusia purba adalah alat-alat dari batu yang seadanya dan juga dari tulang. Peralatan ini berkembang pada zaman Paleolitikum atau zaman batu tua. Zaman batu tua ini bertepatan dengan zaman Neozoikum terutama pada akhir zaman Tersier dan awal zaman Quartair. Zaman ini berlangsung sekitar 600.000 tahun yang lalu. Zaman ini merupakan zaman yang sangat penting karena terkait dengan munculnya kehidupan baru, yakni munculnya jenis manusia purba. Zaman ini dikatakan zaman batu tua karena hasil kebudayaan terbuat dari batu yang relatif masih sederhana dan kasar.
Zaman batu terus berkembang memasuki zaman batu madya atau batu tengah yang dikenal zaman Mesolitikum. Hasil kebudayaan batu madya ini sudah lebih maju apabila dibandingkan hasil kebudayaan zaman Paleolitikum (batu tua). Bentuk dan hasil-hasil kebudayaan zaman Paleolitikum tidak serta merta punah tetapi mengalami penyempurnaan. Bentuk flake dan alat-alat dari tulang terus mengalami perkembangan. Secara garis besar kebudayaan Mesolitikum ini terbagi menjadi dua kelompok besar yang ditandai lingkungan tempat tinggal, yakni di pantai dan di gua.
Bagi manusia purba, proses penemuan api merupakan bentuk inovasi yang sangat penting. Penemuan api kira-kira terjadi pada 400.000 tahun yang lalu. Penemuan pada periode manusia Homo erectus. Api digunakan untuk menghangatkan diri dari cuaca dingin. Penemuan api juga memperkenalkan manusia pada teknologi memasak makanan dengan cara membakar. Manusia juga menggunakan api sebagai senjata menghalau binatang buas yang menyerangnya. Api dapat juga dijadikan sumber penerangan. Dengan api manusia dapat menaklukkan alam, seperti membuka lahan untuk garapan dengan cara membakar hutan.
Pada awalnya pembuatan api dilakukan dengan cara membenturkan dan menggosokkan yang mudah terbakar dengan benda padat lain. Misalnya saja batu api, jika dibenturkan ke batuan keras lainnya akan menghasilkan percikan api. Percikan tersebut kemudian ditangkap dengan dedaunan kering, lumut atau material lain yang kering hingga menimbulkan api. Pembuatan api juga dapat dilakukan dengan menggosok suatu benda terhadap benda lainnya, baik secara berputar, berulang, atau bolak-balik. Sepotong kayu keras misalnya, jika digosokkan pada kayu lainnya akan menghasilkan panas karena gesekan itu kemudian menimbulkan api.
Penelitian-penelitian arkeologi di Indonesia sejauh ini belum menemukan sisa pembakaran dari periode ini. Namun bukan berarti manusia purba di kala itu belum mengenal api. Sisa api yang tertua ditemukan di Chesowanja, Tanzania, dari sekitar 1,4 juta tahun lalu, yaitu berupa tanah liat kemerahan bersama dengan sisa tulang binatang. Akan tetapi belum dapat dipastikan apakah manusia purba membuat api atau mengambilnya dari sumber api alam (kilat, aktivitas vulkanik, dll). Hal yang sama juga ditemukan di China (Yuanmao, Xihoudu, Lantian), di mana sisa api berusia sekitar 1 juta tahun lalu. Namun belum dapat dipastikan apakah itu api alam atau buatan manusia. Teka-teki ini masih belum dapat terpecahkan, sehingga belum dipastikan apakah bekas tungku api di Tanzania dan Cina itu merupakan hasil buatan manusia atau pengambilan dari sumber api alam.
Mengakhiri zaman batu masa Neolitikum maka dimulailah zaman logam atau perundagian. Zaman logam di Kepulauan Indonesia berbeda dengan yang ada di Eropa. Di Eropa zaman logam ini mengalami tiga fase, zaman tembaga, perunggu dan besi, sedangkan di Kepulauan Indonesia hanya mengalami zaman perunggu dan besi. Beberapa contoh benda-benda kebudayaan perunggu itu antara lain: kapak corong, nekara, moko, berbagai barang perhiasan. Beberapa benda hasil kebudayaan zaman logam ini juga terkait dengan praktik keagamaan misalnya nekara.
B. Kepercayaan awal di Indonesia
Kepercayaan yang berkembang di masyarakat diantaranya adanya kekuatan gaib di luar dirinya yang disebut roh. Keyakinan terhadap adanya roh tersebut dalam perkembangannya ditujukan kepada kekuatan gaib dari orang-orang yang sudah meninggal. Keyakinan terhadap roh tersebut dikenal juga dengan animisme.Adapun keyakinan bahwa benda-benda memiliki roh disebut dinamisme.Bangunan-bangunan seperti menhiryang digunakan sebagai medium untuk menghadirkan roh nenek moyang, dolmen(meja batu untuk meletakkan sesaji), arca batu (sebagai penolak bala), sarkofagus(kubur peti batu), serta punden berundak-undak adalah bentuk fisik kepercayaan animisme dan dinamisme masa awal peradaban Indonesia.
1. Animisme
Kepercayaan manusia purba terhadap roh nenek moyang yang telah meninggal dunia. Menurut mereka, arwah nenek moyang selalu memperhatikan mereka dan melindungi, tetapi akan menghukum mereka juga kalau melakukan hal-hal yang melanggar adat. Dengan demikian, orang tua yang mengetahui dan menguasai adat nenek moyang akan menjadi pemimpin masyarakat. Penghormatan kepada nenek moyang dilakukan dengan pimpinan orang tua tersebut, yang diterima oleh masyarakat sebagai ketua adat.
2. Dinamisme
Kepercayaan bahwa semua benda mempunyai kekuatan gaib, seperti gunung batu, dan api. Bahkan benda-benda buatan manusia diyakini juga mempunyai kekuatan gaib seperti patung, keris, tombak, dan jimat. Sesungguhnya proses pembuatan benda-benda megalitik, seperti menhir, arca, dolmen, punden berundak, kubur peti batu, dolmen semu atau pandhusa, dan sarkofagus dilandasi dengan kayakinan bahwa di luar diri manusia ada kekuatan lain. Dilandasi anggapan bahwa menhir atau arca, sebagai lambang dan takhta persemayaman roh leluhur, kedua jenis peninggalan itu digunakan sebagai sarana pemujaan terhadap roh nenek moyang. Dolmen dan punden berundak digunakan untuk tempat upacara. Pendirian punden berundak juga berdasarkan atas arah mata angin yang diyakini memiliki kekuatan gaib atau tempat-tempat yang dianggap sebagai tempat bersemayamnya roh nenek moyang.
3. Totemisme
Kepercayaan atas dasar keyakinan bahwa binatang-binatang tertentu merupakan nenek moyang suatu masyarakat atau orang-orang tertentu. Binatang-binatang yang dianggap sebagai nenek moyang antara orang yang satu dengan orang atau masyarakat yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda. Biasanya binatang-binatang yang dianggap nenek moyang itu, tidak boleh diburu dan dimakan, kecuali untuk keperluan upacara tertentu.
C. Perkembangan Kehidupan Kemasyarakatan dan Pemerintahan di Indonesia
Ciri hidup peradaban awal masyarakat Indonesia pada masa berburu dan menggumpulkan makanan tingkat sederhana (Palaeolithikum) dan masa berburu dan menggumpulkan makanan tingkat lanjut(Mesolithikum) adalah berpindah pindah (nomaden). Mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Tradisi hidup seperti itu terus dilakukan dari generasi ke generasi dikenal dengan tradisi mengumpulkan makanan (food gathering).Kepandaian mengumpulkan makanan atau memburu binatang bagi mereka dapat menentukan status sosial dalam kelompoknya. Melalui sistem primus interpares,mereka yang kuat kemungkinan akan diangkat menjadi pemimpin kelompoknya.
Ketika berlangsung Masa Es (Pleistocen), wilayah-wilayah Indonesia bagian barat menyatu dengan daratan Asia sementara Indonesia bagian timur dengan daratan Australia. Dalam kondisi geografis seperti ini berlangsung perpindahan (migrasi) fauna dan manusia dari satu tempat ke tempat lain atau dari satu pulau ke pulau lain. Banyak kelompok nomaden yang berasal dari daratan Asia menyeberang ke Kepulauan Indonesia membawa alat-alat peradaban budayanya. Demikian juga sebaliknya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh von Koenigswald pada 1935, penggunaan peralatan daribatu serta tulang-tulang binatang sangat umum di seluruh Indonesia pada masa berburu dan menggumpulkan makanan tingkat sederhana (Palaeolithikum) dan masa berburu dan menggumpulkan makanan tingkat lanjut (Mesolithikum).Alat-alat dari batu tersebut antara lain berupa kapak perimbas, kapak penetak, kapak genggam Sumatera, dan alat serpih.Penelitian yang dilakukan H.R. van Heekeren, Basoeki, dan R.P. Soejonodi Pacitan, membuktikan penggunaan alat-alat seperti itu.Dengan digunakannya alat-alat tersebut, maka jumlah makanan yang dikumpulkan mampu memenuhi kebutuhan hidup anggota kelompoknya.
Sejak akhir masa Mesolithikum dan Neolithikum, kehidupan manusia Indonesia ditandai dengan tradisi bercocok tanam dan menghasilkan makanan sendiri yang biasa disebut food producing.Menurut hasil penelitian arkeologi diperkirakan bahwa kemampuan berpikir serta proses evolusi berpengaruh terhadap timbulnya tradisi baru tersebut. Begitu juga dengan percampuran dengan kelompok-kelompok suku lain menyebabkan terjadinya pertukaran pengalaman di antara mereka. Dari pertukaran pengalaman ini, lahirlah tradisi baru, yaitu tradisi untuk bertempat tinggal menetap, bercocok tanam, beternak, dan memelihara ikan. Tradisi ini terus berlangsung dalam proses evolusi hingga Masa Logam dan Masa Sejarah sekarang dalam tingkatan yang semakin maju.Mereka juga mulai menjinakkan binatang buruan, seperti babi, kerbau, sapi, dan ayam.
Secara umum, ketua kelompok tidak sekedar primus interpares atau orang terkuat di antara kelompoknya dan memiliki kedudukan istimewa. Ketua kelompok juga bekerja bersama secara komunal (bersama-sama) dengan anggota kelompok lainnya.Kegiatan bersama ini disebut tradisi gotong royong.Anak laki-laki berperan membantu orang dewasa di ladang, dan berburu binatang untuk dipelihara.Adapun perempuan dewasa memasak makanan dan memelihara anak selain bekerja di ladang. Untuk melindungi anak-anaknya perempuan mulai membangun tempat berlindung yang kemudian berkembang menjadi tempat tinggal menetap.
D. Perkembangan Pertanian di Indonesia.
Kelompok-kelompok kecil pada masa bercocok tanam makin bertambah besar, karena masyarakat telah mulai menetap dan hidup lebih teratur. Kelompok-kelompok perkampungan tumbuh menjadi kesatuan-kesatuan yang lebih besar misalnya klan, marga dan sebagainya yang menjadi dasar masyarakat Indonesia sekarang. Kehidupan masyarakat menjadi semakin kompleks setelah mereka tidak saja tinggal di goa-goa, tetapi juga memanfaatkan lahan-lahan terbuka sebagai tempat tinggal.
Dengan bertempat tinggal menetap mereka mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk mengembangkan teknologi pembuatan alat dari batu. Perubahan cara hidup dari mengembara ke menetap akhirnya berpengaruh terhadap aspek-aspek kehidupan lainnya. Cara hidup berburu dan meramu secara berangsur-angsur mulai ditinggalkan. Mereka memasuki tahapan baru yaitu bercocok tanam ini merupakan peristiwa penting dalam sejarah perkembangan dan peradaban manusia.
Dengan penemuan-penemuan baru, mereka dapat menguasai alam, terutama yang berhubungan langsung dengan kebutuhan hidup mereka. Beragam jenis tumbuhan mulai dibudidayakan dan bermacam- macam binatang mulai dijinakkan. Dengan perkembangannya cara bercocok tanam dan bertani, berarti banyak hal yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan tersebut yang tidak mungkin dapat dipenuhi sendiri. Kondisi inilah yang kemudian mendorong munculnya kelompok-kelompok spesialis atau undagi, misalnya kelompok ahli pembuatan rumah, pembuatan gerabah, dan pembuatan alat-alat logam.
Pada tahapan berikutnya, kegiatan pertanian membutuhkan satu organisasi yang lebih luas yang berfungsi untuk mengelola dan mengatur kegiatan pertanian tersebut. Dari organisasi itu kemudian menumbuhkan organisasi masyarakat yang bersifat chiefdoms atau masyarakat yang sudah berkepemimpinan. Dalam masyarakat yang demikian itu sudah dapat dibedakan antara pemimpin dan yang dipimpin. Pengakuan terhadap pemimpin tidak sekadar karena faktor keturunan, tetapi juga dianggap mempunyai kekuatan yang lebih dan berkedudukan tinggi. Para pemimpin tersebut sesudah meninggal arwahnya tetap dihormati karena kelebihan yang dimilikinya itu.
Untuk menghormati sang arwah, dibangunlah tempat-tempat pemujaan seperti tampak pada peninggalan-peninggalan punden berundak. Selain dapat menunjukan tempat pemujaan arwah, keberadaan punden berundak juga dapat menjadi bukti adanya masyarakat yang sudah berkepemimpinan. Punden berundak merupakan bangunan tempat melakukan upacara bersama. Dalam melaksanakan upacara itu, juga dipimpin oleh seorang pemimpin yang disegani oleh masyarakatnya.
Pada masa itu ada kemungkinan sudah terbentuk desa-desa kecil. Pada mulanya hanya bentuk rumah agak kecil dan berdenah melingkar dengan atap daun-daunan. Kemudian rumah seperti itu berkembang dengan bentuk yang lebih besar yang dibangun di atas tiang penyangga. Rumah besar ini bentuknya persegi panjang, dihuni oleh beberapa keluarga inti. Di bawah tiang penyangga rumah digunakan untuk memelihara ternak. Apabila musim panen tiba mereka berpindah sementara di dekat ladang-ladang dengan membangun rumah atau gubuk- gubuk darurat. Binatang-binatang piaraan mereka juga dibawa.
Tidak menutup kemungkinan pada masa itu, mereka sudah menggunakan bahasa untuk komunikasi. Para ahli menduga bahwa pada masa bercocok tanam menetap ini, mereka sudah menggunakan bahasa Melayu-Polenesia atau rumpun bahasa Austronesia. Pada masa bercocok tanam mulai muncul kelompok-kelompok profesi, hubungan perdagangan, dan adanya kontak-kontak budaya yang menyebabkan kegiatan masyarakat semakin kompleks. Situasi semacam itu tidak saja telah menunjukkan adanya pelapisan masyarakat menurut kehlian dan pekerjaannya, tapi juga mendorong perkembangan teknologi yang mereka kuasai.
E. Perkembangan Ilmu Pengetahuan di Indonesia.
Pada dasarnya manusia di zaman purba (batu) hanyalah menerima semua peristiwa sebagai fakta. Sekalipun dilaksanakan pengamatan, pengumpulan data dan sebagainya, namun mereka sekadar menerima pengumpulan saja. Fakta-fakta hanya diolah sekadarnya, hanya untuk menemukan soal yang sama, yaitu common denominator, itu pun barangkali tanpa sengaja, tanpa tujuan. Kalaupun ada penegasan atau keterangan, maka keterangan itu senantiasa dihubungkan dengan dewa-dewa dan mistik. Oleh karena itulah pengamatan perbintangan menjelma menjadi astrologi. Pengamatan yang dilakukan oleh manusia pada zaman purba, yang menerima fakta sebagai brute fact atau on the face value, menunjukkan bahwa manusia di zaman purba masih berada pada tingkatan sekedar menerima, baik dalam sikap maupun dalam pemikiran (receptive attitude dan receptive mind) (Santoso,1977: 27).
Perkembangan pengetahuan dan kebudayaan manusia pada zaman purba dapat diruntut jauh ke belakang, bahkan sebelum abad 15 SM, terutama pada zaman batu. Pengetahuan pada masa itu diarahkan pada pengetahuan yang bersifat praktis, yaitu pengetahuan yang memberi manfaat langsung kepada masyarakat. Kapan dimulainya zaman batu tidak dapat ditentukan dengan pasti, namun para ahli berpendapat bahwa zaman batu berlangsung selama jutaan tahun.
Zaman pra-Yunani Kuno (purba/batu) dalam sejarah peradaban manusia merupakan zaman ketika manusia belum mengenal peralatan seperti yang kita pakai sekarang. Sesuai dengan namanya, zaman batu (purba/pra-Yunani Kuno), pada masa itu manusia menggunakan batu sebagai peralatan. Hal ini tampak dari temuan- temuan seperti kapak yang digunakan untuk memotong membelah. Selain menggunakan alat-alat yang terbuat dari batu manusia pada zaman itu juga menggunakan tulang binatang. Alat yang terbuat dari tulang binatang antara lain digunakan menyerupai fungsi jarum untuk menjahit. Ditemukannya benda-benda hasil peninggalan pada zaman batu merupakan suatu bukti bahwa manusia sebagai makhluk berbudaya mampu berkreasi untuk mengatasi tantangan alam sekitarnya. Adapun sisa peradaban manusia yang ditemukan pada zaman ini antara lain seperti :
1. Peralatan dari batu,
2. Tulang belulang hewan,
3. Sisa beberapa tanaman,
4. Gambar-gambar di gua,
5. Tempat-tempat penguburan, dan
6. Tulang belulang manusia purba.
Menurut Anna Poedjiadi (1987:28-32) pada zaman purba perkembangan pengetahuan telah tampak pada beberapa bangsa, seperti Mesir, Babylonia, Cina, India,Timur Tengah (Peradaban Islam) dan Eropa. Ada keterkaitan saling pengaruh antara perkembangan pemikiran di satu wilayah dengan wilayah lainnya. Pembuatan alat-alat perunggu di Mesir abad ke-17 SM memberi pengaruh terhadap perkembangan yang diterapkan di Eropa. Bangsa Cina abad ke-15 SM juga telah mengembangkan teknik peralatan perunggu di zaman Dinasti Shang, sedangkan peralatan besi sebagai perangkat perang sudah dikenal pada abad ke-5 SM pada zaman Dinasti Chin. India memberikan surnbangsih yang besar dalam perkembangan matematik dengan penemuan sistem bilangan desimal. Budhisme yang diadopsi oleh raja Asoka, kaisar ketiga Di Mautya, telah menyumbangkan sistem bilangan yang menjadi titik tolak perkembangan sistem bilangan pada zaman modern. India bahkan sudah menemukan roda pemutar untuk pembuat tembikar pada abad ke-30 SM.
Benda-benda tersebut terus mengalami perbaikan dan kemajuan akibat proses trial and error dan uji coba yang dilakukan manusia yang memakan waktu lama. Melalui proses ini juga manusia menemukan bahan atau materi yang dianggap baik atau kuat untuk membuat peralatan-peralatan tertentu. Antara abad XV sampai VI SM manusia telah menemukan besi, tembaga dan perak untuk membuat peralatan-peralatan.