Muhammadiyah: Sejarah dan Perjuangannya pada Masa Pergerakan Nasional





A. Latar Belakang Berdirinya Muhammadiyah


Berdirinya Muhammadiyah tak lepas dari buah pemikiran Muhammad Darwis atau yang kemudian dikenal sebagai KH Ahmad Dahlan. Ia merupakan anak Imam Khatib Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta, KH Abu Bakar, dan Siti Aminah, puteri penghulu Kasultanan Yogyakarta yang lahir di Kampung Islam Kauman, Yogyakarta pada 1 Agustus 1868 dan wafat pada 23 Februari 1923 karena masalah kesehatan. Kampung Kauman, tempat ia tinggal, merupakan pemukiman khusus abdi dalem keraton dan golongan bangsawan kerajaan. Semasa hidupnya, ia merupakan pemikir pembaruan Islam yang menghendaki adanya kesamaan hak warga pribumi dalam meraih kesempatan pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial serta pembaruan Islam yang terbuka dan sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad. Hal tersebut menjadi pemikiran pokok KH Ahmad Dahlan dalam menjalankan aktivitasnya di dunia keorganisasian di masa-masa berikutnya.

Pemikiran-pemikiran KH Ahmad Dahlan tersebut tak didapatnya dari pendidikan agama di lingkungan tempat ia tinggal. Tapi ia dapatkan melalui olah pikirannya saat melihat kondisi sekelilingnya dan diperdalam saat menunaikan ibadah haji untuk pertama kalinya pada rentang tahun 1883 hingga 1889. Ia banyak mengecap pelajaran dari Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibnu Taimiyah, yang merupakan pemikir-pemikir Islam dari Timur Tengah. Mereka telah banyak memberikan nilai-nilai kepada KH Ahmad Dahlan untuk mencairkan kebekuan Islam yang kolot dan memajukan umat Islam agar hidup sesuai tuntunan Al Quran dan Hadits.

Keinginan KH Ahmad Dahlan untuk melaksanakan pembaruan dalam Islam tak lepas dari kondisi masyarakat Islam terutama di Jawa saat itu yang masih hidup di bawah garis kemiskinan dan mengalami krisis dalam identitas ke-Islam-annya. Di antaranya masih terdapat masyarakat Islam yang melaksanakan ritual-ritual persembahan tertentu yang tidak sesuai dengan apa yang diajarkan Nabi Muhammad seperti berdoa dengan sesajen, dupa, bahkan menyembah pohon dan barang yang dikeramatkan lainnya.

Masuknya pengaruh kekuasaan Pemerintah Kolonial di tengah-tengah masyarakat Islam saat itu, erat sekali kaitannya dengan usaha kristenisasi yang kemudian menjadi curahan kegiatan organisasi yang kelak akan dibuat oleh KH Ahmad Dahlan sesuai dengan pemikiran-pemikirannya.

Kondisi ini diperparah dengan strata sosial dalam keadaan bermasyarakat saat itu di mana seorang pribumi berada di strata terbawah dalam stratifikasi masyarakat di bawah para orang Belanda, orang asing dan priyayi Jawa. Hal tersebut semakin membuat kondisi sosial masyarakat bawah terutama pemeluk Islam saat itu menjadi sangat terbelakang dan terjajah secara psikis dan mental. 




B. Proses Berdirinya Muhammadiyah

a. Mendapat Tentangan Khatib Imam dan Penghulu

Memiliki pemikiran yang melawan pakem akan sangat beresiko bagi siapa saja, termasuk KH Ahmad Dahlan. Ia merupakan Khatib Amin pengganti ayahnya. Di lingkungan tempat ia tinggal di Kauman, merupakan kampung para abdi dalem, khatib, imam, dan sejumlah pengurus keraton lainnya. Ia dianggap menyimpang dari hal yang dianut masyarakat Kauman dan hal tersebut ditentang oleh para pemuka agama setempat pada saat itu.

Hal ini dikarenakan KH Ahmad Dahlan melakukan beberapa perubahan, semisal pada metode pengajarannya di Langgar Kidul. Ia berani mengungkapkan tentang pemikiran terbukanya kepada murid-muridnya. Lalu pada perubahan arah kiblat, di mana seharusnya kiblat umat Islam di Indonesia tidak lurus ke arah barat tetapi agak serong ke utara, hingga tidak diwajibkannya pembacaan surat Yasin dan tahlil pada waktu-waktu tertentu. Hal ini dianggap merongrong kewibawaan para penghulu di Kauman dan Khatib Imam serta dikhawatirkan akan menimbulkan keadaan menggampangkan agama. Namun, KH Ahmad Dahlan tetap memegang teguh argumennya.

Puncak kemarahan Khatib Imam dan para penghulu adalah ketika pembakaran Langgar Kidul milik KH Ahmad Dahlan yang menjadi tempatnya mengajar pengajian oleh para warga Kauman. Pada tahap selanjutnya, Khatib Imam dan penghulu menolak pendirian organisasi Muhammadiyah yang dicetuskan KH Ahmad Dahlan pada 1912 sebelum akhirnya mendapat restu Sultan HB VII.

b. Mendapat Restu Sri Sultan Hamengkubuwono VII

Sultan paham betul, bahwa sejak diberlakukannya politik etis oleh Pemerintah Hindia Belanda, praktis terjadi banyak perubahan. Dari yang sebelumnya perjuangan secara fisik menjadi perjuangan dengan pemikiran. Pemikiran-pemikiran KH Ahmad Dahlan, dianggap oleh Sultan sesuatu yang harus terus dikembangkan karena akan berdampak baik bagi kehidupan sosial warga sekitar Kauman pada khususnya karena akan meningkatkan kualitas kehidupan mereka.

Untuk itu, Sultan lalu membiayai keberangkatan haji KH Ahmad Dahlan untuk yang kedua kalinya pada 1902. Sultan berharap, dengan keberangkatan haji KH Ahmad Dahlan ini, setidaknya akan mengurangi konfliknya dengan para pemuka agama di lingkungan Keraton Kasultanan Yogyakarta. Selain itu, Sultan berharap agar KH Ahmad Dahlan dapat memperdalam kembali ilmunya dengan belajar di lingkungan-lingkungan pembaharu di Timur Tengah.

c. Menjadi Anggota Budi Utomo

KH Ahmad Dahlan sadar, pemikirannya harus ditempatkan pada cakupan yang lebih luas dan tidak sekadar di Langgar Kidul miliknya. Oleh karena itu, sepulang berhaji, tepatnya pada 1909, ia mencari tahu tentang sebuah organisasi yang bergerak di bidang pendidikan dan kesehatan bernama Budi Utomo. Ia kemudian bertemu dr. Wahidin Sudirohusodo dan memaparkan pemikiran-pemikirannya hingga berniat untuk mendirikan sebuah perkumpulan atau organisasi.

Langkahnya ini kembali menuai kontroversi di kalangan penghulu dan Khatib Imam Keraton Kasultanan Yogyakarta serta warga Kauman itu sendiri. Hal ini semakin menjadi-jadi saat KH Ahmad Dahlan mengajar agama Islam di sekolah milik Pemerintah Hindia Belanda. Bahkan, ia juga membuka sekolah di rumahnya yang sangat mirip dengan sekolah Belanda, yaitu memiliki kursi dan meja. Hal yang dianggap tidak lazim di tengah-tengah masyarakat Kauman pada saat itu karena dianggap meniru budaya Belanda.

d. Berdirinya Muhammadiyah

Setelah bergabung dengan Budi Utomo, KH Ahmad Dahlan meminta bantuan cara mendirikan perkumpulan. Budi Utomo bersedia membantu asalkan anggota Muhammadiyah bersedia menjadi anggota Budi Utomo. KH Ahmad Dahlan menyetujuinya. Walaupun awalnya murid-muridnya ragu untuk bergabung dengan Budi Utomo karena dianggap Kejawen, KH Ahmad Dahlan berhasil meyakinkan murid-muridnya dengan asumsi bahwa kita harus berpegang teguh pada prinsip, namun tidak boleh menjadi fanatik.

Bersama murid-muridnya, KH Ahmad Dahlan memutuskan memakai nama “Muhammadiyah” sebagai nama perkumpulannya yang berarti pengikut Nabi Muhammad sebagai pelaksana ajaran Al Quran dan Al Hadits. Perkumpulan Muhammadiyah akhirnya resmi berdiri pada 18 November 1912/8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah, setelah disetujui oleh pemuka agama Kauman dan Sultan, walaupun sebelumnya mendapat tentangan terutama dari pihak pemuka agama Kauman.

Izin pendirian Muhammadiyah dari Pemerintah Hindia Belanda baru keluar pada 1914. Pada izin tersebut dinyatakan Muhammadiyah diperbolehkan berkegiatan hanya di wilayah Yogyakarta saja. Namun perkembangan selanjutnya, menunjukkan antusiasme masyarakat akan terbentuknya organisasi Muhamamdiyah.




C. Perkembangan dan Peranan Muhammadiyah

Berdirinya Muhammadiyah dan pengesahan yang menyusulnya pada 1914 untuk sekitar wilayah Yogyakarta saja mencatatkan antusiasme masyarakat yang berkembang secara positif di berbagai daerah di luar Yogyakarta walaupun dengan cara sembunyi-sembunyi agar tak diketahui pemerintah kolonial. Cara menyembunyikan Muhammadiyah dengan mengganti nama kepengurusannya di luar Yogya berhasil. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menerbitkan surat pernyataan bahwa wilayah gerak Muhammadiyah diperluas untuk seluruh daerah di Pulau Jawa bahkan seluruh wilayah Hindia Belanda pada 1921.

Muhammadiyah pun semakin berkembang. Pada awalnya, Muhammadiyah melakukan amal usaha berupa dalam bidang pendidikan dan penyelenggaraan pengajian. Pada bidang pendidikan pun, Muhammadiyah masih mendapat subsidi Pemerintah Hindia Belanda. Namun seiring berkembangnya waktu, Muhammadiyah lalu membuat perkumpulan khusus wanita yang disebut Sapa Tresna pada 1914 yang merupakan cikal bakal Aisyiyah, serta gerakan kepanduan Hizbul Wathan pada 1918. Muhammadiyah pun mulai mendirikan organisasi-organisasi amal usaha dan badan perwakilan yang bertugas mengkoordinasikan kegiatan dan kepemimpinan daerah kerja (Munir, 1990: 33). Organisasi amal usaha yang dimaksud antara lain penerbitan majalah, lembaga zakat, panti asuhan, badan haji, dan lain-lain.

Sekolah-sekolah Muhammadiyah pun pada awalnya masih menggunakan identitas ke-Belanda-an dalam setiap menjalankan kegiatannya. Namun setelah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, tepatnya pada tahun 1931, Muhammadiyah sepakat mengganti nama sekolah-sekolah tersebut dalam bahasa Indonesia, yang di antaranya:

  1. Kweekschool Moehammadijah dan Kweekschool Istri menjadi Madrasah Moe’allimin dan Moe’allimat.
  2. Volkschool, Vervolkschool dab Standaard School Moehammadijah menjadi Sekolah Moehammadiyah I
  3. Schakelschool Moehammadijah menjadi Sekolah Persamboengan Moehammadiyah
  4. Cursus Anti Analfabetisme menjadi Pembasmi Buta Huruf, dan lain-lain.
Pada masa pendudukan Jepang di Hindia Belanda, Jepang muncul dengan kedok sebagai Saudara Tua yang ingin menyelamatkan Hindia Belanda dari cengkeraman imperialisme. Sadar bahwa kekuatan Islam harus dirangkul, Jepang membiarkan aktivitas Muhammadiyah berjalan sebagaimana mestinya. Jepang lalu memberikan izin kepada Muhammadiyah untuk menjalankan aktivitasnya asalnya melapor kepada Jepang mengenai aktivitas-aktivitasnya.

Dalam menghadapi Jepang, Muhammadiyah menolak tegas Upacara Kebaktian Dewa Matahari dengan alasan tidak sesuai akidah. Hal tersebut diikuti oleh umat Islam khususnya warga Muhammadiyah. Di bidang organisasi Pusat Tenaga Rakyat atau Putera yang dibentuk Jepang untuk mempersiapkan tenaga rakyat guna menghadapi Perang Asia Timur Raya, tercatat banyak anggota Muhammadiyah yang menjadi anggotanya. Selain itu, anggota-anggota muda Muhammadiyah juga banyak terdapat di pelatihan seinendan (barisan pemuda) dan keibodan (barisan pembantu polisi). 


DAFTAR PUSTAKA






Majelis Diktilitbang dan LPI PP Muhammadiyah. 2010. Satu Abad Muhammadiyah. Jakarta: Kompas Gramedia.

Djumhur & Danasuparta. 1976. Sejarah Pendidikan. Bandung: CV Ilmu.


Mulkhan, Abdul Munir. 1990. Pemikiran KH Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif Perubahan Sosial. Jakarta: Bumi Aksara.

Ricklefs, M.C. 1999. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

www.muhammadiyah.or.id diakses pada 17 April 2014 pukul 22.09 WIB.





Post a Comment

Previous Post Next Post