NAHDLATUL ULAMA (NU) DARI TAHUN 1926 SAMPAI 1945





A. Sejarah singkat lahirnya NU

Sejarah berdirinya NU sangat erat kaitannya keterbelakangan, baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan “Kebangkitan Nasional“. Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana. Setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, munculah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.Ada tiga orang tokoh ulama yang memainkan peran sangat penting dalam prosespendirian Jamiyyah Nahdlatul Ulama (NU) yaitu Kiai Wahab Chasbullah (Surabaya asal Jombang), Kiai Hasyim Asy’ari (Jombang) dan Kiai Cholil (Bangkalan).

  1. Kiai Wahab sebagai pencetus ide
  2. Kiai Hasyim sebagai pemegang kunci, dan
  3. Kiai Cholil sebagai penentu berdirinya.

Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan “Nahdlatul Fikri” (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.

Berangkat dari komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkoordinasi dengan berbagai kyai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar. 

B. Latar belakang lahirnya Nahdatul Ulama

Terdapat tiga alasan yang melatarbelakangi lahirnya organisasi keagamaan Islam Nahdatul Ulama, dijelaskan sebagai berikut:

1. Motif agama

Nahdatul Ulama lahir atas dasar semangat dan untuk mempertahankan agama Allah yang diturunkan kepada nabi Muhamad Saw, serta upaya untuk meneruskan perjuangan Wali Sanga. Terlebih lagi Belanda dan Portugis tidak hanya menjajah Nusantara tetapi juga melakukan penyebaran agama Kristen- Katholik dengan sangat gencar. 

2. Motif nasionalisme

NU lahir karena niatan kuat untuk menyatukan para ulama dan tokoh-tokoh agama dalam melawan penjajahan. Semangat nasionalisme itu pun terlihat juga dari nama Nahdlatul Ulama itu sendiri yakni Kebangkitan Para Ulama. NU pimpinan Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari sangat nasionalis. Sebelum RI merdeka, para pemuda di berbagai daerah mendirikan organisasi bersifat kedaerahan, seperti Jong Cilebes, Pemuda Betawi, Jong Java, Jong Ambon, Jong Sumatera, dan sebagainya. Tapi, kiai-kiai NU justru mendirikan organisasi pemuda bersifat nasionalis. Pada 1924, para pemuda pesantren mendirikan Syubbanul Wathon (Pemuda Tanah Air). Organisasi pemuda itu kemudian menjadi Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO) yang salah satu tokohnya adalah pemuda gagah, Muhammad Yusuf (KH. M. Yusuf Hasyim -Pak Ud). 

3. Motif mempertahankan faham Ahlussunnah wal Jama`ah

Nahdatul Ulama sejak berdirinya pada 31 Januari 1926 telah menyatakan diri sebagai organisasi islam berhaluan Ahlussunnah wal Jama`ah, dengan mengikuti sistem bermadzab. Madzab dalam bidang tauhid atau akidah Ahlussunnah wal Jama`ah yang dianut Nahdatul Ulama adalah mengikuti Imam al- Asy`ari (Asy`ariyah)dan imam al- Maturidi (Maturidiyah). Madzab dalam bidang Fiqh/ syari`ah Ahlussunnah wal Jama`ah yang dianut Nahdatul Ulama adalah mengikuti salah satu dari madzab empat, yaitu madzab Hanafi, Maliki, Syafi`i, dan Hanbali. Madzab dalam bidang Tasawuf/ Akhlaq Ahlussunnah wal Jama`ah yang dianut Nahdatul Ulama adalah mengikuti Imam Junaid al- Baghdadi dan Imam al-Ghazali. Watak dan karakter NU sebagai organisasi mempunyai watak dan budaya (sosio- kultural), meliputi:

1. Al- Tawassuth, yang berarti petengahan atau moderat
2. Al- I`tidal, artinya berkeadilan
3. Al- Tawazun, artinya keseimbangan dan harmonis
4. Al- Tasamuh, artinya toleran

C. Paham-Paham yang dianut NU

NU menganut paham Ahlussunah waljama’ah, sebuah paham yang mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur’an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab: imam Syafi’i dan mengakui tiga madzhab yang lain: imam Hanafi, imam Maliki,dan imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4.
Madzab-madzab dalam NU:


a. Madzab Hanafi

Nama madzab hanafi diambil dari nama penggagasnya yaitu Imam Hanafi. Nama lengkap beliau adalah Imam Abu Hanifah An Nu`man bin Tsabit. Madzab ini dikenal dengan madzab ahli Qiyas atau ahli ra`yi yaitu madzab yang banyak menggunakan akal.

b. Madzab Maliki

Diambil dari nama penggagasnya yaitu Imam Maliki. Nama lengkap beliau adalah Imam Malik bin Anas Al- Ashbahy. Madzab ini dikenal dengan madzab ahli hadist.

c. Madzab Syafi`i

Diambil dari nama penggagsnya Imam Syafi`i. Beliau memiliki nama lengkap Imam Muhammad bin Idris As- Syafi`i Al- Quraisy. Madzab ini berusaha menyatukan madzab ahli qiyas dengan madzab ahli hadist. Madzab ini berpegang pada lima sumber yaitu: al-Qur`an, sunnah nabi, ijma` atau konsensus, pendapat sahabat, dan qiyas.

d. Madzab Hambali

Madzab Hanbali atau Hanbaliyah atau Hanabilah diambil dari nama penggagasnya yaitu Imam Hanbali. Nama lengkap beliau adalah Imam Ahmad bin Hanbal al- Syaebany. Dalam pemakaian hukum ini beliau memakai lima sumber, yaitu Al Quran, sunnah, pendapat sahabat yang tidak bertentangan dengan sahabat lain dengan syarat sesuai dengan al Quran dan sunnah, Hadist mursal, dan qiyas bila dalam keadaan terpaksa.








D. Tujuan NU

Sesuai dengan Anggaran Dasar 1926 (yang disusun 1929 dan disahkan oleh pemerintah 1930) NU menetapkan tujuannya adalah untuk mengembangkan Islam berlandaskan ajaran keempat mazhab. Tujuan itu diusahakan dengan: 

1. Memperkuat persatuan di antara sesama ulama penganut ajaran-ajaran empat mazhab.

2. Meneliti kitab-kitab yang akan dipergunakan untuk mengajar agar sesuai dengan ajaran ahlusunnah wal jamaah.

3. Menyebarkan ajaran Islam yang sesuai dengan ajaran empat mazhab.

4. Memperbanyak jumlah lembaga pendidikan Islam dan memperbaiki organisasinya. 

5. Membantu pembangunan mesjid, surau dan pondok pesantren serta membantu kehidupan anak yatim dan orang miskin.

6. Mendirikan badan-badan untuk meningkatkan perekonomian anggota. 







E. Perjuangan Nahdlatul Ulama dari Awal Berdirinya dan Masa Penjajahan Belanda

Dengan berdirinya NU maka lapisan terbesar masyarakat Indonesia yang terdapat di pedesaan dibenahi oleh NU untuk mengimbangi kemajuan yang telah dicapai oleh kaum pernbaharuan di kota-kota. 

Sejak pembentukannya, Nahdlatul Ulama mampu membatasi penyebaran pikiran-pikiran Islam Moderen ke desa-desa di Jawa, yang sejak akhir tahun 1920-an tercapai suatu status quo ketika kaum Islam moderen memusatkan misinya di lingkungan perkotaan, sedangkan Nahdlatul Ulama cukup puas menarik pengikutnya, terutama mereka yang berasal dari daerah pedesaan.

NU muncul pada saat penguasa tradisional (pribumi) telah menjadi alat kekuasaan Belanda; sehingga makin rnemperkuat wibawa ulama di mata umat Islam. "Dalam waktu bersamaan dengan menurunnya penguasa tradisional di mata publik, suatu kelompok elite baru muncul dengan menonjol yaitu para haji dan kyai,".

Salah seorang kyai dan haji yang paling menonjol adalah Hasyim Asyari pendiri NU. Di bawah kepemimpinannya NU diantarkan sampai kepada masa kemerdekaan bangsa Indonesia. Masa hidupnya (1871-1947) merupakan karunia sejarah bagi NU, karena masa itu adalah masa yang penuh pergolakan bagi bangsa Indonesia, yaitu saat mulai memudarnya perlawanan bersenjata, kemunculan berbagai gerakan kebangsaan dengan berbagai aspirasinya, masa penjajahan Jepang dan mencapai puncaknya dalam masa kemerdekaan. Mungkin jarang ditemui sebuah organisasi secara utuh dipimpin oleh seorang tokoh saja melewati berbagai periode sejarah seperti yang dialami NU di bawah kepemimpinan Hasyim Asyari. 

Segera setelah terbentuk, NU mengirim utusan khususnya kepada Raja Saud dengan permohonan agar diberlakukan kemerdekaan (kebebasan) di Tanah Suci menjalankan salah satu dari empat mazhab, yakni Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali. Permohonan ini disambut baik oleh Raja Saud. Kalau pun sikap Raja Saud tidak dapat rnengherankan mengingat hubungannya dengan aliran Wahhabi, rupanya hal itu menyatakan telah terjadi pergeseran nilai di Tanah Suci. Antara 1924 dan 1932 Raja Saud dalarn usahanya membangun Saudi Arabia telah memutuskan hubungan dengan golongan fanatik para pendukungnya dan mulai mengambil langkah-langkah pragmatis.

Seperti dikatakan di atas bahwa yang paling penting bagi NU adalah kelangsungan mazhab. Hal itu segera ternyata dalam Muktamar pertama yang diadakan di Surabaya pada bulan Oktober 1926. Pertanyaan pertama dalam Muktamar: "Wajibkah bagi umat Islam mengikuti salah satu dari empat Mazhab?" Yang langsung dijawab oleh Muktamar, yang semua pesertanya ulama, bahwa "pada masa sekarang wajib bagi umat Islam mengikuti salah satu empat mazhab yang tersohor dan mazhabnya telah dikodifikasikan (mudawwan)." Tanpa menantikan kembalinya utusan Komite Hijaz (K.H Abdulwahab Hasbullah dan Syekh Ahmad Chanaim yang baru kembali tahun 1928 ), NU telah menegaskan kemandiriannya dalam menganut mazhab. Memang Muktamar pertama langsung membahas masalah agama, praktek keagamaan dan etika. Yang menarik dari banyak muktamar NU adalah cara mengambil keputusan yang selalu bersandar pada pendapat (fatwa) ulama-ulama terdahulu dan selalu dihindarkan jawaban-jawaban yang mutlak (kecuali dalam soal agama). Sudah tentu cara ini hanyalah penegasan peranan ulama sebagai orang yang paling mengetahui masalah agama dan sebagai pemimpin keagamaan umat. Sebuah ilustrasi dari muktamar akan menjelaskan fenomen ini.  S.H. Nasr merumuskannya dengan indah:

Syariah adalah hukum Tuhan, dalam pengertian ia adalah pelembagaan kehendakNya, dengan mana manusia harus hidup secara pnbadi dan bermasyarakat. Dalam setiap agama kehendak Tuhan selalu dimanifestasikan dalam satu atau lain cara . Tetapi di dalam Islam pelembagaan ini sesuatu yang konkret. Syariah berisi perintah agung yang mengatur segala keadaan dalam kehidupan.

Dalam konteks inilah para ulama (kyai) melakukan peranannya sebagai juru bahasa agama terhadap masyarakat. Kalau ia sering dituduh hanya membahas hal-hal yang sepele (furu'), itu karena ulama tidak dapat melepaskan pengetahuan keagamaannya dari kehidupan umat Islam yang mengharapkan bimbingannya. Di samping menganjurkan sesuatu perbuatan, ulama juga menilai sesuatu perbuatan yang tak dianjurkan tetapi berlangsung terus (seperti menilai ziarah, selamatan, soal jual beli, perkawinan dan sebagainya). Dalam perimbangan mana yang harus (wajib), mana yang dianjurkan (mandub), mana yang terlarang (haram), dan yang kurang baik (makruh) dan mana yang tak dilarang (halal) dan mana yang tak dianjurkan (mubah), para ulama membimbing umat menyesuaikan segala perbuatan dan tindakannya dengan kehendak Tuhan.

Setelah terbentuk NU setiap tahun mengadakan muktamar yang jumlah ulama peserta selalu meningkat dari tahun ke tahun. Pada Muktamar II (1927) pembahasan bukan lagi masalah mazhab tetapi bergeser pada masalah kemasyarakatan (perkawinan dan pendidikan agama). Menarik untuk dicatat bahwa dalam Muktaar II, NU meminta kepada pemerintah Belanda agar pendidikan agama Islam dimasukkan di dalam kurikulum sekolah-sekolah umum di seluruh Jawa dan Madura karena mayoritas penduduknya beragama Islam, "Bila dinegara mayoritas muslim tidak diajarkan pelajaran agama Islam, menurut pandangan NU, sama artinya dengan berusaha mendangkalkan dan menanggalkan Islam."

Besar sekali keuntungan yang diperoleh NU dengan mengadakan muktamar setiap tahun sehingga ia mampu mengikuti perkembangan dan kejadian yang timbul di masyarakat umum. 

Secara bertahap NU membenahi organisasasinya terutama dalam usaha mengembangkan agama. Sebenarnya kurun waktu lahirnya NU dalam dekade duapuluhan adalah suatu kurun yang sengit. Dekade duapuluhan adalah dekade kemunculan berbagai organisasi, baik yang bersifat sosial maupun politik (yang bercorak suku daerah dan keagamaan). Kaum nasionalis berhasil menghimpun kekuatan dalam Partai Nasional Indonesia (untuk selanjutnya disebut PNI) yang didirikan dan dimotori oleh kaum intelektual muda seperti Soekarno dan Mohammad Hatta). Serikat Islam mulai menegaskan aspirasi nasionalisme yang berdasarkan Islam dengan menyatakan diri sebagai partai, yaitu Partai Serikat Islam Indonesia (1929). Dorongan untak merdeka dari penjajahan membuat kaum nasionalis Islam makin dekat dengan kaum nasionalis netral agama. Tetapi terjadi perbedaan pandangan (bahkan pertentangan) dalam kalangan pembaharu (antara Serikat Islam kontra Muhammadiyah dan Persatuan Islam). Menurut Deliar Noer dalam karyanya yang terbaru Partai Islam di Pentas Nasionalis, perbedaan itu terjadi "disebabkan oleh pertimbangan politik daripada pertimbangan agama; tetapi pertimbangan yang bersifat pribadi juga menentukan. Sambil lalu ia juga menilai kaum tradisional atau NU ketika itu "belum menjadi penting."

Dalam menghadapi saingan baru ini, kedudukan Kyai Hasyim Asyari dinilai sangat penting karena pengaruhnya yang demikian kuat dalam lingkungan kaum Islam tradisional di pedesaan dapat turut menjamin bagi kelangsungan peranan Islam dalam pergerakan kebangsaan secara keseluruhan.

Dekade tiga puluhan adalah dekade mencari identitas pergerakan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan. Ketika golongan nasional yang dimotori oleh PNI membentuk wadah persatuan pergerakan nasional dalam Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan .

Walaupun NU bukan organisasi politik tetapi ia tanggap terhadap perkembangan yang terjadi. Tantangan makin mendekatkan sesama organisasi Islam, berbagai peraturan yang dirasakan merugikan umat Islam (ordonansi perkawinan, hukum waris, milisi, dan sebagainya), membuat NU menggalang kekuatan bersama dengan organisasi Islam lainnya (SI, Muhammadiyah, dan sebagainya) dengan membentuk Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI) pada tahun 1937, yang diharapkan menjadi wadah perjuangan umat Islam. Semboyan MIAI adalah sebuah ayat Qur'an yang mengajak umat Islam bersatu: "Berpegang tegublah kamu sekalian dengan tali Allah dan janganlah berpecah belah." Pemrakarsa terbentuknya MIAI adalah Abdul Wahab Hasbullah dan setelah terbentuk diketuai oleh Wahid Hasyim. Tampaknya sedikit banyak wibawa ulama diakui oleh kaum pembaharuan. Sementara itu kekuatan politik yang koperatif dan non-koperatif, baik dari kalangan nasional maupun Islam, berhasil rujuk kembali dalam wadah Gabungan Aksi Politik Indonesia (untuk selanjutnya disingkat GAPI) pada tahun 1939. Adapun maksud dan tujuan MIAI, antara lain: 

1. Menggabungkan segala perhimpunan umat Islam untuk bekerja sama.

2. Berusaha untuk menyelesaikan apabila timbul pertikaian di antara umat Islam.

3. Mempererat hubungan dengan umat Islam di luar negeri. 

4. Berusaha memajukan agama Islam dan

5. Membangun Kongres Muslimin Indonesia.


Bergabungnya NU dengan golongan Islam lain merupakan langkah baru, ternyata bahwa golongan tradisional mampu bekerja sama dengan golongan lain sepanjang masalahnya dilihat bersangkut paut dengan kehidupan langsung agama Islam. Mungkin juga NU mulai merasakan bahwa ia membutuhkan tenaga intelektual. "Perjuangan politik tidak bisa hanya bermodalkan jumlah massa yang banyak saja. Ia membutuhkan taktik strategi yang direncanakan secara baik. Dengan begitu maka kelahiran MIAI adalah merupakan tangga bagi NU ke dalam dunia politik". Dengan berdirinya MIAI kita melihat bahwa organisasi Islam dapat bersatu dalam masalah sosial tetapi berpisah atau bertentangan dalam masalah politik.

Sebagai organisasi keagamaan NU juga tanggap terhadap masalah politik. Ketika Perang Dunia II makin membara Belanda memerlukan dukungan jajahannya menghadapi Jepang yang dicap sebagai kekuatan Fasis. Kalangan pergerakan di dalam GAPI berdasarkan keprihatinan terhadap nasib bangsa Indonesia sempat menyambut seruan Belanda untuk bersama menghadapi Jepang. Tetapi NU mengambil sikap lain, bahwa bangsa Indonesia yang dijajah Belanda tidak terikat membela pemerintah Hindia Belanda. 

Menurut Nahdlatul Ulama, bangsa Indonesia yang sebagian terbesar adalah muslimin, selama masih menjadi bangsa jajahan tidaklah terikat oleh kewajiban-kewajiban perang yang menjadi tanggung jawab penjajah (Hindia Belanda). Bagi Nahdlatul Ulama, masalah mati adalah paling serius, dan mati untuk kepentingan penjajah adalah mati yang sia-sia.

Perbedaan sikap di antara kalangan nasionalis (GAPI) dan kalangan agama (MIAI) tentang sikap terhadap perang Pasifik berlanjut sampai Jepang menguasai Nusantara, padahal menjelang akhir kekuasaan Belanda kalangan nasionalis dan agama telah berhasil menggalang kekuatan dalam wadah yang disebut Kongres Rakyat Indonesia (disingkat Korindo). Perbedaan sikap yang kemudian menimbulkan krisis dalam Korindo tak sampai terselesaikan karena Jepang keburu masuk sehingga situasi pun berubah. Kalangan nasionalis yang memperihatinkan nasib bangsa Indonesia bersedia berunding dengan Belanda, tetapi sebaliknya sikap kalangan agama terhadap Belanda makin keras.

MIAI merupakan langkah nyata keterlibatan NU dalam perjuangan bangsa Indonesia tanpa perlu mengubah karakternya sebagai organisasi keagamaan. Posisi NU cukup kuat di dalamnya, bukan saja karena kemudian wakilnya Wahid Hasyim menjadi ketua, tetapi juga karena atas desakan NU kongres MIAI yang pertama (1938) tidak menjadi lanjutan Kongres Islam yang sebelumnya yang menyebabkan golongan tradisional pernah bentrok dengan golongan pembaharuan. Kongres MIAI yang pertama dianggap sebagai permulaan yang baru, menjadi Kongres Al-Islam Indonesia Pertama, NU menyadari sepenuhnya rnanfaat persatuan dalam perjuangan, seperti yang dinyatakan oleh seruan Hasyim Asyari kepada pesantren. 

Perkokoh persatuan kita, karena orang lain juga memperkokoh persatuan mereka. Kadang-kadang suatu kebathilan mencapai kemenangan disebabkan mereka bersatu dan terorganisasi. Sebaliknva kadang-kadang yang benar menjadi lemah dan terkalahkan lantaran bercerai berai dan saling bersengketa.

Tampilnya MIAI yang dimotori oleh dua organisasi non-politik NU dan Muhammadiyah telah memberikan warna baru bagi kiprah umat Islam dalam arus pergerakan bangsa. Pada saat SI kalau boleh disebut 'wakil' Islam dalam bidang politik makin mundur dan terjepit di antara golongan nasionalis dalam GAPI, umat Islam dapat memperkuat barisannya dalam pergerakan bangsa menuju kemerdekaan. Kemerdekaan bukan saja aspirasi partai politik Islam dengan segelintir politisinya dan bukan pula hanya aspirasi golongan nasionalis, tetapi menjadi aspirasi seluruh umat Islam, baik yang tinggal di kota maupun di desa. Organisasi keagamaan mampu mengikuti perjuangan bangsa dan mampu menjalankan peranan yang kritis; dengan memberi dukungan kepada sesuatu aspirasi yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan atau memberikan kritik terhadap sesuatu perkembangan yang dinilai tidak sesuai dengan nilai-nilai keagamaan.

Pada tahun-tahun terakhir Belanda, Islam Indonesia dengan demikian memainkan peranan yang semakin penting dalam kehidupan politik
tanah jajahan tersebut, sebuah peranan yang serentak menggaris bawahi persamaan dan perbedaan antara pemimpin Islam dan para pemimpin non-religius.

Mungkin dapat ditambahkan pula, bahwa menjelang berakhirnya kekuasaan Belanda bangsa Indonesia telah berhasil menggalang persatuan karena mempunyai tujuan yang sama (kemerdekaan), tetapi berbeda dalam strategi mencapai tujuannya. Dan tujuan itu pula yang merujukkan golongan tradisional (NU) dan golongan pembaharuan (Muhammadiyah).

F. NU pada Masa Jepang

Setelah Perang Pasifik meletus dan Jepang dengan cepat menguasai Nusantara yang dianggap mempunyai potensi besar mendukung ambisi Jepang untuk menguasai selurah Asia. Sama dengan pendahulunya (Belanda), Jepang melihat Islam adalah faktor penting untuk keberhasilan politik penjajahannya. Ia telah siap untuk memasuki bumi Nusantara "dengan suatu rencana kebijaksanaan yang ditujukan untuk memenangkan dukungan Islam. Kebijaksanaan ini sebagian merupakan kebalikan terang-terangan dari tujuan Belanda terutama ditujukan kepada masalah-masalah Islam di tingkat rakyat pedesaan (grassroots).'' Belanda dan Jepang berbeda dalam tujuan politik Islam mereka, kalau Belanda bertujuan menguasai jajahannya maka Jepang bertujuan memperalat Islam untuk mengembangkan kekuasaannya. Terlepas dari tujuan politik Islamnya di bawah kekuasaan Jepang, Islam memperkuat diri. Tampaknya golongan agama lebih leluasa bergerak ketimbang saingannya golongan nasionalis. Tentang hikmah yang dipetik oleh Islam karena politik Islam Jepang itu.

Berbeda dari pemerintah Belanda, memang pihak Jepang sangat banyak menaruh perhatian kepada gerakan dan perkembangan umat Islam. Tampaknya mereka, mendorong dan memberi prioritas kepada kalangan Islam dalam mendirikan organisasi mereka sendiri, sedangkan organisasi kalangan nasionalis yang netral agama tidak digalakkan.Untuk pertama kali dalam sejarah moderen, pemerintah di Indonesia secara resrni memberi tempat yang penting kepada kalangan Islam. 

Sikap pihak Jepang itu tidak dengan sendirinya berarti melaga golongan nasionalis dengan golongan Islam dengan maksud menguasai keduanya, sungguhpun kemungkinan politik pecah belah ini terdapat. Yang jelas ialah pemerintah Jepang kemudian secara berangsur mengakui organisasi-organisasi Islam sedangkan tetap tidak membolehkan organisasi nasionalis dari masa sebelum perang didirikannya kembali. Organisasi Taman Siswa pun yang beroperasi dalam bidang pendidikan mendapat pembatasan dalam bergerak. Banyak sekolah menengahnya ditutup. Pada tanggal 10 September 1943 pemerintah Jepang mengesahkan berdirinya Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.

Kurang lebih setahun setelah Jepang menduduki Nusantara Jepang membentuk Kantor Urusan Agama (bahasa Jepang Shumubu) dan lembaga yang sangat strategis ini pada tahun 1944 dipegang oleh Hasyim Asyari sebagai pimpinan resmi tetapi secara praktis fungsi pimpinan dijalankan oleh anaknya Wahid Hasyim yang dijuluki oleh Dhofier sebagai "Rantai Penghubung Peradaban Pesantren dengan Peradaban Indonesia Modern." Wahid Hasyim (1914-1953) adalah seorang tokoh muda yang sangat cerdas yang telah banyak berjasa bagi perkembangan NU. Ketika Hasyim Asyari ditangkap oleh Jepang dengan tuduhan terlibat kerusuhan di Jombang, dia melakukan pendekatan kepada Jepang sehingga beberapa bulan kemudian Hasyim Asyari dapat dibebaskan. Tampaknya dalam zaman Jepang sikapnya lebih fleksibel ketimbang ayahnya Hasyim Asyari. Wahid Hasyim pula yang dipercayai memimpin Majelis Syuro Muslimin Indonesia (yang disingkat Masyumi) sebuah lembaga perhimpunan golongan Islam yang dibentuk oleh Jepang sebagai pengganti MIAI. Setelah Indonesia merdeka ada tiga peran yang menyatakan kapasitasnya sebagai tokoh nasional, salah seorang penandatangan Piagam Jakarta (Jakarta Charter), menteri agama yang pertama setelah pengakuan kedaulatan, dan pendiri NU sebagai partai politik. "Ketiga peran yang dimainkan oleh K.H.A. Wahid Hasyim tersebut," demikian, "memberikan kumandang yang cukup kuat hingga sekarang, dan mungkin sampai beberapa puluh tahun yang akan datang .

Di bawah Wahid Hasyim, NU mulai menapak zaman baru, yaitu zaman perjuangan politik bersama golongan pergerakan lainnya agar NU seperti yang dikatakannya sendiri "senantiasa dapat mengikuti dan menyesuaikan diri dengan perkembangan keadaan, asal di dalam dasarnya tidak bertentangan dengan pokok-pokok Islam."

Perjuangan NU adalah tidak lengkap gambaran perjuangan NU tanpa menyinggung sikap keras yang pernah diambilnya. Ketika Jepang mewajibkan setiap orang harus menghormati kaisar Jepang dengan membungkuk ke timur (bahasa Jepang : seikerei), Nu menolak dengan tegas. Seorang ulama, K.H. Zaenal Musthafa dari Singaparna (Jawa Barat) mengangkat senjata. Walaupun kemudian dapat dipadamkan, tetapi jelas NU pernah melakukan perlawanan bersenjata terhadap Jepang. Sebab perintah Jepang itu bagi NU sama dengan perbuatan syirik (mempersekutukan Tuhan).


Daftar Pustaka

Ali, Mudzakir. 2009. Pokok-pokok Ajaran Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Semarang: Wahid Hasyim University-Press

Harits, Busyariri. 2010. Islam NU Pengawal Tradisi Sunni Indonesia. Surabaya: Khalista Surabaya

Irsyam, Mahrus.1984. Ulama dan Partai Politik. Jakarta : Yayasan Perkhidmatan

Noer, Deliar. 1987. Partai Islam di Pentas Nasional. Jakarta: Grafiti Pers

S.H. Nasr. 1983. Islam dalam Cita dan Fakta. Jakarta: LEPPENAS

Wahid, Abdurrahman. 1981. Muslim di Tengah Pergumulan. Jakarta: LEPPENAS

Samiun, Samson. 2013. sejarah berdirinya NU. samiunsamson.blogpot.com (diunduh pada 19 April 2014)










Post a Comment

Previous Post Next Post