AGRESI MILITER II BELANDA


A. Pengertian Agresi

Agresi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan sebagai penyerangan suatu negara terhadap negara lain. Dalam disiplin ilmu antropologi, agresi merupakan perbuatan bermusuhan yang bersifat penyerangan fisik ataupun psikis terhadap pihak lain. Sedangkan ilmu psikologi menafsirkan agresi sebagai perasaan marah atau tindakan kasar akibat kekecewaan atau kegagalan dalam mencapai pemuasan atau tujuan yang dapat diarahkan kepada orang atau benda.

Dari sejumlah pengertian yang disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa agresi merupakan tindakan penyerangan yang didasarkan atas perasaan marah terhadap sesuatu yang dianggap tidak memuaskan kepada dari satu pihak ke pihak yang lain.

Berkaitan dengan definisi tersebut, maka hingga saat ini pihak Belanda masih menyebut aksi mereka terhadap Indonesia pada 1947 dan 1948 merupakan aksi polisional guna menjaga dan memelihara keamanan yang ada. Namun bagi Indonesia, aksi militer Belanda merupakan sebuah ancaman fisik untuk kembali menjajah Indonesia. Oleh karena itu, rakyat Indonesia dalam berbagai kesatuan dan elemen, kembali harus berjuang dalam masa revolusi mempertahankan kemerdekaan, termasuk dalam Agresi Militer Belanda II.

B. Peristiwa Sebelum Agresi Militer Belanda II

Hal-hal yang berkaitan dengan peristiwa sebelum agresi merupakan kejadian yang baik secara langsung atau pun tidak langsung turut mempengaruhi jalannya Agresi Militer Belanda II. Kejadian-kejadian tersebut berasal dari pihak Indonesia maupun Belanda, yang di antaranya:

C. Konsekuensi atas Konsensus dalam Perjanjian Renville

Perjanjian Renville yang difasilitasi oleh PBB telah disepakati pada 17 Januari 1948. Inti dari Perjanjian Renville sebenarnya sama dari Perjanjian Linggajati, yaitu pengakuan secara de facto terhadap Indonesia di Sumatera, Jawa, dan Madura serta rencana pembentukan Negara Indonesia Serikat. Batas-batas baru yang ditetapkan Perjanjian Renville lewat Garis Van Mook, sangat merugikan pihak Indonesia karena beberapa wilayah di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sumatera yang diserang dan dikuasai Belanda sejak agresinya yang pertama, dinyatakan sebagai wilayah kekuasaan Belanda. Pihak Indonesia pun harus secepatnya mengosongkan kantong-kantong tersebut dan menyerahkannya kepada Belanda dalam waktu tiga minggu, yang mengakibatkan hijrahnya pasukan TNI bahkan diikuti rakyat sipil.

Pemindahan Divisi Siliwangi dari Jawa Barat ke ibukota Yogyakarta, yang dikenal sebagai Hijrah Siliwangi, pada tanggal 22 Februari 1948 membawa sekitar 29.000 orang yang sebagian besar bersama keluarga mereka. Menurut dr. W. Hutagalung, jumlah keseluruhannya adalah 40.000 orang. Presiden Soekarno bahkan membentuk “Panitia Hijrah” dengan Hutagalung sebagai pimpinannya. Sedangkan di Jawa Timur dan Sumatera, lebih dari 500.000 orang pindah ke wilayah kekuasaan Indonesia.

Belanda juga melanjutkan pembentukan negara-negara federal seperti yang disetujui dalam Perjanjian Linggajati dan Renville. Pada 23 Januari 1948, Negara Madura didirikan setelah sebelumnya berdiri Negara Indonesia Timur. Pada 19 Maret 1948, R.A.A Wiranata Kusumah diangkat menjadi wali Negara Pasundan (Jawa Barat). Negara-negara lain yang telah terbentuk di antaranya Daerah Otonomi Kalimantan Barat, Negara Sumatera Timur, dan Negara Jawa Timur. Negara-negara federal bentukan Belanda tersebut akan tergabung dalam Musyawarah Negara-negara Federal atau BFO (Bijeenkomst voor Federaale Overleg) yang akan membentuk Pemerintah Peralihan Indonesia atau BIO (Bewindvoering Indonesie in Overgangstijd). BIO pun resmi berdiri pada 13 Desember 1948, tanpa keikutsertaan Indonesia.

Konsensus yang diberikan PM Amir Syarifuddin tersebut, telah membawanya ke dalam kecaman di dalam negeri, terutama dari pihak TNI. Pada 23 Januari 1948, Amir akhirnya meletakkan jabatannya dan digantikan oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta yang ditunjuk oleh Presiden Soekarno untuk menjadi Perdana Menteri. Kabinet Hatta kemudian dilantik pada 29 Januari 1948.

Antisipasi Serangan Belanda 

Indonesia bukannya tanpa antisipasi dan persiapan melawan Belanda pasca agresi pertamannya yang dilakukan bulan Juli 1947. Hal ini telah dimulai oleh PM Hatta yang melanjutkan program reorganisasi dan rasionalisasi di tubuh TNI dari PM Amir Syarifuddin. Belasan laskar-laskar, pejuang pemuda, dan lain-lain dibubarkan dan anggota terbaiknya diintegrasikan ke dalam TNI. Sedangkan rasionalisasi dilakukan dengan penurunan pangkat secara menyeluruh karena pangkat yang ada dianggap tidak mencerminkan fungsi dan kemampuan yang bersangkutan.

Dewan Siasat Militer yang terdiri atas pemimpin politik dan militer tertinggi, telah menyusun sejumlah siasat dengan susunan konsep pertahanan oleh Kolonel A.H Nasution. Di antaranya mempersiapkan basis pertahanan di Bukittinggi, Sumatera Barat setelah beberapa kalangan militer berpendapat ruang gerak di Jawa terlalu kecil untuk strategi gerilya. Gerilya kemudian disepakati sebagai pokok-pokok perlawanan Republik Indonesia. Siasat lain di antaranya dengan pengungsian total, penempatan tenaga-tenaga untuk mengadakan wilayah-wilayah perlawanan gerilya secara luas dan lama, taktik bumi hangus, serta sejumlah persiapan keterampilan dan hal teknis lainnya.

Perubahan Kepemimpinan Negeri Belanda dan Kebijakannya di Indonesia

Tanggal 6 Agustus 1948, Willem Drees menjadi Perdana Menteri menggantikan L.J.M Beel yang kemudian diangkat menjadi Wakil Tinggi Mahkota atau HVK (Hooge Vertegenwoordiger van de Kroon). Beel menggantikan posisi van Mook sebagai Gubernur Jenderal yang kemudian penyebutannya diganti menjadi Wakil Tinggi Mahkota.

Beel berhaluan keras. Dia dekat dengan kalangan pengusaha di Belanda yang tidak ingin memberikan konsesi apa pun kepada pihak Indonesia. Beel berpendapat bahwa perundingan dengan Indonesia berlarut-larut dan tidak ada gunanya. Hal ini mengakibatkan keinginan Jenderal Spoor untuk menghancurkan TNI akhirnya mendapat persetujuan politik. 

Kebijakan WTM Beel di Indonesia pun menuai kontroversi. Ia menuntut pembubaran TNI -yang oleh Belanda disebut “pengikut Indonesia yang bersenjata”- dan pembentukan Angkatan Perang Negara Indonesia Serikat (APNIS) dengan basis tentara KNIL (Koninklijke Nederlands Indische Leger/AD Hindia Belanda). Pada 11 Desember 1948, WTM Beel menyatakan bahwa Belanda tidak bersedia melanjutkan perundingan. Bahkan Beel menyatakan sehari sebelum agresi ke Yogyakarta, ia sudah memberitahukan kepada RI bahwa Belanda sudah tidak terikat lagi dalam perjanjian dengan Indonesia. WTM Beel juga mengumumkan akan segera membentuk Pemerintahan Peralihan di Indonesia (BIO) dan memaksa pemimpin Indonesia untuk menjadi anggotanya. BIO pun resmi terbentuk pada 13 Desember 1948 dengan tanpa keikutsertaan Indonesia. 

Detik-detik Jelang Agresi Militer Belanda II

Hal yang patut dicatat sebelum agresi kedua Belanda dimulai adalah bahwa kekuatan militer Indonesia melemah akibat Peristiwa Madiun. Akibatnya TNI masih terpencar-pencar, tidak berada di tempatnya sehingga memerlukan waktu untuk persiapan perang. Memang telah diperkirakan bahwa Belanda akan memanfaatkan situasi tersebut, dan ternyata terbukti.

Selain hal tersebut, dalam sidang kabinet, berdasarkan hasil pembicaraan pada sidang Dewan Siasat Militer diputuskan bahwa akan segera memberangkatkan Presiden Soekarno ke India dengan alasan kunjungan resmi kenegaraan. Alasan tersebut disampaikan kepada wakil India di Yogyakarta, Mr. Yunus, untuk diteruskan kepada PM Nehru yang menyetujuinya. Rencananya, Presiden Soekarno akan berangkat ke India pada 15 Desember 1948, namun pesawat yang dikirim PM Nehru ditahan Belanda di Jakarta dan tidak diizinkan melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta. 

Pada saat WTM Beel menyatakan Belanda tidak bersedia melanjutkan perundingan, pimpinan militer Indonesia menerima laporan bahwa Tentara Belanda sedang mengadakan konsentrasi besar-besaran di garis demarkasi. TNI pun berencana mengadakan latihan perang pada 19 Desember 1948. Panglima Besar Jenderal Sudirman yang menderita penyakit paru sejak Oktober 1948, harus dirawat di rumah sakit sehingga pekerjaannya dijalankan sejumlah wakil kepala staff angkatan perang. Akan tetapi, pada 18 Desember 1948, didorong firasat yang sangat kuat, Sudirman menyatakan bahwa mulai hari itu dia mengambil alih kembali komando Angkatan Perang Indonesia.

D Jalannya Agresi Militer Belanda II 

Pemimpin Angkatan Perang Belanda, Jenderal Spoor, memberikan instruksi kepada seluruh Tentara Belanda di Jawa dan Sumatera untuk memulai serangannya terhadap Indonesia. Operasi ini disebut “Opresai Kraai atau Operasi Burung Gagak”. Pada 19 Desember 1948 pukul 02.00 pagi, Pasukan Parasutis di Lapangan Terbang Andir, Bandung mulai mempersiapkan diri ke 16 pesawat. Pukul 03.45 Mayjen Engles tiba dan diikuti Jenderal Spoor lima belas menit setelahnya. Kemudian ia berpidato singkat serta inspeksi. Pukul 04.20, pasukan elite dibawah pimpinan Kapten Eekhout naik pesawat dan pukul 04.30, pesawat Dakota pertama tinggal landas. Rute penerbangan ke arah timur menuju Maguwo diambil melalui Lautan Hindia. Pukul 05.45, serangan terhadap Yogyakarta diawali dengan pemboman atas Lapangan Terbang Maguwo disertai tembakan oleh 5 (lima) pesawat Mustang dan 9 (sembilan) pesawat Kittyhawk. Pukul 06.45 pasukan parasut mulai menerjunkan diri di Maguwo. 

Pertahanan TNI di Maguwo hanya terdiri atas 150 orang pasukan pertahanan pangkalan udara dengan persenjataan yang sangat minim. Pertempuran merebut Maguwo hanya berlangsung sekitar 25 menit. Maguwo sudah jatuh sepenuhnya ke pasukan Belanda pukul 07.10. Di pihak Indonesia, tercatat 128 tentara gugur sedangkan di pihak Belanda tidak ada satu pun yang tewas.

Seiring dengan penyerangan tersebut, WTM Beel berpidato pada 19 Desember pagi di radio dan menyatakan bahwa Belanda tak lagi terikat dengan Perjanjian Renville. Penyerangan terhadap wilayah Indonesia di Jawa dan Sumatera, termasuk ibukota Yogyakarta dimulai. Mendengar serangan Belanda, Panglima Besar Jenderal Sudirman segera mengeluarkan perintah kilat yang dibacakan di radio pukul 08.00, yang menyatakan bahwa Indonesia telah diserang, Belanda telah menyerang Kota Yogya, Belanda melanggar gencatan senjata, dan instruksi agar semua angkatan perang untuk menghadapi serangan Belanda.

Sekitar pukul 09.00, sebanyak 432 anggota pasukan parasut mendarat di Maguwo. Pukul 11.00, kekuatan tempur Belanda mencapai 2600 orang beserta persenjataan berat di bawah pimpinan Kolonel D.R.A van Langen. Mereka telah berkumpul di Maguwo, untuk berangkat menuju Kota Yogyakarta. Serangan terhadap Yogyakarta dimulai dengan pemboman serta menerjunkan pasukan di dalam kota. Serangan juga dilancarkan di daerah lain di Jawa dan Sumatera.

Pukul 15.00, seluruh Kota Yogyakarta telah berhasil dikuasai Tentara Belanda. Mereka menangkap sejumlah pemimpin sipil Indonesia, termasuk Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Soekarno, Sutan Syahrir, dan H. Agus Salim awalnya dibawa ke Brastagi, Sumatera Utara, namum kemudian dipindahken ke sebuah villa di tepi danau Toba milik dr. Tengku Mansur di Prapat, Sumatera Utara. Mohammad Hatta, Mr. Assaat, dan KSAU Komodor Suriadarma diasingkan ke Bangka yang kemudian disusul oleh Mohammad Roem dan Ali Sastroamijoyo.

Jenderal Spoor mengumumkan gencatan senjata pada 31 Desember 1948. Perdana Menteri Belanda, Willem Dress menyatakan bahwa aksi polisional telah selesai dan Indonesia sudah tidak ada lagi. Walaupun diumumkan gencatan senjata dan telah dinyatakan selesainya aksi militer di Indonesia, nyatanya perlawanan dan kontak senjata masih terjadi di sejumlah daerah seperti aksi gerilya, operasi militer di Jawa Barat, Jawa Timur serta di sejumlah daerah lain di Indonesia. Indonesia juga meneruskan perjuangannya dengan berdiplomasi di Dewan Keamanan PBB yang memaksa Belanda kembali ke jalur perundingan.

E. Reaksi atas Agresi Militer Belanda II

Reaksi atas agresi ini datang dari pihak Indonesia dan dunia internsional. Di Indonesia, sidang kabinet digelar di Gedung Agung, Yogyakarta sejak pagi hingga siang di tengah-tengah suasana agresi. Setelah diadakan pemungutan suara oleh para menteri, sidang memutuskan agar presiden dan wakil presiden untuk tetap tinggal di Yogyakarta yang dinilai lebih aman, karena jika turut bergerilnya, tidak ada pengawalan yang memadai. Hal ini dilakukan sekaligus agar tetap terhubung dengan Komisi Tiga Negara sebagai alat PBB. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden/Perdana Menteri Mohammad Hatta lalu menyampaikan pidatonya yang disiarkan lewat radio guna menjelaskan situasi yang terjadi, sebelum ditangkap oleh Belanda di sore harinya.

Sidang juga memutuskan pembentukan Pemerintahan Darurat RI, sesuai rencana jauh-jauh hari sebelumnya. Pemerintah lalu mengirim surat kepada Menteri Kemakmuran Syafruddin Prawiranegara yang sedang berada di Bukittinggi untuk membentuk kabinet dan mengambil alih pemerintah pusat. Untuk berjaga-jaga jika Syafruddin tidak berhasil, turut dikirim surat kepada Dubes RI di India, dr. Sudarsono, untuk membentuk Exile Government of the Republic of Indonesia di India.

Di lain pihak, reaksi juga datang dari kalangan militer. Panglima Besar Jenderal Sudirman yang datang ke Gedung Agung sejak pukul 07.00 pagi, berpamitan dengan Presiden Soekarno untukmemulai bergerilya. Di tengah kondisi tubuhnya yang sedang sakit, Soekarno membujuknya agar tetap tinggal di kota, namun beliau menolak.

Pada 22 Desember 1949, Kolonel A.H Nasution mengelurkan maklumat yang memerintahkan agar dibentuk Pemeintahan Militer untuk seluruh Jawa. Divisi III pimpinan Kolonel Bambang Sugeng membentuk wilayah pertahanan yang mencakup sejumlah kabupaten di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Sedangkan di Jawa Barat, Divisi Siliwangi kembali dengan melakukan long march dalam rangka Operasi Wingate, yaitu operasi militer di belakang garis pertahanan musuh. Perlawanan bersenjata juga dilakukan di Jawa Timur, antara lain di Lamongan yang dicatat terjadi sejak 19 Desember 1948 hingga 19 Juni 1949.

Dunia internasional bertindak keras. Dewan Keamanan PBB mengadakan sidang di Lake Success, AS dan Paris, Perancis pada 20 dan 22 Desember 1948. Sejumlah negara mengecam agresi Belanda di Indonesia. Resolusi yang dikeluarkan pada 24 dan 28 Desember 1948 yang mendesak Belanda menghentikan aksi militer dan membebaskan tahanan politik, tidak dipatuhi. Sejumlah negara bertindak nyata. Sri Lanka, Irak, Myanmar, India, Pakistan, Arab Saudi, menutup semua pelabuhan dan bandara untuk kapal dan pesawat Belanda. Pelaut dan buruh Australia memboikot kapal Belanda yang menuju Indonesia. Sedangkan Amerika Serikat meminta kedua pihak untuk membicarakan penghentian permusuhan, menarik militernya seperti saat sebelum agresi, dan membebaskan semua tahanan politik.


DAFTAR PUSTAKA

Hutagalung, Batara R. 2010. Serangan Umum 1 Maret 1949. Yogyakarta: L Kis.



Ricklefs, M.C. 1999. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.



Sumiyati, Sri Endang, dkk., Pelurusan Sejarah SO. Yogyakarta: Media Pressindo.




pukul 20.12.

Post a Comment

Previous Post Next Post