MUNCULNYA NASIONALISME DI INDONESIA



A. Nasionalisme dan Faktor Kemunculannya 

Nasionalisme berasal dari kata ‘nation’ (Inggris) yang berarti bangsa. Untuk pengertian nasionalisme itu sendiri adalah suatu sikap politik dari masyarakat suatu bangsa yang mempunyai kesamaan kebudayaan, dan wilayah serta kesamaan cita-cita dan tujuan, dengan demikian masyarakat suatu bangsa tersebut merasakan adanya kesetiaan yang mendalam terhadap bangsa itu sendiri. Pengertian nasionalisme berdasarkan beberapa tokoh ngtara lain: 

1. Joseph Ernest Renan bahwa nasionalisme adalah sekelompok individu yang ingin bersatu dengan individu-individu lain dengan dorongan kemauan dan kebutuhan psikis. Sebagai contoh adalah bangsa Swiss yang terdiri dari berbagai bangsa dan budaya dapat menjadi satu bangsa dan memiliki negara. 

2. Otto Bauer mengatakan bahwa nasionalisme adalah kesatuan perasaan dan perangai yang timbul karena persamaan nasib, contohnya nasionalisme negaranegara Asia.. 

3. Menurut Hans Kohn nasionalisme adalah kesetiaan tertinggi yang diberikan individu kepada negara dan bangsa 

4. Louis Snyder mengemukakan nasionalisme adalah hasil dari faktor-faktor politis, ekonomi, sosial dan intelektual pada suatu taraf tertentu dalam sejarah. Sebagai contoh adalah timbulnya nasionalisne di Jepang. 

Adapula ciri dari nasionalisme yang muncul dari pengertian nasionalisme itu sendiri yaitu : 

1. Nasionalisme adalah cinta tanah air, ras, bahasa atau sejarah budaya bersama. 

2. Nasionalisme adalah keinginan akan kemerdekaan politik, keselamatan dan prestise bangsa. 

3. Nasionalisme adalah kebaktian mistis terhadap organisme sosial yang kabur, bahkan terkadang adikodrati yang disebut sebagai bangsa atau Volk yang kesatuannya lebih unggul daripada bagian-bagiannya. 

4. Nasionalisme adalah dogma (kepercayaan) yang mengajarkan bahwa individu hanya hidup untuk bangsa itu sendiri. 

Nasionalisme Indonesia adalah suatu gerakan kebangsaan yang timbul pada bangsa Indonesia untuk menjadi sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat. Nasionalisme awalnya berkembang di Eropa. Pada akhir abad 18 di Eropa mulai berlaku suatu paham bahwa setiap bangsa harus membentuk suatu Negara sendiri dan bahwa Negara itu harus meliputi seluruh bangsa masingmasing. Kebanyakan bangsa-bangsa itu memiliki faktor-faktor obyektif tertentu yang membuat mereka berbeda satu sama lain, misalnya persamaan keturunan, persamaan bahasa dan daerah budaya, kesatuan politik, adat istiadat dan tradiri atau juga karena persamaan agama. Gerakan nasionalisme dan cita-cita kebangsaan yang berkembang di eropa pada hakikatnya memiliki sifat cinta kebangsaan. 

Nasionalisme yang berkembang di Eropa kemudian menjalar ke seluruh dunia. Memasuki awal abad 20 nasionalisme mulai berkembang di negara-negara Asia dan Afrika termasuk Indoensia. Nasionalisme di Asia dan Afrika bukan hanya suatu perjuangan kemerdekaan untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan, tetapi memiliki tujuan yang lebih mendalam, sehingga nasionalisme itu memiliki beberapa aspek seperti: 

1. Aspek politik 

Nasionalisme bersifat menumbangkan dominasi politik imperialisme dan bertujuan menghapus pemerintah kolonial. 

2. Aspek Sosial Ekonomi 

Nasionalisme bersifat menghilangkan kesenjangan sosial yang diciptakan oleh pemerintah kolonial dan bertujuan menghentikan eksploitasi ekonomi. 

3. Aspek Budaya 

Nasionalisme bersifat menghilangkan pengaruh kebudayaan asing yang buruk dan bertujuan menghidupkan kebudayaan yang mencerminkan harga diri bangsa setara dengan bangsa lain. 

Makna dari nasionalisme secara politis merupakan perwujudan dari kesadaran nasional yang mengandung cita-cita dan pendorong bagi suatu bangsa, baik untuk merebut kemerdekaan atau mengusir penjajahan maupun sebagai pendorong untuk membangun dirinya maupun lingkungan masyarakat, bangsa dan negaranya. Kemunculan dari rasa kebangsaan Indonesia berasal dari keinginan kuat rakyat Indonesia untuk merdeka dan berdaulat. Selain itu terdapat juga faktor internal dan eksternal yaitu: 

Faktor Eksternal 

1. Munculnya fase kesadaran pentingnya semangat nasional dan perasaan senasib. 

2. Peristiwa PD1 menyadarkan kaum terpelajar mengenai penentuan nasib sendiri. 

3. Munculnya dorongan untuk melawan imperialisme barat karena adanya konflik ideologi antara kapitalisme / imperialisme dengan sosialisme / komunisme. 

4. Lahirnya nasionalisme di Asia dan Afrika memberi inspirasi kaum terpelajar di Indonesia bahwa imperialisme harus dilawan melalui organisasi modern. Seperti yang pernah Anda pelajari di modul sebelumnya. 

5. Kemenangan Jepang atas Rusia tahun 1904-1965, telah menyadarkan bangsa Asia khususnya Indonesia akan kekuatan dan kemempuannya sebagai bangsa Asia yang telah mampu mengalahkan bangsa Eropa yang selalu menganggap bangsa yang super. 

6. Munculnya pergerakan kebangsaan di wilayah lain seperti India, Turki, Philipina, Cina dll 



B. Peranan Golongan Terpelajar dalam Menumbuhkembangkan Kesadaran Nasional Indonesia 

Awal abad ke-20, politik kolonial memasuki babak baru, yaitu era Politik Etis, yang dipimpin oleh Menteri Jajahan Alexander W.F. Idenburg yang kemudian menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1909-1916) Ada tiga program Politik Etis, yaitu irigasi, edukasi, dan trasmigrasi. Adanya Politik Etis membawa pengaruh besar pada perubahan arah kebijakan politik negeri Belanda atas negeri jajahan. Pada era itu pula muncul simbol baru yaitu “kemajuan”. Dunia mulai bergerak dan bermacam-macam kehidupanpun mulai mengalami perubahan. Adanya pendidikan gaya Barat itu membuka peluang untuk mobilitas sosial masyarakat di tanah Hindia/Indonesia. Pengaruh pendidikan Barat itu pula yang lalu memunculkan sekelompok kecil intelektual bumiputra yang memunculkan kesadaran, bahwa rakyat bumiputra wajib mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain untuk mencapai kemajuan. Golongan intelektual bumiputra itu disebut “priyayi baru” yang sebagian besar adalah guru dan jurnalis di kota-kota. Pendidikan dan pers itu pula menjadi untuk menyalurkan ide-ide dan pemikiran yang ingin membawa kemajuan, dan pembebasan bangsa dari segala bentuk penindasan dari kolonialisme Belanda. Mereka tidak memandang Jawa, Sunda, Minangkabau, Ambon, atau apa pun sebab mereka adalah bumiputra. Pengalaman yang mereka peroleh di sekolah dan dalam kehidupan setelah lulus sangatlah berbeda dengan generasi orang tua mereka. Para kaum muda terpelajar inilah yang kemudian membentuk kesadaran “nasional” sebagai bumiputra di Hindia, dan bergerak bersama “bangsa-bangsa” lain dalam garis waktu yang tidak terhingga menuju modernitas, suatu dunia yang memberi makna baru bagi kaum pelajar terdidik saat itu. Mereka tentunya tidak mengenal satu sama lain di Batavia, Bandung, Semarang, Solo, Yogyajakarta, Surabaya, dan seluruh wilayah Hindia. Mereka saling berbagi pengalaman, gagasan, dan anggapan mengenai dunia, Hindia, dan zaman mereka. Pemerintah Kolonial Belanda juga membentuk Volksraad (Dewan Rakyat) yang sejumlah tokoh Indonesia bergabung di dalamnya. Mereka itu penggerak wacana perubahan di lembaga itu. 

Lahirnya golongan terpelajar di Indonesia merupakan dampak dari pelaksanan politik etis di Indonesia yang diberlakukann tahun 1900.pelaksanaan politik etis di bidang edukasi memberikan dampak positif bagi bangsa Indonesia dengan berhasil di munculkannya golongan terpelajar yang akhirnya menjadi pelopor pergerakan nasional Indonesia menentang kolonial penjajah kolonial Belanda. Golongan terpelajar telah mempunyai pandagan baru yaitu, nasionalisme Indonsia dan berusaha mengubah pandangan sebelumnya yang masih bersifat kedaerahan. Golongan terpelajar berkeyakinan bahwa cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia hanya akan tercapai apabila nasionalisme telah tumbuh yang mengikat suku bangsa di Indonesia dalam ikatan persatuan nasional. Perjuangan bangsa Indonesia sejak tahun 1908 dikenal dengn sebutan pergerakan Nasional, yaitu pergerakan bangsa Indonesia yang melipti segala macam aksi yang dilakukan dengan orgnisasi modern. 

Perjuangan bangsa Indonesia sejak tahun 1908 mempunyai ciri-ciri yaitu: 

1. perjuangan digerakan oleh kaum terpelajar yang berwawasan luas 

2. perjuangan bersifat kebangsaan 

3. perjuangan menggunakan organisasi modern yang teratur 

4. organisasinya bersifat demokratis dan tidak tergantung pada seorang pimpinan 

5. wujud perjuanganya tidak mengandalkan kekuatan fisik, tetapi berupa gerakan sosial, ekonomi, pendidikan, dan budaya yang meningkatkan menjadi gerakan politik untuk menuntut kemerdekaan indonesia 

Golongan terpelajar yang memperoleh kedudukan dalam birokrasi pemerintahan pada umumnya bergaya hidup priayi dan memperoleh status terhormat. Sementara itu, golongan terpelajar atau kaum intelektual yang tidak berada dalam birokrasi pemerintahan menjalankan profesinya secara mandiri (swasta). Dari golongan terpelajar yang bekerja di luar birokrasi pemerintahan inilah lahir pemimpin-pemimpin organisasi Pergerakan Nasional. Hal itu disebabkan mereka yang bekerja secara mandiri mempunyai ruang gerak lebih leluasa untuk menjalankan berbagai kegiatan, salah satunya adalah kegiatan politik. 

Golongan terpelajar mempunyai ruang gerak sosial yang lebih luas. Mereka mendapat kesempatan bergaul dengan berbagai orang dari daerah dan kebudayaan lain. Dengan demikian, selain dapat meluaskan pandangan hidup juga mempunyai hubungan yang luas. Hubungan baru ini jauh lebih luas, tidak hanya terbatas pada hubungan keluarga, kedaerahan, atau bersifat kesukuan. Proses ini akan makin melembaga sebagai pola hubungan baru yang kemudian berkembang menjadi jaringan sosial sehingga terciptalah ruang sosial. Dengan demikian, integrasi nasional secara lambat laun terbentuk. Golongan terpelajar dalam posisi sosialnya memungkinkan berfungsi sebagai perintis nasionalisme dan pelopor dalam modernisasi. 


C. Peran Pers Dalam Menumbuhkan Semangat Nasionalisme 

Pada awal abad ke-20, para priyayi baru menuangkan gagasannya melalui pers (media cetak) tentang isu-isu perubahan. Isu-isu yang dipopulerkan, yaitu terkait dengan peningkatan status sosial rakyat bumiputra dan peningkatan kehidupan di bidang sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Kata kemajuan menjadi populer pada saat itu. Kemajuan saat itu diartikan dengan pendidikan, pencerahan, peradaban, modernisasi, dan kesuksesan hidup. 

Pers adalah sarana berpartisipasi dalam gerakan emansipasi, kemajuan dan pergerakan nasional. Pada dasawarsa itu ditandai dengan jumlah penerbitan surat kabar berbahasa Melayu yang mengalami peningkatan. Orang-orang pertama yang aktif dalam dunia pers saat itu adalah orang Indo seperti H.C.O. Clockener Brousson dari Bintang Hindia, E.F Wigger dari Bintang Baru, dan G. Francis dari Pemberitaan Betawi. Pada abad itu penerbit Tionghoa mulai bermunculan. Para penerbit Tionghoa itulah yang menjadikan pertumbuhan surat kabar berkembang pesat. Dalam perkembangan lalu kaum bumiputra juga mengambil bagian. Mereka mulanya magang pada jurnalis Indo dan Tionghoa, lalu peran mereka meningkat sebagai redaktur surat kabar orang Indo dan Tionghoa. Bermula dari itulah para bumiputra itu mendirikan sendiri penerbitan surat kabar mereka. Penerbit bumiputra pertama di Batavia yang muncul pada pertengahan abad ke-20 adalah R.M. Tirtoadisuryo, F.D.J Pangemanan, dan R.M. Tumenggung Kusuma Utaya, sebagai redaktur Ilmoe Tani, Kabar Perniagaan, dan Pewarta Prijaji. 

Nasionalisme Indonesia telah ditumbuhkan oleh dan melalui banyak surat kabar pribumi berbahasa Melayu yang terbit di beberapa kota di Hindia Belanda, dan juga di luar negeri. Nama-nama surat kabar itu seperti:Soerat Kabar Bahasa Melajoe (Surabaya, 1856), Soerat Chabar Betawi (Betawi, 1858), Selompret Malajoe – belakangan bernama Slompret Melayoe – (Semarang, 1860), Pertela Soedagaran (Surabaya, 1863), Bintang Timor (Padang, 1865), Bintang Djohar (Betawi, 1873),Mata Hari (Makassar, 1883), Pelita Ketjil (Padang, 1886), Insulinde (Padang, 1901) bahkan juga Bintang Utara (Rotterdam, 1856) dan Bintang Hindia (Amsterdam, 1903). 

Nama-nama surat kabar ini ada sebelum Medan Prijaji (Batavia, 1907) milik Tirto Adi Soerjo. Dengan membaca buku ini, maka pembaca akan tahu bahwa jasa Tirto Adi Soerjo tidak lebih besar daripada jasa Dja Endar Moeda yang aktif di dunia pers pribumi di Sumatera. Dia bukan cuma memiliki dan mengeditori hampir selusin surat kabar pribumi di Sumatera, tapi membeli percetakan Insulinde di Padang untuk mencetak surat kabar dan buku-buku berbahasa Melayu, mengabdikan dirinya di dunia jurnalisme dan perbukuan untuk memajukan kaum sebangsanya. Atau sebutlah nama lain seperti Abdul Rivai, dokter Jawa pertama yang lewat tulisan-tulisannya yang cerdas dalam surat kabar Bintang Hindia yang terbit di Amsterdam (1903-1907) memberikan berbagai informasi dan pengetahuan berharga kepada kaum sebangsanya di tanah air. Jangan salah, meskipun Bintang Hindiaawalnya terbit di Amsterdam, pada akhirnya koran ini paling besar didistribusikan di Hindia Belanda lewat tangan dingin Crousson yang bisa mendapatkan kesepakatan kerjasama dengan pemerintah jajahan. 

Di Surakarta R.Dirdjoatmojo menyunting Djawi Kanda yang diterbitkan oleh Albert Rusche & Co., Di Yogjakarta Dr. Wahidin Sudirahusada sebagai redaktur jurnal berbahasa Jawa, Retnodhoemillah diterbitkan oleh Firma H. Buning. Bermunculannya media cetak itu segera diikuti oleh sejumlah jurnalis bumiputra lainnya. Mereka adalah R. Tirtodanudja dan R. Mohammad Jusuf. Keduanya adalah redaktur Sinar Djawa, yang diterbitkan Honh Thaij & Co. Djojosudiro, redaktur Tjahaja Timoer yang diterbitkan di Malang oleh Kwee Khaij Khee. Di Bandung Abdull Muis sebagai redaktur Pewarta Hindia yang diterbitkan oleh G. Kolff & Co. Para jurnalis bumiputra itulah yang memberikan wawasan dan ”embrio kebangsaan” melalui artikel, komentar- komentar mereka dalam surat pembaca, dan mengungkapkan solidaritas diantara mereka dan para pembaca yang sebagian besar adalah kaum muda terpelajar. Misalnya Pewarta Prijaji yang disunting oleh R.M.T. Kusumo Utaya seorang Bupati Ngawi, yang menyerukan persatuan di kalangan priyayi. Mereka juga mendapatkan dukungan dari simpatisan dan pelanggan dengan 15 cabang di Jawa, Madura, dan Sumatera (lebih lanjut baca Takashi Shiraishi dalam Zaman Bergerak : Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926). 

Sementara itu pergerakan kebudayaan “cetak” mulai masuk di beberapa kota kolonial lain, seperti Surabaya, Padang, dan Semarang. Kapitalisme cetak memudahkan kaum terdidik untuk mendapat informasi. Pada tahun 1901, sebuah majalah bulanan Insulinde diterbitkan atas kerjasama para terpelajar di Kota Padang dengan guru-guru Belanda di sekolah raja (Kweekschool) Bukittinggi, terutama van Ophuysen, ahli bahasa Melayu. Ketua redaksi majalah itu adalah Dja Endar Muda, seorang wartawan keturunan Tapanuli yang juga sudah menerbitkan surat kabar Pertja Barat dan majalah bulanan berbahasa Batak, Tapian Nauli. Majalah Insulinde itu disebarkan ke seluruh Sumatera dan Jawa. Majalah itulah yang pertama memperkenalkan slogan “kemajuan” dan “zaman maju”. Satu diantara artikel menarik yang dimuat dalam Insulinde adalah kisah kemenangan Jepang, negara “kecil” yang menang mengalahkan Tiongkok “yang besar”. Kemenangan Jepang itu disebabkan keberhasilannya dalam memasuki “dunia maju”. Ulasan mengenai perkembangan yang terjadi di “dunia maju” secara terbuka mengajak para pembaca untuk ikut serta dalam zaman “kemajuan”. Majalah itu tidak saja memuat artikel mengenai bangsa Hindia Belanda, akan tetapi juga memuat mengenai berita Asia dan Eropa. 

Sementara itu, tokoh muda dr. Abdul Rivai yang baru datang dari Belanda menganjurkan pada tokoh muda di Hindia untuk membentuk sebuah organisasi. Dalam tulisan- tulisannya dalam Bintang Hindia ia selalu memuat mengenai “kemajuan” dan “dunia maju”. Rivai menganjurkan agar ada organisasi bernama Persatuan Kaum Muda didirikan dengan cabang di semua kota-kota penting di Hindia. Wahidin Soedirohoesodo tertarik dengan tulisan Rivai. Saat itu dia sebagai editor majalah berbahasa Jawa, Retnodhumilah, dalam tulisan itu disarankan agar kaum berusia tua dan kaum muda membentuk organisasi pendidikan yang memiliki tujuan untuk memajukan masyarakat. Gagasan Wahidin akhirnya terwujud saat para pelajar “Stovia”, Sekolah dokter Jawa, mendirikan suatu organisasi bernama Boedi Oetomo, pada 2 Mei 1908 (untuk lebih jelasnya dapat dibaca dalam Taufik Abdullah dan A.Blapian (ed), 2012). 

Beberapa surat kabar yang lalu membawa kemajuan untuk kalangan pribumi yaitu Medan Prijaji ( 1909-1917) dan juga terbitan wanita pertama yang terbit berkala yaitu Poetri Hindia (1908-1913). Seorang editornya yang dikenal yaitu R.M. Tirtoadisurya memuat mengenai tulisannya, bahwa untuk memperbaiki status dagang “pedagang bangsa Islam”, perlu ada organisasi yang anggota-anggotanya terdiri dari para pedagang sehingga “orang kecil tidak bisa dikalahkan sebab mereka bersatu”. Dia kemudian dikenal sebagai pendiri Sarekat Dagang Islamijah atau lebih dikenal dengan Sarekat Dagang Islam Pada abad itu penerbit Tionghoa mulai bermunculan. Para penerbit Tionghoa itulah yang menjadikan pertumbuhan surat kabar berkembang pesat. Dalam perkembangan lalu kaum bumiputra juga mengambil bagian. Mereka mulanya magang pada jurnalis Indo dan Tionghoa, lalu peran mereka meningkat sebagai redaktur surat kabar orang Indo dan Tionghoa. Bermula dari itulah para bumiputra itu mendirikan sendiri penerbitan surat kabar mereka. Penerbit bumiputra pertama di Batavia yang muncul pada pertengahan abad ke-20 adalah R.M. Tirtoadisuryo, F.D.J Pangemanan, dan R.M. Tumenggung Kusuma Utaya, sebagai redaktur Ilmoe Tani, Kabar Perniagaan, dan Pewarta Prijaji. 

R.M. Tirtoadisurya memuat mengenai tulisannya, bahwa untuk memperbaiki status dagang “pedagang bangsa Islam”, perlu ada organisasi yang anggota-anggotanya terdiri dari para pedagang sehingga “orang kecil tidak bisa dikalahkan sebab mereka bersatu”. Dia kemudian dikenal sebagai pendiri Sarekat Dagang Islamijah atau lebih dikenal dengan Sarekat (SDI). Pada perkembangannya SDI mengubah dirinya menjadi Sarekat Islam (SI) dengan pimpinan Haji Samanhudi. Begitulah semangat nasionalisme tumbuh dan dibangun melalui tulisan di media cetak. Begitu pula di tanah Sumatera, gagasana untuk melawan sistem pemerintahan kolonial ditunjukkan melalui surat kabar Oetoesan Melajoe (1913). Juga untuk kemajuan kaum perempuan diterbitkan majalah Soenting Melajoe, yang berisi mengenai panggilan perempuan untuk memasuki dunia maju tanpa meninggalkan peranannya sebagai sendi kehidupan keluarga Minangkabau. Sementara itu anak-anak muda berpendidikan Barat di Padang menerbitkan majalah perempuan Soeara Perempuan (1918), dengan semboyannya Vrijheid (kemerdekaan) untuk anak perempuan untuk ikut dalam kemajuan tanpa hambatan adat yang mengekang. 

Pers bumiputra juga mempunyai fungsi untuk memobilisasi pergerakan nasional pada saat itu. Harian Sinar Djawa, memuat mengenai perlunya rakyat kecil untuk terus menuntut ilmu setinggi-tingginya. Koran itu memuat dua hal penting, yaitu mengenai “bangsawan usul” dan “bangsawan pikiran”. Bangsawan usul adalah mereka yang memiliki keturunan dari keluarga raja-raja dengan gelar bendara, raden mas, raden, raden ajeng, raden ngabei, raden ayu, dll. Bangsawan pikiran adalah mereka yang memiliki gelar meester, dokter, dsb, yang diperoleh melalui pendidikan. 

Surat kabar yang paling memperoleh perhatian pemerintah kolonial saat itu adalah De Express. Surat kabar itu memuat berita-berita propaganda ide- ide radikal dan kritis pada sistem pemerintahan kolonial. Puncaknya saat Cipto Mangunkusumo, Suwardi Surjaningrat, dan Abdul Muis mendirikan Comite tot Herdenking van Nederlands Honderdjarige Vrijheid (Panitia untuk Peringatan Seratus Tahun Kemerdekaan Belanda dari Perancis), yang kemudian disebut dengan Komite Boemipoetera (1913). Tujuan panitia itu untuk mengumpulkan dana dari rakyat untuk mendukung perayaan kemerdekaan Belanda. Di balik itu tujuan panitia adalah mengkritik tindakan pemerintah kolonial yang merayaan kemerdekaannya di tanah jajahan dengan mencari dana dukungan dari rakyat. 

Seorang jurnalis bumiputera yang gigih memperjuangkan kebebasan pers dikenal dengan nama Semaun. Dia mengkritik beberapa kebijakan kolonial melalui Sinar Hindia. Kritikannya tentang haatzaai artikelen, yang menurutnya sebagai fasilitas untuk membungkam rakyat dan melindungi kekuasaan kolonial dan kapitalis asing. Atas kritikannya itulah dia diadili dan dijebloskan ke penjara. Seorang aktivis dan juga jurnalis, Marco Kartodikromo dikenal dengan kritikannya yang tajam pada program Indie Weerbaar dalam bentuk syair. Kritik tajam Marco itu ditujukan pada dewan kota yang sebagian besar adalah orang Eropa. 


Sumber: 

Mustopo Habib dkk. 2004. Sejarah untuk Kelas 2 SMA. Jakarta: Yudhistira. 

Wardaya. 2009. Cakrawala Sejarah untuk SMA/MA kelas XI proram IPS. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. 

Hendrayana. 2009. Sejarah 2 : Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah Program IPS Jilid 2 Kelas XI. Jakarta : Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional. 

Suhartono, 1994, Sejarah Pergerakan Nasional dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908 – 1945), Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 

Ricklefs, M.C., (2008), Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2008, (alih bahasa Tim Penerjemah Serambi), Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. 

Kartodirdjo, Sartono. 1990. Pengatar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, Jilid 2, Jakarta: Gramedia 

Poseponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, 1984, Sejarah Nasional Indonesia V , Jakarta: Balai Pustaka. 

Adam, Ahmat. 2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan. Jakarta: Hasta Mitra

Post a Comment

Previous Post Next Post