Nasionalisme di Indonesia berupaya lebih moderat dan menahan diri. Sikap moderat berarti kembali bekerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda (kooperasi). Sikap ini diambil agar organisasi pergerakan tidak dibubarkan Belanda dan para tokoh tidak ditangkap ataupun diasingkan. Diharapkan, kelangsungan hidup organisasi pergerakan serta kesinambungan perjuangan menuju Indonesia merdeka tetap terjaga. Organisasi yang berkembang pada periode ini adalah Parindra, GAPI, Gerindo. Mereka memaksimalkan Volksraad sebagai wadah perjuangan meraih kemerdekaan sebab, hanya organisasi yang moderat-kooperatif yang dapat mengirim wakilnya di Volksraad.
A. Latar Belakang
Masa pemerintahan Gubernur Jendral Dirk Fock, memerintah pada 1921-1926, organisasi pergerakan dikendalikan dengan peraturan yang keras. Misal, pegawai negeri dilarang mengambil bagian atau memberi dukungan kepada pergerakan yang berniat merongrong kekuasaan pemerintah Belanda. Bila melanggar akan dipecat. Pada masa Gubernur Jendral B.C. de Jonge (1931-1936), banyak organisasi yang mengambil sikap radikal terhadap Belanda karena aturan yang diterapkan sangat keras. Hal ini, membuat kaum aktivis pergerakannya tidak leluasa mewujudkan cita-cita politik, yaitu kemerdekaan Indonesia. Melalui Vargader verbond (1933), ruang gerak aktivis pergerakan nasional semakin sempit.
Pada kenyataannya, langkah ini tidak menyurutkan langkah para tokoh pergerakan. Bagi mereka, “menolak bekerjasama dengan Belanda termasuk didalamnya menolak menaati segala peraturannya. Atas pilihan sikap tersebut mereka siap ditangkap dan dibuang ketempat yang jauh. Meski demikian, sikap radikal kurang menguntungkan Indonesia, mereka mengambil sikap yang lebih taktis dan moderat namun tidak meninggalkan visi dasar perjuangan mewujudkan kemerdekan Indonesia.
Volksraad(Dewan Rakyat) beranggotakan tokoh-tokoh pergerakan lisntas partai atau organisasi melanjutkan perjuangan. Meskipun kewenangan terbatas, Volksraad merupakan satu-satunya tempat yang aman untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutan kepada pemerintah kolonial Belanda.
B. Perjuangan melalui Volksraad
Pendirian Fraksi Nasional dilatarbelakangi oleh beberapa faktor yaitu: (1) pemerintah kolonial Belanda bersikap semena-mena terhadap organisasi-organisasi politik di luar Volksraad, terutama terhadap PNI. Aktivitas PNI, misalnya, digeledah, ditangkap, diasingkan, dan dipenjarakan oleh pemerintahan kolonial. (2) adanya anggapan dan perlakuan yang sama oleh pemerintah kolonial (ditangkap) terhadap semua gerakan nasional baik yang bersifat nonkooperatif maupun yang bersifat kooperatif. (3) didirikannya Vaderlandsche (VC) pada tahun 1929 di negeri Belanda yang tidak bersimpatik terhadap perjuangan menuntut kemerdekaan oleh warga pribumi. H.C. Zentgraaff, pendiri VC, mendesak perlunya meningkatkan nasionalisme di negeri Belanda dalam rangka menghadapi “tuntutan-tuntutan yang gila” dari kaum pribumi.
Pada 27 Januari 1930, M.H. Thamrin memprakarsai berdirinya Fraksi Nasional dalam Volksraad. Kusumo Utoyo menjadi wakilnya. Tujuan utamanya adalah meraih Kemerdekaan Indonesia secepat-cepatnya.
Usaha yang dilakukan oleh Fraksi Indonesia adalah:
a. Mendesak segera dilakukannya perubahan ketatanegaraan.
b. Menghapus semua perbedaan politik, ekonomi, dan pendidikan yang diakibatkan oleh penjajah.
c. Menggunakan semua jalan yang sah untuk mencapai tujuan tersebut.
Tokoh-tokoh pribumi yang berada di Volksraad beberapa kali membuat gebrakan, seperti melancarkan protes terhadap penggeledahan rumah pemimpin PNI, memperjuangkan nasib buruh di Sumatera dari poenale sanctie, mendesak dicabutnya Ordonansi Sekolah Liar, tuntutan untuk menghilangkan perbedaan yang menyolok atas gaji yang diterima oleh prajurit bumputera dan gaji yang diterima oleh prajurit asal Belanda. Muhamad Husni Tamrin merupakan orang pertama yang “berani” berpidato dalam bahasa Indonesia dalam Volksraad.
Gebrakan yang lain adalah Petisi Sutardjo (1935). Petisi ini berisi permohonan supaya diselenggarakannya suatu musyawarah antara Indonesia dan negeri Belanda dengan kedudukan dan hak yang sama. Tujuannya, menyusun suatu rencana pemberian kepada Indonesia suatu pemerintahan yang berdiri sendiri (otonom) dalam batas Undang-undang Dasar Kerajaan Belanda. Pelaksanaannya akan berangsur-angsur pada waktu sepuluh tahun atau dalam waktu yang akan ditetapkan dalam musyawarah.
Petisi tersebut diajukan karena ketidak puasan terhadap pemerintahan Belanda akibat kebijakan politik yang dijalankan Gubernur Jenderal de Jonge. Petisi ini ditandatangani oleh I.J. Kasimo, G.S.S.J. Ratulangi, Datuk Tumenggung, dan Ko Kwat Tiong. Namun, petisi ini ditolak oleh pemerintah kolonial Belanda (Ratu Wihelmina), dengan alasan bahwa bangsa Indonesia belum matang untuk memikul tanggungjawab memerintah diri sendiri.
Pada bulan September 1939 pecahnya perang Dunia II di Eropa, pada tanggal 19 September, Gabungan Politik Indonesia (GAPI) menyerukan agar dalam keadaan penuh bahaya ini dapat dibina suatu hubungan kerja sama yang baik antara Belanda dengan Indonesia. harapannya supaya Beland mendengarkan aspirasi rakyat Indonesia untuk membentuk pemerintahan sendiri dengan memberikan suatu parlemen yang sesungguhnya. Sebagai imbalannya, GAPI akan menyerukan kepada rakyat untuk menyokong Belanda sekuat mungkin. Tuntutan tersebut dikenal dengan aksi Indonesia Berparlemen.
Volksraad mengalami titik balik pada tahun 1940. Pada bualn mei, Jerman (Nazi) menduduki Belanda. Sementara itu, Jepang mengancam menguasai Asia-Pasifik termasuk Indonesia. Belanda dibawah tekanan tiba-tiba menghisupkan kembali usulan yang dulu pernah ditolaknya, yaitu membentuk Milisi Hindia (Indische Militie). Penbentukan milisi pribumi bertujuan untuk memperkuat pertahanan menghadapi ekspansi militer Jepang. Usulan ini disampaikan ke Volksraad tahun 1941 dan diterima oleh pihak Volksraad.
Cita cita meraih kemerdekaan melalui Volksraad pun sirna, karena Belanda ingin tetap menguasai Indonesia. perjuangan ini ahirnya menjadikan bangsa Indonesia bertekad kuat untuk berjuang sendiri mengandalkan usaha dan kekuatan sendiri.
Vergader Verbondadalah peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda untuk membatasi gerak organisasi-organisasi pergerakan nasional yang bersikap radikal. Isi peraturan tersebut antara lain: (1) larangan untuk mengadakan rapat umum di tempat terbuka (open lunht vergadering), rapat umum dalam gedung, rapat umum yang biasa diadakan ditempat-tempat yang biasanya terbuka bagi umum (gedung bioskop, schouwburg, dan restoran), diharuskan mendapatkan izin dari Hoofd van Plaatselijk Bestuur (Asusten-Residen), (2) larangan untuk mengadakan rapat-rapat lain seperti tersebut diatas, seperti tempat tertutup di rumah tempat tinggal, kantor-kantor partai, orang harus memberitahukan (dengan surat biasa) lebih dulu kepada Asisten-Resident sekurang-kurangnya lima hari sebelum diadakan. Asisten-Resident mempunyai hak untuk melarang rapat itu, (3) dalam segala rapat, baik terbuka maupun tertutup, Abtenaar (pegawai negeri) atau pegawai polisi berhak untuk hadir, orang dilarang membawa senjata seperti revolver, pedang, klewang, keris, tombak, dan anak-anak dibawah umur 18 tahun tidak boleh hadir.
Berkembangnya taktik moderat dan kooperatif dalam pergerakan nasional Indonesia disebabkan oleh hal-hal:
a. Krisis ekonomi (malaisi) yang terjadi sejak tahun 1921 dan berulang pada ahir tahun 1929. Bahkan pada awal 1930-an, krisis ekonomi semakin memburuk.
b. Kebijakan keras pemerintahan Gubernur de Jonge menyebabkan kaum pergerakan terutama terutama golongan nonkooperatif sangat menderita. Setiap gerakan radikal atau revolusioner akan ditindas dengan alasasan pemerintah kolonial berhak atas Hindi Belanda.
c. Adanya ancaman perkembangan paham fasisme dan naziisme mengancam kedudukan negara demokrasi pada 1930-an.
Langkah-langkah yang dilakukan oleh Sutardjo untuk memperbaiki keadaan Indonesia adalah:
a. Volksraad dijadikan parlemen yang sesungguhnya.
b. Direktur diparlemen diberikan tanggungjawab.
c. Dibentuk Dewan Kerajaan (Rijksraad) sebagai badan tertinggi anatar Belanda dan Indonesia yang anggota-anggotanya merupakan wakil kedua belah pihak.
d. Penduduk Indonesia adalah orang-orang yang karena kelahiran, asal-usul, dan cita-citanya memihak Indonesia.
Pada 16 November 1938, pemerintah Belanda memberi jawaban bahwa petisi sutardjo ditolak dengan alasan:
a. Perkembangan politik Indonesia belum cukup matang untuk memerintah sendiri sehingga petisi itu dipandang masih terlalu prematur.
b. Dipertanyakan juga tentang kedudukan golongan minoritas dalam struktur politik yang baru nanti.
c. Tuntutan otonomi dipandang sebagai hal yang tidak alamiah karena pertumbuhan ekonomi, sosial, dan politik belum memadai.
Kalangan Fraksi Nasional dan partai-partai besar anataranya, Parindra, Gerindo, PSII, dan PNI.
Gubernur Jenderal de Jonge mengeluarkan kebijakan keras atas kaum peregrakan. Kebijakan ini menjadi salah satu sebab berkembangnya taktik moderat dan kooperatif dalam pergerakan nasional.
Sutardjo Kartohadikusumo merupakan Wakil Persatuan Pegawai Bestuur yang mengajukan permintaan atau petisi pada pemerintah kolonial pada 15 Juli 1936.
Dampak dari penolakan petisi Sutardjo menjadikan semakin jauhnya jarak antara pemerintah dengan yang diperintah. Tidak ada jalan lain bagi kaum pergerakan untuk memperkuan barisan kecuali dengan memeperkuat organisasi dan persatuan bangsa.
Referensi:
Hapsari. Ratna. 2013.Sejrah Indonesia untuk SMA kelas XI. Jakarta: Erlangga
Herimanto dan Eko Targiyatmi. 2014.Sejarah Pembelajaran Sejarah Interaktif. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Mustopo Habib. 2011.Sejarah 2 untuk Kelas XI Program IPA. Jakarta: Yudistira.
Kemendikbud, 2013. Sejarah Indonesia XI. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan
Tags:
Masa Kolonial
ijin copy ya kak infonya thanks
ReplyDeletekeuntungan xl prioritas