A.
Masa
Awal Demokrasi Terpimpin: Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Demokrasi Terpimpin di gambarkan sebagai sebuah
demokrasi murni yang berdasarkan pada
ideologi yang berfungsi memimpin dan menentukan tujuan dan cara mencapainya.
Demokrasi terpimpin di arahkan oleh Ideologi Negara Pancasila, terutama pada
sila keempat yang di sepakai secara mufakat untuk semua golongan yang
revolusioner. Dalam praktiknya kemudian, istilah terpimpin tidak lagi mengacu
pada ideologi tetapi wujud pimpinan yang berupa pribadi pemimpin. Dalam hal ini
adalah Sukarno selaku Presiden RI, pemimpin besar Revolusi dan Penyambung Lidah
Rakyat.
Keadaan
Konstutuante yang demikian menghawatirkan kesatuan dan persatuan bangsa maka
pada tanggal 22 April 1959 presiden memberikan amanat kepada Konstituente yang
memuat anjuran Kepala Negara Pemerintah untuk kembali kepada Undang- Undang
Dasar 1945. Anjuran ini mulai disidangkan pada tanggal 29 April 1959. Acara
penetapan UUD 1945 menjadi UUD Republik Indonesia, konstituante menyidangkan dengan
pungutan suara sejak 30 Mei 1959 sampai dengan 2 Juni 1959. Adapun perinciannya
sebagai berikut: Sidang 30 Mei, hadir 478, setuju 269, tidak setuju 199, jadi
kurang dari 2/3. Sidang 1 Juni, hadir 469, setuju 264, tidak setuju 204, tidak
memenuhi 2/3. Sidang 2 Juni, hadiri 468, setuju 263, tidak setuju 203, juga
tidak mencapai 2/3. Demikianlah gambaran Konstituante terhadap anjuran
presidn 22 April 1959. Kemudian ketua
Konstituante menetapkan reses bagi
konstituante Djuanda mempersiapkan laporan kepada Presiden tentang sikap
konstituante. Maka setibanya dari luar negeri ( Jepag ), presiden mengeluarkan
Dekrit Presiden Panglma Tertinggi Angkatan Perang tentang kembali pada UUD
1945, pada tanggal 1959.
Setelah
dekrit 5 Juli 1959, tanggal 6 Juli 1959 Kabinet Djuanda menyerahkan mandatnya
kepada Presiden, sebagaimana telah diputuskan dalam sidangnya 5 Juli 1959,
memutaskan mengembaikan mandatnya kepada Presiden berhubung berlaku lagi UUD
1945. Dengan dikeluarkannya Dekrit
Presiden, Kabinet Djuanda dibubarkan dan pada tanggal 9 Juli 1959, diganti
dengan Kabinet Kerja. Dalam kabinet tersebut Presiden Soekarno bertindak
sebagai perdana menteri, sedangkan Ir. Djuanda bertindak sebagai menteri
pertama. Atas
kesimpulannya tersebut, Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959, dalam suatu
acara resmi di Istana Merdeka, mengumumkan Dekrit Presiden mengenai pembubaran
Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 dalam kerangka sebuah sistem
demokrasi yakni Demokrasi terpimpin.
Latar belakang dicetuskannya sistem Demokrasi Terpimpin oleh
Presiden Soekarno, yaitu :
1. Dari segi keamanan : Banyaknya
gerakan sparatis pada masa Demokrasi Liberal, menye-babkan ketidakstabilan di bidang keamanan.
2. Dari segi perekonomian : Sering
terjadinya pergantian kabinet pada masa Demokrasi Liberal menyebabkan
program-program yang dirancang oleh kabinet tidak dapat dijalankan secara utuh,
sehingga pembangunan ekonomi tersendat.
3. Dari segi politik : Konstituante
gagal dalam menyusun UUD baru untuk menggantikan UUDS 1950.
Dekrit yang dilontarkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mendapatkan sambutan
dari masyarakat Republik Indonesia yang pada waktu itu sangat menantikan kehidupan negara
yang stabil. Namun kekuatan dekrit tersebut bukan hanya berasal dari sambutan yang hangat dari
sebagian besar rakyat Indonesia, tetapi terletak dalam dukungan yang diberikan oleh unsur-unsur
penting negara lainnya, seperti Mahkamah Agung dan KSAD.
Dekrit yang dilontarkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mendapatkan sambutan
dari masyarakat Republik Indonesia yang pada waktu itu sangat menantikan kehidupan negara
yang stabil. Namun kekuatan dekrit tersebut bukan hanya berasal dari sambutan yang hangat dari
sebagian besar rakyat Indonesia, tetapi terletak dalam dukungan yang diberikan oleh unsur-unsur
penting negara lainnya, seperti Mahkamah Agung dan KSAD.
Pertama,
Kekuasaan Soekarno makin besara, tidak hanya dalam bidang eksekutif , tetapi
juga dalam bidang Legislatif, dan Yudikatif. Beberapa indikasi ke arah ini
dapat di sebut, antara lain: (1) pada 20 Maret 1960 Presiden Soekarno
membubarkan Parlemen (DPRS) dan menggantinya dengan DPRGR, yang anggotanya
dipilih dan di tunjuk oleh Presiden Soekarno sendiri. Alasanya karena parlemen
berani menolak RAPBN yang di ajukan oleh pemerintah; (2) lewat penetapan
Presiden NO. 1/1960, mnifesto Politik dai Presiden Soekarno dtetapkan menjadii
haluan negara GBHN., yang kemudian di tambah dengan USDEK (UUD 1945),
Sosialisme Indonesia, Demokrasi terpimpin , ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian
Indonesia. Menurut Soekarno, Partai Murba,PNI, PKI, dan NU berdiri pada
landasan yang sama, yakni nasionlisme.
Kedua,
kaum komunis menjaadi kuat karena kepeimpinan PKI pada waktu itu Aidit berhasul
merangktl presiden Soekarnoagra
bersimapati mendukung PKI. yang menyebabkan
perkebanganya sangat besar. Dan pergeseran perimbangan kekuatan tiga kaki yaitu
Presiden Soekano sendiri, TNI AD, dan PKI. PKI dapat bertahan dalam panggung
politik nasional, hal itu bekat perlindungan presiden Soekarno.
Ketiga,
Unsur militer mulai masuk dalam pemerintahan. Hal ini di tandai dengan semakin
banyaknya tokoh-tokoh atau perwira-perwiraa militer yaang diangkat untuk duduk
dalam DPRGR. Kabiner, d jabatan-jabatan penting dalam BUMN dan departemen
pemerintah. Engan demikian pengaruh tentara, khusunya AD, dalam panggung
politik nasional cukup besar, sepertia ada perimbangan kekuatan dengan PKI.
Keempat,
kekuatan islam, khusunya kalangan islam modernis, semakin di pinggirkan. Pembubaran Masyumi melalui
surat keputusan Presiden Sukarno No. 200/th.1960 tertanggal 17 Agustus 1960
adalah atas bujuk rayu PKI ( yang berhasil mempengaruhi Soekarno dengan alasan
Masyumi menolak konsepsi presiden (Nasakom) dan beberapa tokohnya di tuduh
terlibat pada pemberontakan PRRI dan Permesta. Jadi kekuatan Islam yang tersisa
pada periode Demokrasi terpimpin hanya tinggal kalangan tradisionalis yang di
wakili NU.
Kelima,
merosotnya perekonomian negara. Kondisi ini barangkaili di sebabkan oleh
kebijakan ekonomi Soekarno yang cenderung untuk mendukung pengawasan politik
guna mempertahankan stabilitas. Politik “ Mercusuar” Presiden Soekarno, Masjid
itiqlal, Stadion Senayan, jembatan Semanggi, telah menyedot dana yang besar
yang mengakibatkan kemerosotn ekonomi. Di samping itu, kebiajan politik
revolusioner Presiden Soekarno semakin menambah berap beban perekonomian
negara.
Selain itu terjadi
penyelewengan di bidang perundang-undangan di mana berbagai tindakan pemerintah
dilaksanakan melalui penetapan presiden yang memakai dekrit 5 juli sebagai
sumber hukum.Tambahan pula didirikan badan-badan ekstra konstitusional seperti
front nasional yang ternyata dipakai
oleh pihak komunis sebagai arena kegiatan sesuai dengan taktik komunisme
internasional. G 30 S/PKI telah mengakhiri periode ini dan membuka peluang
untuk di mulainya masa demokrasi pancasila.
D. Struktur Konstitusi dan
Ideologi Demokrasi Terpimpin
Demokrasi Terpimpin
Salah satunya adalah untuk menggantikan
pertentangan antara partai-partai di parlemen, suatu sistem yang di pegang
Presiden Soekarno. Ia memberlakukan kembali konstitusi presidensial tahun 1945
pada tahun 1959 dengan dukungan kuat dari angkatan darat. Namun dia juga
mendorong kegiatan-kegiatan dari kelompok-kelompok sipil sebagai penyeimbang
yaitu dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan juga walau tidak begitu
signifikan peranan dari golongan agama, yaitu khususnya yang diwakili oleh NU
yang tergabung dalam poros nasakom soekarno semasa pemberlakuan demokrasi
terpimpin.
Soekarno berusaha
mengumpulkan seluruh kekuatan politik yang saling bersaing dari Demokrasi
Terpimpin dengan jalan turut membantu mengembangkan kesadaran akan
tujuan-tujuan nasional. Ia menciptakan suatu ideologi nasional yang
mengharapkan seluruh warga negara memberi dukungan kesetiaan kepadanya.
Pancasila ditekankan olehnya dan dilengkapi dengan serangkaian doktrin seperti
Manipol-Usdek dan Nasakom. Sebagai lambang dari bangsa, Soekarno bermaksud
menciptakan suatu kesadaran akan tujuan nasional yang akan mengatasi persaingan
politik yang mengancam kelangsungan hidup sistem Demokrasi Terpimpin.
Dengan
diberlakukannya kembali Undang-Undang Dasar 1945 pada bulan Juli 1959, Presiden
Soekarno adalah pemegang inisiatif politik, terutama dengan tindakan dan
janji-janjinya yang langsung ditujukan kepada pembentukan kembali struktur
konstitusional. Akan tetapi, tekananannya kemudian mulai bergeser kepada
tindakan simbolis dan ritual, serta khususnya kepada perumusan ideologi seraya
melemparkan gagasan-gagasannya berulang kali.
Demokrasi terpimpin
dan gagasan presiden yang sehubungan dengan itu sudah menguasai komunikasi
massa sejak pertengahan tahun 1958. Sejak itu tidak mungkin bagi surat kabar
atau majalah berani terang-terangan mengecam Demokrasi Terpimpin, lambang dan
semboyan-semboyan baru. Pada paruh kedua 1959, Presiden Soekarno semakin
mementingkan lambang-lambang. Dalam hubungan ini yang terpenting ialah pidato
kenegaraan presiden pada ulang tahun kemerdekaan RI tahun 1959 dan selanjutnya
hasil kerja Dewan Pertimbangan Agung dalam penyusunan secara sistematis dalil-dalil
yang terkandung dalam pidato tersebut. Pidato kenegaraan yang berjudul
“Penemuan Kembali Revolusi Kita”, sebagian besar memuat alasan-alasan yang
membenarkan mengapa harus kembali ke Undang-Undang Dasar 1945.
Sesungguhnya hanya
sedikit tema-tema baru dalam pidato presiden, tetapi pidato itu penting karena
berkaitan dengan diberlakukannya kembali Undang-Undang Dasar revolusioner
tersebut. Tiga bulan setelah pidato kenegaraannya itu, Presiden Soekarno
menyatakan naskah pidato itu menjadi “manifesto politik Republik Indonesia”.
Bersamaan dengan itu presiden mengesahkan rincian sistematikanya yang disusun
oleh Dewan Pertimbangan Agung. Dalam pidato-pidatonya di awal tahun 1959,
presiden selalu mengungkapkan bahwa revolusi Indonesia memiliki lima gagasan
penting. Pertama, Undang-Undang Dasar 1945; kedua, sosialisme ala Indonesia;
Ketiga, Demokrasi Terpimpin; keempat, Ekonomi Terpimpin; dan yang terakhir
kelima, kepribadian Indonesia. Dengan mengambil huruf pertama masing-masing
gagasan itu maka muncullah singkatan USDEK. “Manifesto politik Republik
Indonesia” disingkat “Manipol”, dan ajaran baru itu dikenal dengan nama
“Manipol-USDEK”.
Manipol-USDEK
benar-benar memiliki daya pikat bagi banyak masyarakat politik. Masyarakat
politik ini, yang didominasi pegawai negeri, sudah lama mendukung apa yang
selalu ditekankan presiden mengenai kegotong-royongan, menempatkan kepentingan
nasional diatas kepentringan golongan dan kemungkinan mencapai mufakat melalui
musyawarah yang dilakukan dengan penuh kesabaran. Ada dua sebab mengenai hal
ini pertama, keselarasan dan kesetiakawanan merupakan nilai yang dijunjung
masyarakat-masyarakat Indonesia. Dan kedua, bangsa Indonesia benar-benar
menyadari betapa berat kehidupan yang mereka rasakan akibat keterpecahbelahan
mereka dalam tahun-tahun sebelumnya. Selain itu, banyak yang tertarik kepada
gagasan bahwa apa yang diperlukan Indonesia dewasa ini adalah orang-orang yang
berpikiran benar, berjiwa benar dan patriot sejati. Bagi anggota beberapa
komunitas Indonesia, terutama bagi orang-orang Jawa, mereka menemukan makna
yang sesungguhnya dalam berbagai skema rumit yang disampaikan presiden itu
ketika mengupas cara pandang secara panjang lebar Manipol-USDEK, yang
menjelaskan arti dan tugas-tugas khusus tahapan sejarah sekarang ini.
Barangkali daya tarik terpenting Manipo-USDEK terletak pada kenyataan bahwa ideologi ini menyajikan sebuah arah baru. Mereka tidak begitu banyak tertarik pada makna dasar dari arah tersebut. Yang pokok ialah bahwa presiden menawarkan sesuatu pada saat terjadi ketidakjelasan arah yang dituju. Nilai-nilai dan pola-pola kognitif berubah terus dan saling berbenturan, sehingga timbul keinginan yang kuat untuk mencari perumusan yang dogmatis dan skematis mengenai apa yang baik dalam politik. Satu tanggapan umum terhadap Manipol-USDEK ialah bahwa Manipol-USDEK bukanlah merupakan ideologi yang sangat baik atau lengkap tetapi pada akhir tahun 1950an dibutuhkan sebuah ideologi dalam kerangka pembangunan Indonesia.
Barangkali daya tarik terpenting Manipo-USDEK terletak pada kenyataan bahwa ideologi ini menyajikan sebuah arah baru. Mereka tidak begitu banyak tertarik pada makna dasar dari arah tersebut. Yang pokok ialah bahwa presiden menawarkan sesuatu pada saat terjadi ketidakjelasan arah yang dituju. Nilai-nilai dan pola-pola kognitif berubah terus dan saling berbenturan, sehingga timbul keinginan yang kuat untuk mencari perumusan yang dogmatis dan skematis mengenai apa yang baik dalam politik. Satu tanggapan umum terhadap Manipol-USDEK ialah bahwa Manipol-USDEK bukanlah merupakan ideologi yang sangat baik atau lengkap tetapi pada akhir tahun 1950an dibutuhkan sebuah ideologi dalam kerangka pembangunan Indonesia.
Sebenarnya hanya di
sebagian masyarakat politik saja Manipol-USDEK diterima sepenuh hati, sedangkan
di sebagian yang lain menaruh kecurigaan dan kekhawatiran. Manipol-USDEK itu
sendiri tidaklah begitu jelas. Selain itu, bukan pula suatu upaya unutk
menyelaraskan semua pola penting dari orientasi politik yang ada di Indonesia.
Ideologi negara apapun belum mampu menjembatani perbedaan perbedaan besar
orientasi politik kutub aristokratis Jawa dan kutub kewiraswastaan Islam. Pada
pelaksanaannya, Manipol-USDEK tidak mampu mengatasi permasalahan tersebut. Jadi,
banyak kalangan Islam yang kuat keyakinannya, khususnya dari suku bukan Jawa,
melihat rumusan baru itu sebagai pemikiran yang asing. Karena itulah maka
pelaksanaan manipol Usdek dapat disimpulkan dilakukan dengan paksaan.
D. Politik Masa Demokrasi Terpimpin
Demokrasi
Terpimpinnya menilai Demokrasi Barat yang bersifat liberal tidak dapat
menciptakan kestabilan politik. Selanjutnya membubarkan Demokrasi
liberal yang dinilai tidak dapat membangun. Selanjutnya Soekarno Menganggap
Partai politik sebagai sebuah penyakit yang lebih parah daripada perasaan
kesukuan dan kedaerahan, hal inilah yang mneyebabkan adanya perpecahan dan
berakibat pada pembubaran beberapa partai .
Pada masa Demokrasi Terpimpin, parlemen sudah tidak mempunyai kekuatan yang nyata. Sementara itu partai-partai lainnya dihimpun oleh Soekarno dengan menggunakan suatu ikatan kerjasama yang didominasi oleh sebuah ideologi. Dengan demikian partai-partai itu tidak dapat lagi menyuarakan gagasan dan keinginan kelompok-kelompok yang diwakilinya. Partai politik tidak mempunyai peran besar dalam pentas politik nasional dalam tahun-tahun awal Demokrasi Terpimpin. Partai politik seperti NU dan PNI dapat dikatakan pergerakannya dilumpuhkan karena ditekan oleh presiden yang menuntut agar mereka menyokong apa yang telah dilakukan olehnya. Sebaliknya, golongan komunis memainkan peranan penting dan temperamen yang tinggi. Pada dasarnya sepuluh partai politik yang ada tetap diperkenankan untuk hidup, termasuk NU dan PNI, tetapi semua wajib menyatakan dukungan terhadap gagasan presiden pada segala kesempatan serta mengemukakan ide-ide mereka sendiri dalam suatu bentuk yang sesuai dengan doktrin presiden.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, parlemen sudah tidak mempunyai kekuatan yang nyata. Sementara itu partai-partai lainnya dihimpun oleh Soekarno dengan menggunakan suatu ikatan kerjasama yang didominasi oleh sebuah ideologi. Dengan demikian partai-partai itu tidak dapat lagi menyuarakan gagasan dan keinginan kelompok-kelompok yang diwakilinya. Partai politik tidak mempunyai peran besar dalam pentas politik nasional dalam tahun-tahun awal Demokrasi Terpimpin. Partai politik seperti NU dan PNI dapat dikatakan pergerakannya dilumpuhkan karena ditekan oleh presiden yang menuntut agar mereka menyokong apa yang telah dilakukan olehnya. Sebaliknya, golongan komunis memainkan peranan penting dan temperamen yang tinggi. Pada dasarnya sepuluh partai politik yang ada tetap diperkenankan untuk hidup, termasuk NU dan PNI, tetapi semua wajib menyatakan dukungan terhadap gagasan presiden pada segala kesempatan serta mengemukakan ide-ide mereka sendiri dalam suatu bentuk yang sesuai dengan doktrin presiden.
Partai politik
dalam pergerakannya tidak boleh bertolak belakang dengan konsepsi Soekarno.
Penetapan Presiden adalah senjata Soekarno yang paling ampuh untuk melumpuhkan
apa saja yang dinilainya menghalangi jalannya revolusi yang hendak
dibawakannya. Demokrasi terpimpin yang dianggapnya mengandung nilai-nilai asli
Indonesia dan lebih baik dibandingkan dengan sistim ala Barat, ternyata dalam
pelaksanaannya lebih mengarah kepada praktek pemerintahan yang otoriter. Dewan
Perwakilan Rakyat hasil pemilihan umum tahun 1955 yang didalamnya terdiri dari
partai-partai pemenang pemilihan umum, dibubarkan. Beberapa partai yang
dianggap terlibat dalam pemberontakan sepanjang tahun 1950an, seperti Masyumi
dan PSI, juga dibubarkan dengan paksa. Bahkan pada tahun 1961 semua partai
politik, kecuali 9 partai yang dianggap dapat menyokong atau dapat
dikendalikan, dibubarkan pula.
Dalam penggambaran
kiprah partai politik di percaturan politik nasional, maka ada satu partai yang
pergerakan serta peranannya begitu dominan yaitu Partai Komunis Indonesia
(PKI). Pada masa itu kekuasaan memang berpusat pada tiga kekuatan yaitu,
Soekarno, TNI-Angkatan Darat, dan PKI. Oleh karena itu untuk mendapatkan
gambaran mengenai kehidupan partai politik pada masa demokrasi terpimpin,
pergerakan PKI pada masa ini tidak dapat dilepaskan.
PKI di bawah
pemimpin mudanya, antara lain Aidit dan Nyoto, menghimpun massa dengan intensif
dan segala cara, baik secara etis maupun tidak. Pergerakan PKI yang sedemikian
progresifnya dalam pengumpulan massa membuat PKI menjadi sebuah partai besar
pada akhir periode Demokrasi Terpimpin. Pada tahun 1965, telah memiliki tiga
juta orang anggota ditambah 17 juta pengikut yang menjadi antek-antek
organisasi pendukungnya, sehingga di negara non-komunis, PKI merupakan partai
terbesar.
Hubungan antara PKI
dan Soekarno sendiri pada masa Demokrasi Terpimpin dapat dikatakan merupakan
hubungan timbal balik. PKI memanfaatkan popularitas Soekarno untuk mendapatkan
massa. Pada bulan Mei 1963, MPRS mengangkatnya menjadi presiden seumur hidup.
Keputusan ini mendapat dukungan dari PKI. Sementara itu di unsur kekuatan
lainnya dalam Demokrasi Terpimpin, TNI-Angkatan Darat, melihat perkembangan
yang terjadi antara PKI dan Soekarno, dengan curiga. Terlebih pada saat
angkatan lain, seperti TNI-Angkatan Udara, mendapatkan dukungan dari Soekarno.
Hal ini dianggap sebagai sebuah upaya untuk menyaingi kekuatan TNI-Angkatan
Darat dan memecah belah militer untuk dapat ditunggangi. Keretakan hubungan
antara Soekarno dengan pemimpin militer pada akhirnya muncul. Keadaan ini
dimanfaatkan PKI untuk mencapai tujuan politiknya. Sikap militan yang radikal
yang ditunjukkan PKI melalui agitasi dan tekanan-tekanan politiknya yang
semakin meningkat, membuat jurang permusuhan yang terjadi semakin melebar.
Konflik yang terjadi itu kemudian mencapai puncaknya pada pertengahan bulan
September tahun 1965.
Seperti yang telah
disebutkan di atas, partai politik pada masa Demokrasi Terpimpin mengalami
pembubaran secara paksa. Pembubaran tersebut pada umumnya dilakukan dengan cara
diterapkannya Penerapan Presiden (Penpres) yang dikeluarkan pada tanggal 31
Desember 1959.
Peraturan tersebut menyangkut persyaratan partai, sebagai berikut:
1.
Menerima dan membela Konstitusi
1945 dan Pancasila.
2.
Menggunakan cara-cara damai dan
demokrasi untuk mewujudkan cita-cita politiknya.
3.
Menerima bantuan luar negeri
hanya seizin pemerintah.
4. Partai-partai harus mempunyai
cabang-cabang yang terbesar paling sedikit di seperempat jumlah daerah tingkat
I dan jumlah cabang-cabang itu harus sekurang-kurangnya seperempat dari jumlah
daerah tingkat II seluruh wilayah Republik Indonesia.
5. Presiden berhak menyelidiki
administrasi dan keuangan partai.
6. Presiden berhak membubarkan
partai, yang programnya diarahkan untuk merongrong politik pemerintah atau yang
secara resmi tidak mengutuk anggotanya partai, yang membantu pemberontakan.
Sampai dengan tahun 1961, hanya ada 10 partai yang
diakui dan dianggap memenuhi prasyarat di atas. Melalui Keppres No. 128 tahun
1961, partai-partai yang diakui adalah PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai
Indonesia, Partai Murba, PSII dan IPKI. Sedangkan Keppres No. 129 tahun 1961
menolak untuk diakuinya PSII Abikusno, Partai Rakyat Nasional Bebasa Daeng Lalo
dan partai rakyat nasional Djodi Goondokusumo. Selanjutnya melalui Keppres No.
440 tahun 1961 telah pula diakui Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan
Persatuan Tarbiyah Islam (Perti).
E. Ketatanegaraan
Periode DemoKrasi terpimpin
Pada tanggal 9
Juli diumumkan dibentuknya Kabinet Kerja I( 10 Juli 1959- 18 Februari 1960)
Kabinet ini adalah bersifat presidenntil cabinet, sebab diebntuk dan bekerja
berdasarkan UUD 1945. Oleh karena itu Presiden atau Panglima tertinggi ABRI
menjabat menjadi perdana Menteri. Ir. H. Djuanda sebagai Mendari Pertama dan
Dr. J. Leimena sebagai wakil menteri Pertama. Struktur cabinet ini memang
banyak mengalami perubahan, ialah adanya Menteri- menteri Muda dan Pejabat-
pejabat berkedudukan Menteri.
Susunan Kebinet Kerja II ( 18 Pebruari 1960- 6 Maret
1962), terjadi perubahan di sampinh Menteri Pertama ditambah Wakil Menteri
Pertama di samping menteri pertama ditambahi Wakil Menteri pertama adalah 2
orang, ialah Dr. J. Leimena dan Dr. Soebandria, sedang Menteri Pertama tetap
Ir, Djuanda. Diintroduksi adanya Menteri- Menteri Anggota Kabiner Inti dan
Menteri- menteri Bukan anggota Kabinet
Inti.
Kabinet
Kerja III ( 6 Maret 1962- 13 Nove,ber
1963 ) menteri- menteri Inti dan Menteri- menteri Ex Officio maupun Menteri-
menteri Muda dihilangkan, semuanya disebut Menteri. Kabinet Kerja III ini
dibagi dalam 8 bidang, ialah Bidang Luar negeri, Bidang Pertahanan / Keamanan, Bidang Produksi, Bidang Dsitribusi, Bidang
Keuangan, Bidang Keseahteraan rakyat dan Bidang Khusus. Perubahan baru dalam
struktur Kabiner yang benar- benar memiliki kebutuhan istimewa dalam sejarah
ketatanegaraan adalah diberikannya kedudukan ( status ) sebagai Menteri kepada
Pemimpin Lembaga- lembaga Negera.
Secara Yuridis- konstitusional Kabinet telah terjadi
penyimpangan terhadap pelaksanaan UUD 1945 sejak Dekrit 5 Juli 1959. Sebab,
Menteri menurut UUD 1945 adalah pembantu Presiden ( pasal 17 ayat 1 ), maka
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden ( pasal 17 ayat 1 ), maka diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden ( pasal 17 ayat 2 ). Dengan diberikannya kedudukan
( status ) setingat Menteri/ Wakli Menteri Pertama pada Pempinan- pimpinan
lembaga secara berarti Ketua / MPRS, ketua DPH-GR ataupun DPA dibawah Presiden
atau dengan kata lain sebagai pembantu presiden.
Penyimpangan terhadap UUD 1945 ( khususnya dalam system
pemerintahan bermula pada Kabinet Kerja III dan kemudian berlanjut dalam
Kabinet- cabinet berikutnya. Kabinet Kerja IV ( 13 November 1963 – 27 Agustus
1964 ) menunkukkan dengan jelas terhadap hal tersebut. Siswa pembidangan dalam
Kabinet Kerja III Pimpinan Lembaga-
lembaga Negara ( MPRS, DPR- GR, DPA) diberi kedudukan ( status ) setingkat Menteri
Lembaga- lembaga Negara, Tertinggi diberi kedudukan ( status ) Menteri’’, ialah
Ketua, dan Wakol Ketua MPRS, DPR-GR dan DPA. Maka dilihat dari statusnya, Ketua
d dan Wakil Ketua MPRS, DPR- GR dan DPA adalah sama, ialah sebagai Menteri. Hal
ini merupakan penyimpangan terhadap UUD 1945, SEBAB DALAM uud 1945 DISEBUTKAN
‘’ Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Pwemusyawaratan Rakyat dengan suara. Yang terbanyak ( pasal 6 ayat 2
), sedang MPRS ( Ketua dan wakil Ketua ) diberi keduduka sebagai Menteri.
Menteri adalah Pembantu Presiden( Pasal 17 Ayat 1 ). Padahal Presiden tidak
neben, tetapi untergeordnet kepada Majelis ( Penjelasan UUD RI ) Sistem
pemerintahan Negara nomer 3) berdasarkan ketetapan MPRS no. III/ MPRS/ 1963,
Presiden adalah Pimpinan Besar Revolusi menjadi Presiden seumur hidup (
Ketetapan MPRS No. XVII /MPRS/1966, walaupun pengangkatan ini sama sekali bukan
kehendak Presiden, merupakan tanggung jawab MPRS) hal ini bertentangan dengan
UUD 1945 ( pasal 7 ). Penyimpangan yang lain adalah ditetapkannya manivesto
Politik republic Indonesia ( Pidato Presiden Soekarno ) sebagai garis garis besar haluan Negara. Hal ini
bertetangan dengan UUD 1945 ( Pasal 3)
Keadaan semacam itu juga dikemukakan kembali dalam
struktur cabinet Dwikora, cabinet ke lima sesudah dekrit presiden. Kebinet ini
bekerja dari tanggal 27 Agustus 1964- 21 Februaru 1966. Beberapa tambahan baru:
1. Menteri/ Ketua pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan berkedudukan sebagai Menteri Koordinator.
2. Menteri/ keta Mahkama agung
3. Pejebat Berkedudukan sebagai wakil perdana Menteri ialah Ketua MPRS
4. Pejabat berkedudukan sebagai Menteri Koordinator ialah Ketua DPR-GR, wakil Ketua I DPA dan wakil MPRS
5. Pejabat Berkedudukan sebaga Menteri adalah SEkretaris Negara, Sekretaruis Presidium Kabinet, Wakil Ketua DPA, Wakil- Wakil Ketua DPR-GR dan lain lain
1. Menteri/ Ketua pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan berkedudukan sebagai Menteri Koordinator.
2. Menteri/ keta Mahkama agung
3. Pejebat Berkedudukan sebagai wakil perdana Menteri ialah Ketua MPRS
4. Pejabat berkedudukan sebagai Menteri Koordinator ialah Ketua DPR-GR, wakil Ketua I DPA dan wakil MPRS
5. Pejabat Berkedudukan sebaga Menteri adalah SEkretaris Negara, Sekretaruis Presidium Kabinet, Wakil Ketua DPA, Wakil- Wakil Ketua DPR-GR dan lain lain
Secara yuridis konstitusional
ketatanegaraan pada periode ini telah terjadi penyimpanagn semakin parah,
kekuasaan pemerintahan akhirnya berpusat ditangan pimpinan nasional yaitu
presiden dan bersifat sentralistik.
F. Periode Akhir Masa Demokarsi Terpimpin
Peristiwa
tanggal 30 september 1965 ( malam ) dengan pembunuhan terhadap Jenderal-
Jenderal, Panglima Angkatan Darat Letnan Jendral Ahmad Yani dan beberada
Jenderal daputnya( Perlawanan revolusi) semakin menambah kerukunan ( suasana
Politik nasional. Peristiwa / tragedy nasional ini melahirkan gerakan rakyat
dengan demontrasi dari berbagai elemen masyarakat.
Demontrasi-
demontrasi melanda tanah air, yang dilakukan oleh angkatan 66 KAMI ( Kesaksian
Aksi Mahasiswa Indonesia ) maupun KAPPI ( Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar
Indonesia ), dengan tuntutan yang terkenal yang terkenal dengan sebutan TRITURA
( Trituntutan Rakyat): menteri- menteri PKI atau yang berindikasi PKI dipecat
dari Kabinet (2) PKI dan Ormas ormasnya dibubarkan , dan Harga- harga harus
diturukan
Tuntutan
diatas dijawab oleh presiden dengan menyempurkan Kabinet Dwikora, lahirnya
Kabinet Dwikora Yang Disempurnakan ( 21 Pebruari 1966- 27 Maret 1966 ), Kabinet
ini terkenal dengan nama Kabinet 100 Menteri dan dilantik oleh oleh Presiden 24
Februari 1966. Anggota Kabinet yang berindikasi PKI disingkirkan, walaupun
belum memuaskan rakyat. Struktur cabinet 100 Menteri ini, tidak berbeda banyak
dengan cabinet- Kabinet sebelumnya ( Kabinet Kerja III- Kabinet Dwikora).
Akhirnya jawaban Presiden ini belum memuaskan rakyat dan mencapai puncaknya 11
Maret 1966.
Berdasarkan
situasi yang kenegaraan yang demikian, maka May. Jend. Basuki Rachmat, Brig.
Jend. Yusuf dan Brigjend. Amir Mahmud menghadap Pangad Letdjend. Soeharto,
dirumah( sedang sakit ) kemuian ketiga pati tesebut diperintahkan menghadap
Presiden di Bogor. Sekembalinya diJakarta membawa surat Perintah Presiden
kepada Pangad. Let. Jend. Soeharto yang keudian dikenal dengan sebutan
supersemar (surat Perintah Presiden
Sebelas Maret 1966 ) .
DAFTAR PUSTAKA
Atmaja, Hamdan
Tri. 2009. Sejarah Kontemporer
Indonesia. Semarang
Joeniarto.
2011. Sejarah Ketatanegaraan
Republik Indonesia. Jakarta : Bumi Aksara
Poesponegoro. 2010. Sejarah Nasionals Indonesia VI. Jakarta:
Balai Pustaka
Ricklefs. 2010. Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: PT.
Ikrar Mandiriabadi
Soegito, A.T.
2011. Sejarah Ketatanegaraan
Indonesia. Semarang: UPT UNNES
Press
Junaidi, Imam. SEKELUMIT KISAH PERJALANAN KETATANEGARAAN
INDONESIA DARI MASA UUD 1945 (1959 – 1966 / Demokrasi Terpimpin) HINGGA ORDE
BARU. 25 Mei 2015 pukul 20.00
Wikipedia, Dewan Perwakilan Rakyat Indonesi Republik
Indonesia
http://id.wikipedia.org/wiki/Dewan_Perwakilan_Rakyat_Republik_Indonesia#Masa_DPR_hasil_pemilu_20_Maret_1956_.281956-1959.29
Tags:
Masa Kontemporer