Indische Partij








A. Latar Belakang Berdirinya Indische Partij


Setelah Indische Bond dibubarkan yang merupakan organisasi kaum Indo dan Eropa di Indonesia yang didirikan tahun 1898. E.F.E.Douwes Dekker kemudian terkenal dengan nama Danudirdja Setyabudi, seorang indo, melihat keganjilan-keganjalan dalam masyarakat kolonial khususnya, diskriminasi antara keturunan Belanda “totok” dan kaum Indo (campuran). Selain itu, lebih dari pada hanya membatasi pandangan dan kepentingan golongan kecil masyarakat indo, Douwes Dekker meluaskan pandangannya terhadap masyarakat Indonesia umumnya, yang masih tetap hidup didalam situasi kolonial. Masyarakat Indische digambarkan sebagai satu-kesatuan antara golongan pribumi dan Indo-Eropa yang terdesak oleh pendatang baru dari negeri Belanda.

Untuk persiapan pendirian Indische Partij, Douwes Dekker melakukan perjalanan propaganda di Pulau Jawa mulai tanggal 15 September hingga tanggal 3 Oktober 1912. Dalam perjalannya ia bertemu dengan Dr. Cipto Mangunkusumo.

Selain itu, ketika Douwes Dekker berada di Bandung, ia mendapat dukungan dari Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) dan Abdul Muis yang pada waktu telah menjadi pemimpin-pemimpin Sarekat Islam cabang Bandung. Di Yogyakarta, Douwes Dekker mendapat sambutan dari pengurus Boedi Oetomo. Akhirnya, pada tanggal 25 Desember 1912 di Kota Bandung, Douwes Dekker (Danudirja Setiabudhi), Dr. Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara), mendirikan Indische Partij sebagai organisasi pergerkan nasional yang bersifat politik murni dengan semangat nasionalisme modern. Selajutnya ketiga tokoh ini dikenal dengan sebutan “Tiga Serangkai”.

B. Tujuan Berdirinya Indische Partij

Permusyawaratan wakil-wakil Indische Partij daerah di Kota Bandung berhasil menyusun anggaran dasar Indische Partij. Program revolusioner tampak dalam pasal-pasal anggaran dasarnya tersebut, antara lain tujuan Indische Partij adalah untuk membangun patriotisme terhadap tanah air yang telah memberikan lapangan hidup kepada mereka, agar mereka mendapat dorongan untuk bekerjasama atas dasar persamaan ketatanegaraan untuk memajukan tanah air Hindia dan mempersiapkan kehidupan rakyat yang merdeka.

Sikap tegas Indische Partij itu juga tampak dalam semboyan-semboyan mereka yang berbunyi “indie los van holland” (Hindia bebas dari Belanda) dan “indie voor indier” (Indonesia untuk Indonesia). Indische Partij berdiri atas dasar nasionalisme yang luas menuju kemerdekaan Indonesia. Indonesia dianggap sebagai national home bagi semua orang, baik penduduk bumi putra maupun keturunan Belanda, Cina, dan Arab, yang mengakui Indonesia sebagai tanah air dan kebangsaanya. Paham ini pada waktu itu dikenal sebagai indish nationalism. Hal inilah yang menyatakan bahwa Indische Partij sebagai partai politik pertama di Indonesia. 




C. Perkembangan Indische Partij di Indonesia

E.F.E. Douwes Dekker berpendapat bahwa hanya melalui kesatuan aksi melawan koloni, bangsa Indonesia dapat mengubah sistem yang berlaku, juga keadilan bagi sesame suku bangsa yang merupakan keharusan dalam pemerintahan. Pada waktu itu terdapat Antitesis antara penjajah dan terjajah, penguasa dan yang dikuasai. E.F.E. Douwes Dekker berpendapa, setiap gerakan politik haruslah menjadikan kemerdekaan yang merupakan tujuan akhir. Pendapatnya itu di salurkan melalui majalah Het Tijdschrift dan surat kabar De Expres. E.F.E. Douwes Dekker juga banyak berhubungan dengan para pelajar STOVIA di Jakarta, dan menjadi redaktur Bataviaasch Nieuwsblad maka tidak mengherankan kalau E.F.E. Douwes Dekker banyak berkenalan dan member kesempatan kepada penulis- penulis muda dalam surat kabar. Menurut Suwardi Suryaningrat, meskipun pendiri Indische Partij adalah orang indo, tetapi tidak mengenal supremasi indo atas bumi putera, bahkan menghendaki hilangnya golongan indo dengan meleburkan diri dalam masyarakat bumi putera.

Perjuangan untuk menentang perbedaan sosio-politik inilah yang menjadi dasar tindakan Suwardi Suryaningrat dan selanjutnya mendirikan Taman Siswa (1922) dan menentang Undang- undang Sekolah liar (1933), di sisi lain dr. Tjipto Mangoenkoesoemo meneruskan perjuanagn nya yang radikal, walaupun di buang bersana E.F.E.Douwes Dekker ke Belanda tahun 1913. Pada tahun 1926 di buang lagi ke belanda dan sebelumnya di penjarakan dua tahun di bandung. Sebelum jepang masuk mereka di bebaskan dari penjara dan pada tahun 1943 Suwardi Suryaningrat meninggal dunia. Jiwa dinamis E.F.E. Douwes Dekker diawali ketika melakukan propaganda ke seluruh Jawa dari tanggal 15 September sampai dengan 3 Oktober 1912. Perjalanan itu di pergunakan untuk melakukan rapat- rapat dengan golongan elit lokal seperti di Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Surabaya, Semarang, Tegal, Pekalongan, dan Cirebon. E,F.E. Douwes Dekker disambut hangat oleh pengurus Budi Utomo di Yogyakarta. Mereka di ajak untuk mrmbangkitkan semangat golongan Indiers sebagai kekuatan politik untuk menentang penjajah. Perjalanannya itu menghasilkan tanggapan baik dan akhiryna di dirikan 30 cabang Indische Partij.

Konsep kebangsaan Hindia di sebarluaskan oleh E.F.E. Douwes Dekker, karena berpendapat bahwa Hindia dalam koloni Nederlandshe Indie harus di sadarkan dan di bebaskan dari belenggu penjajah. Dari anggaran Indische Partij dapat di simpulkan bahwa tujuannya adalah untuk membangun lapangan hidup dan menganjurkan kerja sama atas dasar persamaan ketatanegaraan guna memajukan tanah air hindia belanda dan untuk mempersiapkan kehidupan rakyat yang merdeka. Hal ini berarti secara tidak langsung Indische Partij menolak kehadiran orang belanda asli belanda sebagai penguasa dan sekaligus melahirkan perasaan kebangsaan yang pertama karena mengalami Indonesia sebagai tanah airnya. Oleh karena itu, Indische Partij berdiri atas dasar nasionalisme yang menampung semua suku bangsa di Hindia Belanda untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.

Walaupun usia Indische Partij sangat pendek, tetapi semangat jiwa dari dr. Tjipto Mangkusumo dan Suwardi Suryaningrat sangat besar berpengaruh bagi para pemimpin pergerakan waktu itu. Terlebih lagi Indische Partij menunjukan garis politiknya secara jelas dan tegas serta menginginkan agar rakyat Indonesia dapat merupakan satu kesatuan penduduk yang multirasial, dan tujuannya dari partai ini adalah benar- benar Revolusioner karena mau menobrak kenyataan politik rasial yang di lakukan oleh pemerintah Kolonial. Tindakan ini terlihat nyata pada tahun 1913, pemerintah belanda akan mengadakan upacara peringatan 100 tahun bebasnya negeri belanda dari jajahan perancis( Napoleon), dengan cara memungut dana dari rakyat Indonesia. Kecaman- kecaman yang semakin keras menentang pemerintah belanda menyebabkan ketiga tokoh dari Indische Partij di tangkap tatun 1913 mereka di asingkan ke Belanda. Namun tahun 1914 Tjipto Mangoenkoesoemo di kembalikan ke Indonesia karena sakit, sedangkan Suwardi Suryaningrat dan Douwes Dekker baru di kembalikan ke Indonesia tahun 1919.

Douwes Dekker tetap terjun dalam bidang politik, Suwardi Suryaningrat terjun di bidang pendidikan. Meskipun Indische Partij tenggelam tetap memperjuangkan bangsa Indonesia. Telah lama Cipto Mangunkusumo mempunyai cita-cita tentang wawasan kebangsaan yang luas dan tegas. Secara nyata ketika ia masih sebagai anggota Budi Utomo, pada tanggal 9 September 1909 ia pernah mengusulkan agar Budi Utomo memperluas keanggotaannya, membuka pintu untuk semua Hindia Putera; bagi semua yang lahir, hidup, dan mati di tanah Hindia. Apa yang diusulkannya itu tegas. Sayang keinginannya itu harus kandas, karena ditolak oleh Konggres yang nyaris mayoritas terdiri dari golongan tua. Itulah sebabnya dalam Indische Partij apa yang dicita-citakan itu memperoleh tempat penyalurannya.

Dengan masuknya kedua tokoh nasionalis tersebut ke dalam tubuh Indische Partij yang baru berdiri itu, maka aktivitas politiknya menjadi lebih tegas dan keras. Dengan tambahnya tokoh-tokoh itu lahirlah “tiga serangkai” yang memiliki cara pandang dan arah berfikir sehaluan. Pada waktu itu pula Cipto Mangunkusumo memperkenalkan semboyan “Indie los van Holland”, Hindia lepas dari negeri Belanda. Itulah tujuan yang sebearnya, di mana saja Cipto Mangunkusumo berbicara, itulah kata-kata terakhir yang diucapkannya, yaitu Hindia lepas dari Nederland. Pada waktu itu apa yang diucapkan Cipto Mangunkusumo tersebut merupakan kata yang membuat telinga pemerintah kolonial panas.

D. Penyebab Runtuhnya Indische Partij

Dilihat dari aktivitasnya, sejak semula Indische Partij memang menunjukkan keradikalannya sehingga pemerintah kolonial Belanda merasa perlu untuk cepat-cepat menghentikannya. Itulah sebabnya organisasi ini tidak dapat berumur panjang karena pada akhirnya pemimpinnya dibuang ke luar negeri (1913). Adalah menarik, bahwa persoalan yang menyangkut nasib tiga serangkai tersebut erat hubungannya dengan tindakan Belanda pada tahun 1913, dalam rangka memperingati bebasnya negeri Belanda dari penindasan Prancis pada tahun 1813. Adalah suatu ironi bahwa negara yang menjajah, merayakan kebebasan negerinya itu di negeri yang dijajahnya sendiri, lebih-lebih untuk perayaan tersebut pemerintah akan memungut biaya dari rakyat Hindia.

Melihat fenomena menarik tersebut, Suwardi Suryaningrat dan kawan-kawan akhirnya membentuk “Komite Bumi Putera”, suatu komite yang bertujuan menentang peringatan tersebut. Komite ini kemudian mengeluarkan brosur yang didalamnya dimuat tulisan Suwardi Suryaningrat dengan judul: “Als ik een Nederlander Was...”(“Andaikata saya seorang Belanda”), yang isinya menyindir dengan tajam sikap pemerintah kolonial Belanda yang ingin merayakan kebebasannya di tanah jajahan dengan cara memungut biaya dari rakyat. Karena tulisannya itulah kemudian Suwardi Suryaningrat ditangkap, dan teman-temannya tang tergabung dalam “Komite Bumi Putera” juga tidak luput dari pemeriksaan pemerintah. Setelah penangkapan Suwardi, Cipto mangun Kusumo kemudian menlis sebuah karangan di harian De Expres dengan julul “ Kracht of Vrees” (Kekuatan atau Ketakutan). Tulisan itu jelas merupakan sindiran terhadap pemerintah kolonial. Selanjutnya Douwes Dekker yang merasa senasib dengan kawan-kawannya itu kemudian juga menulis sebuah karangan yang berjudul “Onze Helden: Cipto Mangunkusumo en R.M. Suwardi Suryaningrat (Pahlawan kita: Cipto Mangunkusumo dan R.M. Suwardi Suryaningrat), yang isinya sangat membangga-banggakan kedua temannya tersebut. Akibatnya sudah jelas, ketiga tokoh tersebut akhirnya dieksernisasi ke negeri Belanda.

Mulai saat itu, berhembuslah gerakan politik yang menusuk kekuasaan kolonial. Ditambah lagi meledaknya Perang Dunia I (1914-1918), membuat pemerintah Hindia Belanda selalu berhati-hati terhadap gerakan-gerakan politik disini. Walaupun peperangan itu tidak terjadi secara riil di Indonesia, getarannya menyentuh alam pikiran kaum pergerakan. Semboyan presiden Amerika Serikat Wilson, “The Right of Self Ditermination” sangat mempengaruhi sikap para tokoh Indonesia.

Kepergian dari ketiga pemimpin tersebut membawa pengaruh terhadap kegiatan Indische partij yang makin lama makin menurun, kemudian Indische Partij nama menjadi partaiInsulinde. Sebagai asas yang utama dalam programnya tertera: “ Mendidik suatu nasionalisme Hindia dengan memperkuat cita- cita persstuan bangsa”, kepada anggota- anggota ditekankan supaya menyebut dirinya “ Indiers “, orang Hindia ( Indonesia ). Pengaruh Serekat Islam yang kuat telah menarik orang- orang Indonesia, sehingga Partai Insulinde menjadi semakin lemah. Kembalinya Douwes Dekker dari negeri Belanda tahun 1918 tidak begitu mempunyai arti bagi partai insulinde, yang kemudian pada bulan juni 1919 berganti nama menjadi National Indische Partij(NIP). Dalam perkembangannya partai ini tidak mempunyai pengaruh kepada rakyat banyak bahkan akhirnya hanya merupakn perkumpulan orang- orang terpelajar.

E. Pengaruh Indische Partij bagi Bangsa Indonesia

Munculnya Indische Partij di Indonesia, telah memberikan pengaruh bagi bangsa Indonesia. Konsep kebangsaan yang dicanangkan dan dikembangkan sangat berpengaruh terhadap tokoh-tokoh pergerakan kebangsaan Indonesia dan sepak terjang organisasi-organisasi pergerakan kebangsaan Indonesia pada masa-masa selanjutnya.

Pemimpin-pemimpin Indische Partij setelah organisasinya dibubarkan dan dianggap sebagai partai terlarang bersepakat secara perorangan tetap terus mempropagandakan cita-cita organisasi tersebut melalui tulisan-tulisan ataupun organisasi lain. Dengan demikian, meskipun Indische Partij telah dibubarkan, pemimpin-pemimpinnya sebagai seorang pribadi tetap meneruskan propaganda dengan berbagai tulisan, terutama surat kabar De Express Bandung menjadi media tulisan mereka.


DAFTAR PUSTAKA


Djoened P.,Mawarti, et al.1984. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta : Depdikbud. 


Post a Comment

Previous Post Next Post