REFORMASI 1998


1. Latar Belakang Terjadinya Reformasi 1998

Reformasi merupakan perubahan yang radikal dan menyeluruh untuk perbaikan. Perubahan yang mendasar atas paradigma baru atau kerangka berpikir baru yang dijiwai oleh suatu pandangan keterbukaan dan transparansi merupakan tuntutan dalam era reformasi. Reformasi menghendaki adanya peubahan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ke arah yang lebih baik secara konstitusional dalam berbagai bidang kehidupan. Ketika terjadi krisis ekonomi, politik, hukum, dan krisis kepercayaan, maka seluruh rakyat mendukung adanya reformasi dan menghendaki adanya pergantian pemimpin yang diharapkan dapat membawa perubahan Indonesia di segala bidang ke arah yang lebih baik.

Di tengah-tengah perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara terjadi ganjalan dalam kehidupan berpolitik menjelang Pemilu 1997 yang disebabkan adanya peristiwa 27 Juli 1996, yaitu adanya kerusuhan dan perusakan gedung DPP PDI yang membawa korban jiwa dan harta. Tekanan pemerintah Orba terhadap oposisi sangat besar dengan adanya tiga kekuatan politik yakni PPP, GOLKAR, dan PDI. Selain itu larangan untuk mendirikan partai politik lain juga dilakukan. Hal ini berkaitan dengan diberlakukannya paket UU Politik, yaitu:

1. UU No. 1 Tahun 1985 tentang Pemilu,

2. UU No. 2 Tahun 1985 tentang susunan dan kedudukan anggota MPR, DPR, DPRD yang kemudian disempurnakan menjadi UU No. 5 Tahun 1995,

3. UU No. 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya,

4. UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan

Pertikaian sosial dan kekerasan politik terus berlangsung dalam masyarakat sepanjang tahun 1996, kerusuhan meletus di Situbondo, Jawa Timur pada Oktober 1996. Kerusuhan serupa terjadi di Tasikmalaya, Jawa Barat pada Desember 1996, kemudian disusul dengan kerusuhan di berbagai daerah di Indonesia. Pemilu 1997, dengan hasil Golkar sebagai pemenang mutlak merupakan sebuah dukungan mutlak kepada Soeharto untuk menjadi presiden lagi di Indonesia dalam sidang MPR 1998. Pencalonan kembali Soeharto menjadi presiden tidak dapat dipisahkan dengan komposisi anggota DPR/MPR yang mengandung nepotisme yang tinggi bahkan hampir semua putra-putrinya tampil dalam lembaga negara ini. Terpilihnya kembali Soeharto menjadi Presiden RI dan kemudian membentuk Kabinet Pembangunan VII yang penuh dengan ciri nepotisme dan kolusi membuat mahasiswa dan golongan intelektual mengadakan protes terhadap pelaksanaan pemerintahan ini. 

Di samping hal tersebut, sejak 1997 Indonesia mendapat imbas dari adanya krisis moneter di Asia Tenggara. Sistem ekonomi Indonesia yang lemah tidak mampu mengatasi krisis tersebut, bahkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika memburuk pada 1 Agustus 1997 yaitu dari Rp 2.575,00 menjadi Rp 5.000,00. Ketika nilai tukar semakin memburuk , krisis lain menyusul yakni pada akhir tahun 1997 pemerintah melikuidasi 16 bank yang disusul dengan pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang bertugas untuk mengawasi 40 Bank bermasalah. Kepercayaan dunia terhadap kepemimpinan Soeharto semakin menurun. Pada April 1998, 7 bank dibekukan operasinya dan nilai rupiah terus melemah mencapai Rp 10.000,00 terhadap dolar Amerika. Hal ini menyebabkan terjadinya aksi mahasiswa di berbagai kota di seluruh Indonesia. Keadaan makin kacau ketika pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM dan ongkos angkutan. Pada tanggal 4 Mei 1998 aksi anti Soeharto makin meluas, bahkan pada tanggal 12 Mei 1998 aksi Mahasiswa Trisakti berubah menjadi bentrokan fisik yang membawa 4 korban meninggal dunia yang kemudian memicu pergolakan yang lebih besar.

2. Kerusuhan Mei 1998

2.1 Skala Kerusuhan

Pada tanggal 13-14 Mei 1998, tepat sehari setelah terjadinya penyerangan terhadap kampus Trisakti di Jakarta terjadi kerusuhan yang bernuansa rasial di berbagai kota di Indonesia. Terdapat minimal 87 titik daerah kerusuhan yang terjadi di daerah Jakarta, Bogor, dan Tanggerang yang terjadi hampir secara serentak dan bersifat massif. Kerusuhan inipun terjadi di berbagai wilayah lainnya diluar Jabotabek yaitu Medan (Kerusuhan terjadi sebelum 13 Mei 1998), Surabaya, Solo, Boyolali, Banyuwangi, Palembang dan Lampung. Kerusuhan ini telah menghancurkan infrastruktur ekonomi dan sosial yang ada di daerah tersebut. 

Menurut Temuan TGPF, “kerusuhan ini adalah keseluruhan bentuk dan rangkaian tindak kekerasan yang meluas, kompleks, mendadak dan eskalatif dengan dimensi-dimensi kuatitatif dan kualitatif. Skala kerusuhan Mei 13-15 1998 mencakup aspek-aspek sosial, politik, keamanan, ekonomi bahkan kultural”. TGPF juga menyebutkan bahwa: Kerusuhan ini membawa dampak ikutan. Dengan demikian, rentang kerusuhan dirujuk pada dinamika krisis nasional, hingga dampak-dampak pasca kerusuhan, dalam lingkup geografis yang berskala nasional”. Kerusuhan Mei 1998 ini seperti yang dilansir oleh TGPF adalah berskala nasional, namun fakta yang ada tidaklah sesempit itu.

Kerusuhan ini juga berimbas ke bagian lebih luas yaitu ke masyarakat Internasional. Hal ini dapat dilihat dengan begitu banyaknya perpindahan modal dari Indonesia ke luar negeri, ketidakpercayaan investor luar negeri serta yang lebih parah lagi adalah kerusuhan ini menuai kecaman yang tidak sedikit dari berbagai elemen masyarakat dunia. Bahkan tidak sedikit kedutaan Indonesia di Luar negeri yang mendapat “kunjungan” dari pemerintah asing untuk membicarakan masalah kerusuhan ini. Bahkan kedutaan besar Indonesia yang berada di luar negeri tersebut juga tidak terlepas dari berbagai demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat internasional yang tidak dapat memahami mengapa kejadian yang sangat biadab ini terjadi di Indonesia yang mengaku sebagai negara yang pluralis.

2.2. Pola Umum Kerusuhan

Menurut Laporan Tim Pengkajian Laporan Akhir TGPF Tentang Kasus Kerusuhan 13-15 Mei 1998 menyebutkan bahwa: “Pola Umum kerusuhan dimulai dengan berkumpulnya massa passif yang terdiri dari massa lokal dan massa pendatang, kemudian muncul kelompok provokator yang memancing massa dengan berbagai modus tindakan seperti membakar ban atau memancing perkelahian, meneriak yel-yel yang memanaskan situasi, dan merusak rambu-rambu lalu lintas. Setelah itu provokator mendorong massa untuk melakukan perusakan bangunan, disusul dengan penjarahan serta di beberapa tempat disertai pembakaran bangunan”.

Kerusuhan ini bermula didaerah Jakarta barat didaerah sekitar kampus Trisakti. Esoknya pada tanggal 14 Mei 1998, kerusuhan ini makin meluas antara pukul 08.00 hingga 10.00. Dari pola kerusuhan ini terlihat dengan jelas bagaimana aktor lapangan bermain dengan sangat rapih dan baik. Hal ini membuktikan bagimana sistematisnya kerusuhan tersebut dirancang. Dengan demikian, makin kuat dugaan bahwa kerusuhan ini merupakan salah satu kejahatan kemusiaan yang bersifat sistematis dan meluas.

2.3. Target Kerusuhan dan Korban Kerusuhan

Menurut hasil temuan Tim Gabungan Pencarian Fakta (TGPF), sasaran kerusuhan tersebut adalah pertokoan, fasilitas umum (pompa bensin, tanda-tanda lalu lintas, dll), kantor pemerintahan (termasuk kantor polisi) yang menimbulkan kerusakan berat termasuk pembakaran gedung, rumah dan toko, serta kendaraan bermotor umum

Dalam kerusuhan ini, banyak grafitti yang bernuansa rasial yang menggunakan simbol-simbol agama dan kelompok. Walaupun demikian, tidak ada nuansa konflik agama didalamnya karena memang simbol-simbol tersebut hanya untuk melindungi diri dari serangan perusuh. Teror dengan tulisan terhadap warga keturunan dapat dilihat dengan jelas karena terpampang di jalan-jalan, di pintu-pintu rumah penduduk serta di bangkai toko dan perkantoran yang hangus terbakar. 

Nuansa rasial terlihat manakala dalam kerusuhan tersebut yang menjadi target utama adalah kelompok minoritas Tionghoa, walaupun terdapat juga beberapa toko dan perkantoran milik warga non Tionghoa yang dibakar dan dirusak. Pembakaran terjadi di sentra ekonomi terhadap pertokoan-pertokoan yang dikelola oleh orang-orang Tionghoa seperti di Glodok, Mangga Dua dan rumah toko lainnya. Begitupun di luar daerah Jakarta, nuansa rasial tidak bisa dihilangkan begitu saja manakala untuk melindungi tokonya mereka menulis kata “Milik Pribumi dan/atau Muslim”. 

Simbol-simbol ini dianggap sebagai penyelamat dalam kerusuhan ini. Simbol ini merupakan upaya melindungi diri yang dilakukan oleh masyarakat karena ketidakpercayaan kepada aparat keamanan. Jumlah korban yang tercatat menurut hasil TGPF adalah 52 korban perkosaan, 14 orang korban penganiayaan, 10 orang penyerangan/penganiayan seksual dan 9 orang korban pelecehan seksual. Sedangkan laporan dari Tim Relawan Kemanusiaan mencatat bahwa terdapat 1.190 orang meninggal akibat ter/dibakar, 27 orang meninggal akibat senjata/dan lainnya, dan 91 orang luka-luka.

Kerusuhan ini menimbulkan korban tewas yang kebanyakan akibat terbakar di dalam gedung-gedung pertokoan ataupun di pusat perbelanjaan. Menurut saksi mata, para korban berusaha untuk keluar dari gedung yang telah terbakar dengan menerobos api. Namun, mereka gagal menyelamatkan diri karena api dalam gedung tersebut kian membesar dan tidak ada upaya dari regu penyelamat ataupun pemadam kebakaran untuk memadamkan api tersebut dan ditambah lagi terkuncinya tangga darurat dalam gedung-gedung tersebut. 

Hal ini tetap menjadi pertanyaan mengapa pintu-pintu darurat yang seharusnya berfungsi sebagai pintu penyelamat malahan terkunci. Tidak sedikit dari mereka juga menyelamatkan diri dari kobaran api dengan jalan lompat dari gedung-gedung yang tinggi tersebut. Namun kebanyakan dari mereka tidak berhasil. Permasalahan yang cukup kontroversial adalah mengenai korban perkosaan. Hingga kini tidak ada jumlah yang pasti mengenai korban perkosaan. Namun demikian, TGPF menyatakan adanya korban kekerasaan seksual dalam kerusuhan tersebut baik melalui testimoni korban langsung ataupun melalui pihak keluarga dan rohaniawan. 

Apapun hasil dari TGPF mengenai peristiwa kekerasan seksual ini, bukan hanya dilihat dari berapa besar korban yang ada, namun penggunaan cara-cara kekerasan seksual itu sendiri yang berbahaya. Maka tugas dari pemerintah untuk kembali mengungkap kasus ini. Ini adalah hutang yang harus di bayar lunas.

2.4. Dugaan Pelaku yang Dimintakan Pertanggungjawabannya

Dalam tugasnya untuk mengungkapkan kerusuhan Mei 1998, TGPF telah meminta 10 orang pejabat yang terkait yang bertanggungjawab pada saat kerusuhan 13-15 Mei 1998, yaitu:

1) Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin (pangdam Jaya pada saat kerusuhan)

2) Mayjen (Pol) Hamami Nata (Kapolda Metro Jaya pada saat kerusuhan)

3) Mayjen TNI Sutiyoso Gubernur (KDKI Jakarta)

4) Mayjen TNI Zacky Anwar (Kepala BIA)

5) Mayjen TNI (Mar) Soeharto (Dankormar)

6) Letjen TNI Prabowo Subianto (Pangkostrad pada saat kerusuhan)

7) Fahmi Idris (Tokoh Masyarakat)

8) Brigjen TNI Sudi Silalahi (Kastaf Kodan Jaya)

9) Kolonel (Inf) Tri Tamtomo (Asops Kodan Jaya)

10) Jendral TNI Subagyo HS (KASAD/Mantan Ketua DKP)

Dari sekian banyak pelaku yang seharusnya dimintakan pertanggungjawabannya namun hingga kini mereka tetap dapat hidup dengan tenang tanpa harus menjalani proses hukum. Parahnya lagi mereka mendapat kedudukan yang lebih tinggi di pemerintahan. Dari semua pihak tersebut diatas, terdapat kesan saling menutupi kegagalan mereka sebagai petinggi dan pengambil kebijakan dalam melindungi seluruh warga negaranya. Misalkan saja ucapan dari Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin selaku Pangdam Jaya menyatakan bahwa :”Pada tanggal 12 Mei 1998, ketika Operasi Mantap Jaya untuk mengamankan Pemilu digelar, pasukan yang diturunkan di Jakarta berjumlah 60 Satuan Setingkat komando (SKK), atau sekitar 6.000 pasukan. 

Kemudian pada tanggal 13 Mei, jumlahnya ditingkatkan menjadi 112 SSK. Sedangkan tanggal 14 Mei ditambah lagi menjadi 142 SSK, sehingga jumlah keseluruhan menjadi 14.200 pasukan. Namun dengan begitu banyaknya upaya yang telah dilakukan tetap saja kekurangan personil di lapangan tetap muncul”.

Menurut hasil penyelidikan TGPF, terdapat 2 golongan yakni, pertama massa passif (massa pendatang) dan kedua provokator. Provokator pada umunya bukan dari wilayah setempat , secra fisik tampak terlatih, sebagian memekai seragam sekolah seadanya (tidak lengkap), tidak ikut menjarah, dan segera meninggalkan lokasi setelah gedung atau barang terbakar. Para provokator ini juga membawa dan menyiapkan sejumlah barang untuk keperluan merusak dan membakar, seperti jenis logam pendongkel, bahan bakar cair, kendaraan, bom molotov dan sebagainya.

Dalam pemeriksaan terhadap beberapa orang yang diduga bertanggungjawab yang dilakukan oleh TGPF, Aris Sampurno dari kadit Intel menyatakan bahwa:

“Langkah-langkah Polri Polda Metro Jaya, mengidentifikasir 36 perusuh (kita menamakan dalang kerurusuhan yang sifatnya lokal)—sudah ditangkap ada 14 tersangka yang 2 tersangka masih dalam proses peradilan tetapi tetap disidik secara yuridis. Dari 16 tersangka, 14 orang berkasnya sudah diserahkan ke pununtut umum, dan yang sudah P21 (berkas perkara pemeriksaan sudah dianggap selesai) sebanyak 3 orang”.

Kepala BIA (Mayjen TNI Zacky Anwar Makarim) menilai kejadian itu sebagai musibah, walaupun sejak 20 April BIA sudah melakukan diteksi dini atau perkiraan lapangan dan melihat ada indikasi akan pecah kerusuhan. Namun, mereka tidak mengira kejadian itu akan meletus pada 13-15 Mei. Sebab, indikasinya menunjukkan kerusuhan akan terjadi pada 20 Mei, bertepatan dengan hari kebangkitan nasional,” Ujar Bambang W. Soeharto, Ketua komisi Pelacak TGPF (Media Indonesia, Kamis 3 September 1998).

Penjelasan Zacky Anwar Makarim sebagai “alasan pemaaf” yang mereka berikan kepada TGPF mengenai ketidaksiapan pemerintah dalam menangani kerusuhan ini sangat tidak masuk akal. Apabila BIA telah tahu akan ada kejadian kerusuhan pada waktu tertentu, sepantasnyalah mereka bersiap-siap dan segera mengatur strategi untuk mengamankan daerah tersebut. Namun apa yang terjadi justru sebaliknya. Tidak ada kesiapan aparat keamanan dalam upaya menangani kerusuhan dan menolong korban. Serta tidak ada koordinasi yang cukup baik antar regu kemanan yang satu dengan yang lain. 

Apa yang dinyatakan oleh pihak keamanan mengenai upaya pengamanan sangat bertentangan dengan fakta yang terjadi di lapangan. Ketidakhadiran aparat kemanan selama 32 jam untuk mencegah kerusuhan membuat kerusuhan ini makin meluas. Fakta yang terjadi pada kerusuhan membuat kita tidak habis pikir. Kita ambil contoh di daerah Tanggerang. Di Mega Mall, Tangerang sekitar 500 orang mati terbakar karena mereka tidak bisa keluar dari pertokoan tersebut. Mereka tidak dapat menyelamatkan diri karena ada pihak yang mengunci pintu keluar dan mengemboknya dari luar. 

Dan dengan semua korban tersebut, pihak aparat hanya diam tanpa upaya untuk menyelamatkan para korban. Apapun alasan yang diberikan mengenai ketidakhadiran mereka, negara tetap saja melakukan pelanggaran HAM karena membiarkan pembunuhan dan perampasan terjadi didepan mata mereka. Tidak berkerjanya pemadam kebakaran yang seharusnya menjadi tanggungjawab Gubernur juga dianggap bukan sebagai kegagalan dan malahan menyalahkan kondisi yang sedang chaos saat itu. Sutiyoso mengatakan bahwa: “sulitnya petugas pemadam kebakaran bekerja karena khawatir diserang massa pesuruh, sehingga selalu minta dikawal aparat. Sementara aparat dimananpun terbatas dan tidak sebanding dengan luas dan pelaku kerusuhan”. 

Kerusuhan yang telah terjadi tersebut merupakan sebuah kegelapan bagi negara Indonesia. Indonesia yang dikenal sebagai negara dengan masyarakatnya yang ramah dan santun serta sangat menjaga toleransi nyatanya telah menjadi sebuah negara yang tak beradab. Namun semuanya tidak bisa dibebankan kepada rakyat Indonesia begitu saja. Selain karena adanya provokator yang membakar hati massa juga dikarenakan tumpukan kekesalan atas pemerintahan yang menyebabkan mereka melakukan semua itu.

3. Aksi Mahassiswa dan Dugaan Pelanggran HAM

Pada masa Orde Baru, mahasiswa merupakan komponen masyarakat yang intelektual, jeli politik dan sinisme terhadap pemerintahan rezim Soeharto. Hal ini dikarenakan korupsi, kolusi dan nepotisme merajalela di panggung politik yang otoritatif, yang mana bangku-bangku politik hanya dapat diduduki oleh keluarga pejabat, mengakarnya budaya patronase, kemudian kemenangan Golkar karena PNS sebagai pilar utama, menumpuknya hutang luar negeri, tidak adanya kebebasan berpendapatan apalagi mengkritisi pemerintah, dan dwifungsi ABRI. gerakan revormasi adalah gerakan yang berusaha untuk memodifikasi kerangka kerja dari skema nilai yang ada, 

Pada tahun 1997 krisis ekonomi semakin melanda Indonesia, yang semakin mendorong keinginan masyarakat untuk melakukan suatu perubahan. Sebenarnya krisis ini bukan satu-satunya penyebab gerakan mahasiswa yang terjadi pada Mei 1998. Pada tahun 1974 terjadi aksi penolakan mahasiswa terhadap investor asing yang masuk ke negara ini, hingga kini kita menganal peristiwa tersebut dengan sebutan Malari (Malapetaka 15 hari). Namun, sejak adanya gerakan tersebut, arena politik mahasiwa dipersempit sehingga ide-ide mereka yang kritis tidak dapat disalurkan, sehingga pada saat itu mahasiswa hanya memiliki kewajiban belajar dan belajar tanpa perlu mengurusi keadaan politik yang semakin bergejolag. Jika ada yang berani menentang, atau menyampaikan kritik mereka terhadap pemerintahan maka orang tersebut akan berhadapan dengan angkatan bersenjata, ditangkap atau di penjara.

Tujuannya adalah untuk menyingkirkan orang-orang yang dianggap berbahaya bagi kedudukan Soeharto. Mahasiswa yang seharusnya dianggap sebagai agen perubahan justru dianggap musuh oleh pemerintahan. Sikap kritis mahasiswa dianggap sebagai ancaman bagi Soeharto dan jajarannya. Banyak aktivis mahasiswa yang diculik karena terlalu kritis mengkritik pemerintah. Sehingga banyak mahasiswa yang takut berargumen meski berlawanan dengan hati nurani mereka. Penangkapan secara tiba-tiba juga kerap dilakukan.

Kejadian 12 Mei 1998, tidak akan pernah dapat kita lupakan karena telah memakan banyak korban. Seperti tragedi Trisakti yang telah menewaskan 4 mahasiwa dan Tragedi Semanggi menewaskan 1 orang mahasiswa dan 11 orang lainnya di seluruh Jakarta, serta menyebabkan 217 korban luka-luka. Dan banyak tragedi-tragedi lainnya yang telah menghilangkan nyawa baik itu mahasiswa maupun masyarakat setempat. Gerakan yang keras dan mendapat dukungan penuh dari masyarakat ini juga menyebabkan kerusuhan besar-besaran, yang kita kenal dengan kerusuhan Mei 1998. Ditandai dengan penjarahan beberapa Mall, pembakaran swalayan, penganiayaan dan pemerkosaan terhadap etnis tionghoa, juga penghancuran toko-toko milik etnis tionghoa.

3.1 Aksi Civitas Akademika UI.

Gerakan2 mahasiswa sebagai wujud protes terhadap arogansi kekuasaan pemerintahan orde baru sebenarnya sudah sejak lama dilakukanGerakan2 mahasiswa yang pada awalnya hanya bersifat sporadis tersebut meningkat pada tanggal 25 Februari 1998 ketika ratusan mahasiswa UI menggelar aksi protes terhadap pemerintah orde baru di Kampus UI Salemba. Aksi civitas akademika UI ini menunjukan sikap bahwa UI menolak pemerintahan orde baru. Barisan mahasiswa sepanjang hampir satu kilometer itu kemudian menuju pintu gerbang kampus, sambil berteriak "Hidup Demokrasi, Hidup Reformasi". Tugu selamat datang bertuliskan Universitas Indonesia lalu ditutupi spanduk putih bertuliskan "Kampus Perjuangan Rakyat" (tadinya "Kampus Perjuangan Orde Baru"). Komandan Kodim Depok, yang memimpin barisan petugas keamanan mengancam bahwa ia mendapat perintah dari Pangdam V Jaya untuk menembak di tempat pelaku2 demonstrasi di luar kampus.

3.2. Aksi- aksi Mahasiswa di Kota Lainnya.

Pada tanggal yang sama ribuan mahasiswa berbagai PTN/PTS di kota Bandung melakukan aksi protes di IAIN Sunan Gunung Djati di Cibiru, Bandung. Demonstrasi itu diprakarsai oleh Front Indonesia Muda Bandung (FIM-B) yaitu aliansi mahasiswa-mahasiswa berbagai perguruan tinggi di Bandung. Dalam aksi ini FIM-B jelas-jelas menolak Soeharto sebagai presiden. Spanduk besar mereka di panggung bertuliskan "Kami Mau Presiden Baru!". Dalam mimbar bebas mereka para demonstran meneriakkan: "Soeharto Naik, Harga Naik. Soeharto Turun, Harga pun Turun". Sementara itu juga berlangsung pula aksi di Purwokerto. Dimulai dengan aksi di depan gedung Perpustakaan Unsoed, Keluarga Mahasiswa Unsoed Purwokerto mengadakan aksi mimbar bebas ("Sidang Akbar Mahasiswa Purwokerto") di kampus Universitas Jenderal Soedirman yang diikuti oleh sekitar 500 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Purwokerto. 

3.3. Aksi- aksi mahasiswa dan LSM selama SU.

Pada saat anggota-anggota istimewa MPR menerima laporan pertanggungjawaban Presiden 1 Maret 1998, Megawati Sukarnoputri dalam siaran persnya, di depan ratusan aktivis pergerakan demokrasi dan diplomat dari Kedubes AS dan Belanda menolak pertanggungjawaban tsb karena Presiden gagal melaksanakan amanat GBHN. Pertimbangan Mega, untuk sampai kesimpulan "menolak" pidato presiden itu, antara lain: ambruknya pembangunan ekonomi - dengan pertumbuhan yang surut ke titik nol, dan utang luar negeri mencapai 140 milyar dolar AS. Sementara di tengah kebangkrutan ekonomi negara, ada berita tentang kekayaan Presiden Soeharto yang mencapai 16 milyar dolar Amerika.

"Kekayaan Presiden itu seharusnya menjadi bagian dari pertanggungjawaban presiden," kata Mega. Sebelumnya, Mega sempat menuntut Kejaksaan Agung, agar mengusut kebenaran berita kekayaan Soeharto. Penolakan terhadap pidato presiden, juga muncul dari satu koalisi baru bernama KIPP-HAM (Komite Indonesia untuk Pencegahan Pelanggaran Hak Asasi Manusia). KIPP HAM didukung oleh Yayasan LBH Indonesia, AJI, LAPASIP, PIPHAM, dan Elsam. Menurut KIPP HAM, pidato presiden mestinya mempertanggungjawabkan sejumlah peristiwa politik yang menyimpang dari konstitusi selama lima tahun terakhir. Peristiwa itu antara lain, pembredelan Tempo, Detik dan Editor; tragedi 27 Juli; terjadinya kekerasan kolektif di berbagai tempat di Indonesia dalam dua tahun terakhir. KIPP-HAM juga menyoroti banyaknya korupsi, kolusi, monopoli, dan nepotisme yang membuat krisis ekonomi berkepanjangan. Puluhan ribu aktivis dan mahasiswa berdemonstrasi menuntut reformasi politik, menentang terpilihnya Soeharto. Pimpinan pilihan mereka adalah triumvirat Megawati-Amien Rais-Emil Salim Kegiatan Politik. 

3.4. Aksi-aksi mahasiswa dan LSM setelah SU.

Penangkapan aktivis Kongres Indonesia pada tanggal 10 Maret 1998 tidak menurunkan gelombang protes menentang Soeharto, bahkan sebaliknya massa mahasiswa yang terlibat malah makin besar, hingga mencapai puluhan ribu orang. Pengangkatan Tutut Suharto sebagai mensos dan Bob Hasan sebagai menperin/perdag justru meman-cing kemarahan mahasiswa dan rakyat. Di kampus UGM Yogyakarta, contohnya, Kamis 12 Maret 1998, sekitar 50 ribu mahasiswa memadati jalan-jalan kampus. Sambil berteriak, "Hidup Reformasi, Ganti Soeharto," mereka memajang ratusan poster bertuliskan tuntutan reformasi politik dan ekonomi. Yang menarik, aksi keprihatinan itu diikuti pula oleh sejumlah dosen senior UGM, seperti: Amien Rais, Mochtar Mas'oed, Prof. Koento Wibisono (Ketua Kagama), Prof. Teuku Jacob (mantan Rektor UGM). Dalam aksi keprihatinan itu, Ketua Senat Mahasiswa UGM, Ridaya La Ode Ngkowe, mem-bacakan deklarasi keprihatinan Keluarga Mahasiswa UGM. Inti deklarasi: tanpa reformasi ekonomi dan politik secara menyeluruh, maka pembangunan nasional akan segera berakhir. Di akhir deklarasi, disampaikan enam butir tuntutan, diantaranya: turunkan harga kebutuhan bahan pokok dan kembalikan sistem ekonomi yang berpihak kepada rakyat. Amien Rais saat berpidato di depan sekitar 15 ribu mahasiswa UI pada tanggal 13 Maret 1998 menuntut presiden Suharto untuk memberantas nepotisme, korupsi, dan kolusi; melakukan reformasi politik, agar reformasi ekonomi berjalan lancar; memeriksa kekayaan pribadi pejabat negara, mulai bupati sampai presiden; membentuk kabinet baru yang terdiri dari orang jujur, profesional, dan mengabdi pada kepentingan rakyat. Untuk itu Amien Rais memberi waktu 6 bulan, jika pemerintah gagal menjalankan tuntutannya, maka mereka harus mengembalikan mandat yang diberikan rakyat. Bentrokan serius juga terjadi di Kampus Institut Teknologi Surabaya (ITS), dan mahasiswa UNS Solo. Ratusan mahasiswa sempat melawan dengan melempar bongkahan batu, ember, dan botol air mineral ke arah petugas. Tapi, aparat malah bertambah beringas menggebuki mahasiswa.

Kebrutalan aparat keamanan itu berlangsung tanggal 2, 3, dan 4 April 1998 dan mengakibatkan seratus lebih mahasiswa dan pemuda cidera. Kebrutalan pihak militer dialami Timur Angin, 19 tahun, mahasiswa semeter dua Akademi Komunikasi Indonesia, Putera Seno Gumira Ajidarma (Pemimpin Redaksi Majalah Jakarta-Jakarta). Korban2 aksi damai pro-Reformasi mahasiswa di berbagai tempat di Indonesia di lawan oleh arogansi kekuasaan militer yang mengakibatkan dirawatnya ratusan orang dan menewaskan pemuda/mahasiswa. 

Tanggal 13, 14 da 15 Mei 1998 terjadi peristiwa2: kerusuhan, penjarahan dan pemerkosaan yang terorganisir dimana korban peristiwa keji tersebut adalah golongan minoritas Tionghoa yang hingga kini belum ada tindakan kongkrit dan tegas dari pihak pemerintah untuk mengungkapkan dan menghukum segenap pelaku tindakan2 biadab itu. Menhankam/Pangab Jendral Wiranto mengatakan bahwa pelaku kerusuhan, penjarahan serta pemerkosaan itu terorganisir dan pelakunya harus ditindak dengan tegas. Hingga kini masyarakat masih dicekam oleh rasa takut, karena pelaku dan organisator pelaku teror masih berkeliaran. 

Sabtu/Minggu, 16-17 Mei Presiden sewaktu di Mesir mengatakan tentang rencananya menjadi pandito setelah lengser keprabon. Pernyataan ini dibantah sejumlah menteri, termasuk Menlu Ali Alatas. Akibat bantahan inilah yang justru membuka peluang bagi kalangan masyarakat untuk mengritik Presiden. Ketua Umum Golkar merangkap Ketua DPR/MPR Harmoko dikenal sebagai orang yang loyal kepada Presiden. Tapi tanggal 16 Mei itu Kosgoro -salah satu kino Golkar- telah meminta Presiden mundur. Harmoko ber-sama pimpinan DPR/MPR lain menemui Presiden di Jl Cendana dan memintanya mundur dengan perlahan sesuai dengan adat istiadat Jawa kuno.

18 Mei 1998: Ribuan mahasiswa mulai menduduki Gedung MPR mereka menuntut diadakan Sidang Istimewa MPR; dan akan bertahan di gedung itu, sampai Sidang Istimewa digelar. Sore harinya, Harmoko mengumumkan pimpinan DPR meminta Suharto mundur. Ia mengirim surat, agar Soeharto menjawab tuntutan mundur itu, paling lambat Jum'at 22 Mei 1998. Nurcholish Madjid juga bertemu Presiden dan menyarankan untuk mundur. Pernyataan Harmoko dimentahkan Pangab Wiranto, empat jam kemudian. 19 Mei 1998: Mahasiswa berbagai kampus terus berdatangan ke DPR. Jumlahnya mencapai sekitar 30.000 orang. 

Mahasiswa makin membanjiri DPR. Lebih dari 50.000 orang berkumpul di sana mendesak Soeharto mundur. Amien Rais, Emil Salim berpidato di depan mahasiswa, menolak resep Suharto. Mahasiswa membentuk Front Nasional untuk memperjuangkan reformasi. 21 Mei 1998: Suharto mundur dari jabatanya. Habibie dilantik jadi presiden. Semuanya berlangsung di Istana, bukan di MPR. Seolah-olah kedaulatan memang di tangan Suharto. Front Nasional menolak Habibie sebagai presiden. Mereka tetap bertahan di MPR. Sidang Istimewa perlu untuk meminta pertanggungjawaban Suharto. Ada banyak suara agar Soeharto diadili; dan hartanya dikembalikan kepada rakyat. 22 Mei 1998: Habibie mengumumkan susunan kabinet. Mayoritas anggotanya dari ICMI, tokoh HMI dan orang dekat Habibie. Nepotisme masih berlangsung, reformasi masih belum tuntas dan perjuangan belum selesai. 

3.5. Dugaan Pelanggaran HAM Selama Aksi

Kerusuhan besar terjadi terutama di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya. Banyak pelanggaran HAM berat yang dilakukan baik oleh aparat maupun masyarakat sipil itu sendiri yang tidak kunjung di usut hingga saat ini. Mengenai pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh aparat maupun pemerintah, banyak keluarga korban yang merasa kecewa dengan ketidaktegasan hukum dalam mengusut masalah ini. Banyak keluarga yang hingga kini tidak mengetahui keberadaan anaknya, atau ada juga keluarga lainnya yang masih merasa kehilangan anaknya yang meninggal saat kejadian pembrontakan. Seperti yang telah diketahui oleh masyarakat umum, Prabowo Subianto merupakan salah satu pelaku pelanggar HAM berat yang hingga kini masih berkiprah dalam dunia politik. Mungkin menurut pelaku pelanggaran HAM tersebut, yang mereka lakukan pada waktu itu benar dan memang dibutuhkan dalam suasana seperti itu. Tetapi jika dilihat dari konsep keamanan dan Hak Asasi Manusia, alasan tersebut tidak dapat diterima, terlebih alasan Presiden mempertahankan jabatannya tidak membawa perbaikan di Indonesia, malah justru sebaliknya. Namun kekacauan itu semua tidak sia-sia dan terbayar dengan terbukanya keran demokrasi yang telah kita rasakan saat ini. Siapa sangka rezim yang begitu kokoh dan dipagari oleh angkatan bersenjata dapat tumbang? Dimana ada keinginan yang terwujud, pasti ada sesuatu yang harus dikorbankan. Dan pengorbanan yang dilakukan oleh mahasiswa pada Mei 1998 tidak sia-sia.

Syarat untuk menjadi masyarakat sipil yang pertama adalah harus ada penurunan peran sosial-politik-militer, setelah itu harus ada penegakan HAM dan hukum yang tegas berlandaskan prinsip keadilan, dan yang ketiga adalah pemilu harus jujur, adil, tidak diskriminatif, tidak provokatif, dan tidak agitatif. Penurunan peran sosial-politik-militer dianggap penting karena sudah seharusnya militer bersifat netral dan tidak memiliki keberpihakan pada siapapun. Hal ini bertujuan agar militer bekerja sebagaimana fungsinya yaitu membela dan melindungi seluruh warga negara tanpa alasan kepentingan apapun. Karena ketika militer terjun ke dalam arena politik, maka tidak dapat dihindari bahwa netralitas yang seharusnya mereka milik menjadi redam. Kemudian penegakan HAM tidak kalah pentingnya dengan syarat sebelumnya, dimana harus ada pengusutan yang tuntas terhadap pelanggaran HAM pada masa lalu, sebagaimana kita ketahui pada masa pemerintahan Soeharto begitu banyak terjadi pelanggaran HAM, terbukti dengan banyaknya aktifis dan mahasiswa kritis yang menghilang setelah mereka menyuarakan pendapat mereka secara berani untuk mengkritisi keadaan pemerintahan. Pelanggaran HAM ini perlu diusut dan harus memberikan sanksi tegas kepada pelakunya untuk mengantisipasi pelanggaran HAM yang kemungkinan terjadi dimasa yang akan datang. Lalu yang terakhir adalah pemilu yang luberjurdil, syarat ini juga merupakan syarat penentu. Karena negara yang demokrasi harus memilih pemimpin dan wakil rakyat sesuai hati nurani mereka sendiri, tanpa adanya tekanan atau paksaan.

Usutan menganai pelanggaran HAM masa lalu hanya menjadi wacana hingga kini dan tidak ada sanksi yang tegas bagi para pelaku. Seolah-olah semua telah sepakat untuk bungkam dan menutup rapat-rapat masa kelam itu. Kemudian, yang terakhir mengenai pemilu, memang dapat diwujudkan di Indonesia. Pada pemilihan mantan presiden RI Megawati Soekarno Putri, rakyat dapat secara langsung memilih tidak seperti periode sebulum-sebelumnya. Namun meski demikian pertanyaannya adalah, sudah bersihkah pemilu yang demokratis itu? Kenyataannya belum, kita bisa melihat birokrasi di negara ini yang masih tidak netral. Bawahan harus ikut pandangan politik atasan, tentu dengan paksaan, dengan demikian belum ada netralitas di birokrasi. Hal ini telah terbawa dari masa pemerintahan Soeharto dan kini menjadi budaya dalam birokrasi Indonesia. Peninggalan Soeharto lainnya yang kini telah menjadi budaya dalam politik Indonesia adalah budaya Korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), yang hingga kini sangat sulit untuk diberantas.

4. Dampak Reformasi

Dampak negatif: 

1. Jumlah pengangguran meningkat;

2. Kebebasan tak bertanggung jawab (kebebasan berpendapat sering disalah artikan dan semakin tidak beretikat);

3. Sistem politik semrawut (biasanya salah paham mengenai DEMOKRASI);

4. BBM langka dan mahal;

5. Banyaknya demonstrasi yang mengganggu kenyamanan masyarakat;

6. Meningkatnya kerusuhan (kebanyakan di daerah akibat kesenjangan sosial yang terlalu tinggi dan hukum yang kurang ditegakkan. Rusuh antara pendukung parpol akibat fanatisme yang berlebihan);

7. Ekonomi tak stabil (hutang negara yang jatuh tempo dan harga minyak dunia yang semakin tinggi);

8. Meningkatnya kriminalitas (akibat meningkatnya kemiskinan dan pengangguran);

9. Tingginya korupsi (Indonesia adalah negara TERKORUP di ASIA);

10. Mahalnya harga sembako (diakibatkan harga BBM yang semakin tinggi dan mengakibatkan pula bertambahnya jumlah penduduk miskin).

Dampak positif: 

1. Bidang Politik

a) Menegakkan kembali demokrasi dengan dikeluarkannya UU No. 9 TAhun 1998 tentang kebebasan Berpendapat di Muka Umum, dan UU No. 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik;

b) Menciptakan Clean Government dengan dikeluarkannya TAP MPR No. IX / MPR / 1998 Tentang Penyelenggaraan Pemerintah yang Bersih dan Bebas Dari KKN, dan UU No. 12 Tahun 1999 Tentang kebolehan Pegawai Negeri Sipil berpartisipasi dalam partai poltik sebagai sarana menyampaikan aspirasinya.

Serta banyak dikeluarkannya beberapa TAP MPR, TAP MPR tersebut ada Ketetapan Baru, ketetapan yang mengubah dan menambah ketetapan lama, dan Ketetapan yang mencabut ketetapan MPR terdahulu.

2. Bidang Ekonomi

a) Optimalisasi fungsi dan kinerja BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) dengan memberikan sanksi yang tegas kepada bank-bank yang tidak mematuhi aturan perbankan nasional;

b) Mendorong terjadinya efisiensi di berbagai sector dengan mencabut puluhan kepres atau peraturan daerah yang dianggap hanya menguntungkan golongan tertentu.

3. Bidang Hukum

a) Rekruitmen personal penegak hukum yang professional dan penggantian aparat penegak hukum yang dianggap tidak professional;

b) Pemberdayaan lembaga kontrol seperti DPR, DPRD, dan LSM yang bertanggung jawab;

c) Penyempurnaan materi, saran, dan prasarana penegakan hukum;

d) Pembangunan budaya dan kesadaran hukum dikalangan masyarakat.

4. Bidang Ketatanegaraan

a) Mengembalikan kedudukan MPR;

b) Penataan kembali Lembaga Eksekutif (Presiden);

c) Pembentukan Mahkamah Konstitusi;

d) Penguatan Lembaga Eksaminatif;

e) Normalisasi Lembaga Yudikatif (MA)


DAFTAR PUSTAKA
Brata Trisnu Nugroho.2006. Prahara Reformasi Mei 1998.semarang:UPT UNNES Press,2006.

Ricklefs, M.C.2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008.Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. 


Post a Comment

Previous Post Next Post