INDONESIA KEMBALI KE BENTUK NEGARA KESATUAN


A. REAKSI RAKYAT TERHADAP RIS

Berdasarkan perjanjian KMB dan Konstitusi RIS, dibentuklah Negara Indonesia dengan system federal (serikat) dengan nama Republik Indonesia Serikat. RIS dalam waktu singkat mulai goyah, karena tidak didukung oleh rakyat. Sistem federal bagaimanapun juga oleh rakyat dianggap sebagai alat Belanda untuk memecah belah bangsa Indonesia. Dasar pembentukannya pun lemah dan tidak didukung oleh suatu ikatan ideologi yang kuat dan satu tujuan kenegaraan yang jelas, dan tanpa dukungan rakyat. Hanya dalam waktu enam minggu, RIS hasil KMB tidak diganggu gugat, sesudah itu maka suara-suara yang menghendaki kembali ke NKRI makin lama makin santer. Usaha untuk kembali kenegara kesatuan dilancarkan dimana-mana. Di berbagai daerah timbul gerakan rakyat menuntut pembubaran negara/daerah bagian dan penggabunganya dengan Republik Indonesia di Yogjakarta. Penggabungan daerah satu dengan daerah lain, atau negara bagian satu dengan negara bagian yang lain secara konstitusional dimungkinkan oleh pasal 43 dan 44 konstitusi RIS dengan ketentuan bahwa penggabungan itu dikehendaki oleh rakyatnya dan diatur dengan Undang-Undang Federal.
Banyak pengamat asing menganggap perubahan RIS ke NKRI tidak perlu tergesa-gesa, namun menurut Kahin, orang AS yang bersipati terhadap perjuangan Indonesia, kembalinya RIS ke NKRI adalah hal yang wajar dan sehat. Jika RIS dibiarkan hidup terus secara politis dan sosial-psikologis bisa menimbulkan keadaan yang tidak sehat. Rakyat Indonesia menilai bentuk federasi sebagai warisan penjajah yang dimaksudkan untuk mempertahankan pengaruhnya di Indonesia. Bahkan bentuk federasi adalah cara yang ditempuh Belanda untukmerintangi perjuangan kemerdekaan. Selain itu, mempertahankan RIS berarti mempertahankan posisi banyak orang Indonesia pro Belanda yang mementingkan dirinya sendiri dan tidak mendapat dukungan rakyat.

RIS pada awalnya terbentuk oleh suatu perundingan yang tidak mendapat dukungan rakyat, baik melalui partai-partai, organisasi sosial, maupuan alat-alat perjuangan lain seperti TNI dan Badan kelaskaran. Bentuk federasi hanya suaru strategi politik pmerintah untuk mencapai tujuan semula yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terbentuknya RIS pada awalnya merupakan tujuan sementara agar Indonesia segera diakui oleh bangsa-bangsa di dunia, khususnya Belanda. Dengan diakuinya Republik Indonesia Serikat oleh negara-negara lain maka perjuangan diplomasi selanjutnya akan semakin ringan. Perubahan dari RIS ke NKRI diyakini sebagai proses yang lebih mudah dan lebih banyak berkaitan dengan gejala internal bangsa. Oleh karena itu begitu Belanda dan negara-negara lain di dunia mengakui keberadaan RIS, di dalam negeri rakyat dan tokoh-tokoh yang pro kesatuan mulai bergerak untuk kembali ke negara kesatuan.

Negara Indonesia Serikat tidak berumur panjang, karena dalam pertengahan tahun 1950 Perdana Menteri Moch. Natsir mengusulkan kepada Parlemen supaya RIS dibubarkan saja dan kembali lagi menjadi NKRI.  Bentuk susunan federal (serikat) bukan bentuk yang berakar kepada kehendak rakyat, akibatnya di mana-mana timbul tuntutan-tuntutan untuk kembali dalam bentuk susunan kesatuan.  Gerakan ini terlihat sangatlah kuat, baik itu dalam masalah politik maupun sosial. Indonesia akan dalam keadaan buruk jika tidak ada gerakan tersebut. Bagi kebanyakan orang Indonesia, sistem federal dipandang sebagai alat pengawasan Belanda terhadap Indonesia. Kebanyakan bangsa Indonesia tidak puas terhadap sistem federal. Di lima belas negara bentukan Belanda, ketidak puasan itu diwujudkan dalam bentuk tuntutan-tuntutan massa yang serempak dan luas agar dihapuskannya federealisme dan dileburkanya daerah-daerah bagian itu, dan kemudian digabungkannya kembali dengan RI. 

Selain daripada itu keadaan-keadaan di daerah menjadi sukar pula untuk diperintah. Kewibawaan pemerintah Negara Federal menjadi semakin berkurang. Oleh karena itu akhirnya banyak negara bagian atau kesatuan-kesatuan negara lain menggabungkan diri dengan negara bagian RI. Mereka pun selalu menuntut agar RIS kembali ke NKRI.

B. PROSES KEMBALI KE NKRI

Program mempersatukan kembali, untuk itu ada dua alternatif. Pertama kita berperang dulu dengan semuanya. Dengan Negara Pasundan, dengan Negara Madura, Jawa Timur dan lain-lain. Mereka semuanya akan kalah dan kita menjadi satu. Alternatif kedua kita tidak berperang, kita ajak mereka membubarkan diri dengan maksud untuk bersatu. Di sini fungsi Sukarno Hatta untuk mempersatukan, memproklamasikan dan mempersatukan kembali.

Gerakan-gerakan menuju negara kesatuan jelas terlihat sangat kuat dan meyakinkan. Indonesia akan berada dalam keadaan buruk jika tidak ada gerakan tersebut. Bagi kebanyakan orang Indonesia, sistem federal dipandang sebagai alat pengawasan Belanda terhadap Indonesia. Di lima belas negara bagian yang diciptakan Belanda, ketidakpuasan itu diwujudkan dalam bentuk tuntutan-tuntutan massa yang serempak dan meluas agar dihapuskannya federalisme dan dileburnya negara-negara bagian itu yang didukung pula oleh Presiden Sukarno dan sejumlah pemimpin republik dalam pemerintahan RIS. 

Pada 19 Mei 1950 diadakan rapat pertama antara delegasi dari pemerintah RIS yang dipimpin PM Mohammad Hatta dengan delegasi pemerintahan RI yang dipimpin oleh PM dr A Halim di Jakarta. Pada rapat tersebut, tercapai persetujuan mengenai pembentukan suatu negara kesatuan yang tertuang dalam piagam persetujuan pemerintah RI dan RIS. 

Mengenai Parlemen, setelah DPR RIS dengan 147 anggota pada tanggal 16 Agustus 1950 diganti dengan DPR sementara dengan 236 anggota dari negara kesatuan, dan setelah untuk sementara badan ini diketuai oleh Dr. Rajiman Wediodiningrat sebagai anggota yang tertua usianya, maka pada tanggal 19 Agustus 1950 dipilih ketuanya dengan undian sampai dua kalinya untuk tokoh PNI Mr. Sartono.

Tambahan anggota terjadi dengan masuknya sebagai anggota DPRS dari 46 anggota Badan Pekerja KNIP, 30 dari Senat, 13 dari DPA. Dalam perubahan-perubahan Konstitusi RIS, disepakati perubahan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Sementara terdiri atas gabungan DPR-RIS dan Badan Pekerja KNIP dengan catatan bahwa penambahan anggota yang diangkat oleh presiden kedua pemerintah akan dipertimbangkan lebih jauh . Dalam pada itu perbedaan antara bekas non dan bekas co dari jaman penjajahan, demi persatuan dan pengerahan tenaga berangsur-angsur ditiadakan sesuai dengan anjuran Presiden di dalam pidatonya di muka DPR pada tanggal 17 Agustus 1950.

Konstitusi RIS menyimpang dari isi jiwa dan cita-cita bangsa Indonesia, oleh karena itu, lahirlah gerakan-gerakan yang bersifat unitaristis. Terdapat persetujuan antara dua pemerintah RIS dan RI, bahwa Undang-undang Dasar Negara Kesatuan diperoleh dengan mengubah Konstitusi Sementara RIS sedmeikian rupa sehingga esensi Undang-undang Dasar Republik Indonesia, antara lain pasal 27, pasal 29, dan pasal 33 ditambah dengan bagian-bagian yang baik dari Konstitusi Sementara RIS termasuk di dalamnya. Gerakan ini mempunyai dasar berpijak secara konstitusional ialah berdasar pasal 43 dan 44 Konstitusi RIS sendiri. Walaupun secara formal gerakan ini belum mendapat dukungan secara baik, baik dari pihak parlemen dan senat RIS, tetapi gerakan ini yang didorong oleh hasrat dan cita-cita persatuan sudah tidak dapat dikendalikan lagi, kemudian terjadilah penggabungan-penggabungan secara fisik kepada Republik Indonesia (yang beribukota di Yogyakarta). Maka dengan UU Darurat No. 11 Tahun 1950 beberapa negara bagian RIS bergabung dengan Republik Indonesia. Pada tanggal 9 Maret 1950 yang menggabungkan diri dengan Republik Indonesia adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, Madura, Padang, dan sekitarnya pada tanggal 11 Mei 1950, Pasundan pada tanggal 24 Mei 1950, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, Bangka, Belitung, Riau, Banjar, Dayak Besar, Kota Waringin, serta Kalimantan Tenggara menyusul , sehingga di dalam Negara RIS tinggal tiga negara bagian yang besar yaitu :

a. Negara bagian RI (Yogyakarta)

b. NIT (Negara Indonesia Timur)

c. NST (Negara Sumatera Timur)

Akhirnya NIT dan NST memutuskan memberi kuasa penuh kepada pemerintah pusat RIS untuk berunding atas nama mereka dengan negara bagian RI (Yogyakarta) tentang pembentukan negara kesatuan. Perundingan ini menghasilkan Piagam Persetujuan RIS-RI 19 Mei 1950. Untuk mengatasi keadaan yang demikian maka diadakan musyawarah antara pemerintah RI dengan pemerintah RIS, yang bertidak pula mewakili negara-negara bagian yang lain, yaitu NST dan NIT. Pada tanggal 19 Mei 1950 dicapai kesepakatan bahwa dalam waktu secepat-cepatnya untuk membentuk negara kesatuan sebagai jelmaan RI yang diproklamasikan 17 Agustus 1945.

Untuk melaksanakan persetujuan tersebut dibentuklah Panitia Bersama yang diketuai oleh Prof. Dr. Mr. Soepomo dari RIS dan Dr. Abdul Halim dari RI. Panitia ini akhirnya mengeluarkan Pernyataan Bersama pada 20 Juli 1950 yang menghasilkan rancangan UUD negara kesatuan. Hasil rancangan ini segera disampaikan pemerintah RIS kepada DPR dan Senat, serta pemerintah RI kepada KNIP untuk mendapatkan pengesahan (ratifikasi). Rencana UUD ini diterima baik oleh BP KNIP pada sidangnya 2 Agustus 1950, sedangkan oleh DPR dan Senat RIS di dalam sidangnya pada tanggal 14 Agustus 1950.

Kemudian dengan UU Federal No. 7 tahun 1950 (Lembaran Negara RIS No. 56 Tahun 1950), ditetapkanlah perubahan Konstitusi RIS menjadi UUD Sementara (UUDS 1950). UU No. 7 Tahun 1950 ini disahkan dan diumumkan di Jakarta pada 15 Agustus 1950. Hal tersebut diumumkan di muka sidang gabungan DPR RIS-Senat oleh Presiden RIS Sukarno yang menandatangani Piagam Pernyataan Terbentuknya Negara Kesatuan. Pada hari itu pula Presiden RIS menandatangani RUUDS yang kemudian dikenal sebagai Undang-undang Dasar Sementara RI 1950. UUDS tersebut ditandatangani PM RIS Muhammad Hatta dan Menteri Kehakiman RIS Mr Supomo. (Wahyudin,Qoiron,Udin,said,ardi Sumber: Dahana, dkk., 2012, Indonesia dalam Arus Sejarah, Jakarta, Ichtiar Baru, Halaman 23). Maka terbentuklah Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950 yang terdiri atas 10 propinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Kalimantan, Sumatera Tengah, Sumatera Selatan, Sulawesi, Maluku dan Sunda Kecil.



C. KABINET NKRI I

Tanggal 15 Agustus 1950, Perdana Menteri RIS Mohammad Hatta menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden RIS Sukarno. Demikian pula dengan Mr. Assaat Datuk Mudo –Pemangku Jabatan Presiden RI- yang menyerahkan mandatnya kepada Presiden RIS. Setelah itu, Presiden RIS Sukarno menyatakan pembubaran RIS dan pada 17 Agustus 1950, Sukarno mengumumkan terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Sejak 17 Agustus 1950 negara kita kembali berbentuk kesatuan dengan berdasar UUDS tahun 1950. Oleh karena itu pemerintahan RIS yang dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Hatta telah demisioner, termasuk kabinet-kabinet lain dari negara-negara bagian RIS. Perbedaannya kabinet RIS akan dilanjutkan oleh kabinet NKRI, sedangkan kabinet negara-negara bagian akan berhenti selama-lamanya. Hal ini karena dalam negara kesatuan tidak mengenal negara bagian, sehingga di daerah tidak ada dewan menteri, yang ada adalah pemerintah daerah yang dipimpin gubernur. 

Berdasar UUDS 1950, sistem pemerintahan Indonesia adalah pemerintahan parlementer, maksudnya setiap kabinet yang berkuasa harus mendapat dukungan mayoritas dalam parlemen (DPR Pusat). Apabila mayoritas di parlemen tidak mempercayai atau mendukung kabinet, maka kabinet mengembalikan mandat kepada Presiden, untuk kemudian dibentuk kabinet baru. Sebelum terbentuk kabinet baru, maka kabinet lama disebut kabinet demisioner atau kabinet krisis. Presiden hanya sebagai Kepala Negara, tidak mengepalai pemerintahan, sehingga hanya sebagai simbol. Tanggungjawab pemerintahan ada pada kabinet yang diketuai Perdana Menteri. Presiden tidak bisa atau tidak boleh bertindak menyimpang dari kebijakan kabinet. Dalam keadaan krisis kabinet, Presiden berwenang menunjuk seorang atau lebih formatur atau pembentuk kabinet. Formatur tidak harus menjadi menteri atau Perdana Menteri.

Untuk menyusun kabinet pertama di era kesatuan, Presiden Sukarno menunjuk Muhammad Natsir dari Masyumi sebagai formatur. Hal tersebut dilakukan pada 22 Agustus 1950, di mana saat itu Natsir adalah Ketua Pimpinan Masyumi. Namun demikian Muh. Natsir mengalami kesulitan selama menyusun kabinet karena banyaknya pertentangan antar partai, bahkan di dalam partainya sendiri pun terjadi perpecahan.

Masyumi sebenarnya pada saat itu terpecah menjadi dua kelompok yaitu Masyumi Sukiman yang pro kepada golongan nasionalisme, dan Masyumi Natsir yang pro terhadap PSI Sahrir. Kelompok Natsir adalah Mr. Muh. Rum, Mr. Syafrudin Prawiranegara, Prawoto Mangkusasmito.  Perpecahan di dalam partai Masyumi sebenarnya hanya berkaitan dengan strategi politik dalam menghadapi Belanda. Kelompok Sukiman lebih cenderung lunak (moderat) dalam diplomasinya untuk menyelesaikan masalah-masalah kenegaraan dengan Belanda, sehingga lebih cocok dengan garis politik PNI. Sedangkan Muh. Natsir cenderung menyelesaikan pertikaian dengan Belanda dengan cara radikal. Oleh karena Natsir kurang sependapat dengan kelompok nasionalis yang terwadahi dalam PNI, maka menteri-menteri yang ditunjuk pun tidak ada yang mewakili PNI. Setelah lima belas hari berkutat dengan tarik menarik kepentingan, maka selesailah Muh. Natsir menyusun kabinet. Dia sendiri berkedudukan sebagai Perdana Menteri. Kabinet ini diresmikan dengan keputusan Presiden No. 9 Tahun 1950 tanggal 6 September 1950.  Dengan selesainya penyusunan kabinet NKRI pertama, maka selesailah tugas kabinet RIS yang dipimpin oleh Perdana Menteri Moh. Hatta.

Partai-partai lain yang diikutsertakan dalam Kabinet Natsir adalah Persatuan Indonesia Raya (18 kursi), Partai Sosialis Indonesia (PSI) pimpinan Sutan Syahrir (16 kursi), Fraksi Demokrat (11 kursi), Partai Indonesia Raya (Parindra; 9 kursi), Partai Katholik (8 kursi), Partai Nasional Indonesia Merdeka (6 kursi), Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII; 5 kursi), dan Partai Kristen (4 kursi). 

Program Kabinet Natsir terdiri atas 5 pasal yang pokoknya sebagai berikut:

1. Menyelenggarakan pemilihan umum untuk Konstituante dalam waktu singkat;

2. Memajukan perekonomian, kesehatan, dan kesejahteraan rakyat;

3. Menyempurnakan organisasi pemerintahan dan militer

4. Memperjuangkan penyelesaian soal Irian Barat dalam tahun ini (1950);

5. Memulihkan keamanan dan ketertiban;


Adapun susunan Kabinet NKRI yang pertama sebagai berikut: 

Perdana Menteri : Muhammad Natsir (Masyumi)

Wakil Perdana Menteri : Sultan Hamengku Buwono IX (non partai)

Menteri Luar Negeri : Mr. Muh. Rum (Masyumi)

Menteri Dalam Negeri : Mr. Assaat (non partai)

Menteri Pertahanan : Dr. Abdul Halim (mantan PM RI)

Menteri Kehakiman : Mr. Wongsonegoro (PIR)

Menteri Penerangan : M.A. Pellaupesy (Demokrat)

Menteri Keuangan : Mr. Safrudin Prawiranegara (Masyumi)

Menteri Perdag & Industri : Dr. Sumitro Joyohadikusumo (PSI)

Mnteri Pertanian : Mr. Tandiono Menu (PSI)

Menteri Pengangkutan & Perhubungan : Ir. Juanda (non partai)

Menteri PP dan K : Prof. Dr. Baher Johanes (PIR)

Menteri Kesehatan : Dr. J. Leimena (Parkindo)

Menteri Perhubungan : R.P. Suroso (Parindra)

Menteri Agama : K.H.A. Wachid Hasyim (Masyumi)

Menteri Negara : Harsono Cokroaminoto (PSII)

Dari komposisi menterinya, umumnya terdiri dari orang-orang yang masuk group administrator. Namun demikian, banyak kritik terhadap kabinet Natsir, tidak hanya oleh PNI tetapi juga partai lainnya, termasuk dari Masyumi pengikut Sukiman, saingan Natsir. Natsir mengatakan bahwa kabinetnya merupakan kabinet peralihan atau kabinet kerja yang akan berakhir setelah diselenggarakannya pemilihan umum. Namun demikian, akhirnya diadakan pemungutan suara di parlemen, dengan hasil 118 mendukung dan 73 menentang kabinet Natsir.

Selama Kabinet Natsir bekerja, banyak timbul masalah dan pertentangan antar partai yang sering terjadi, sehingga kerja kabinet menjadi terganggu. Beberapa masalah itu antara lain tentang perjuangan pembebasan Irian Barat. Perjuangan itu makin sulit, selain melibatkan pihak Belanda, juga ketidaksepakatan tentang proses perjuangan di antara partai politik. Bahkan pemihakan Bung Karno terhadap golongan oposisi menambah pertentangan antara kabinet dengan partai oposisi semakin tajam.

Akhirnya Kabinet Natsir mengembalikan mandatnya kepada Presiden Sukarno pada 21 Maret 1951. Jatuhnya kabinet Natsir disebabkan adanya pertentangan pelaksanaan Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 1950 yang berlaku di negara bagian. Menurut Peraturan Pemerintah tersebut bahwa DPRD tidak dipilih melalui pemilihan umum yang langsung, melainkan melalui badan pemilih yang beranggotakan organisasi massa atau kemasyarakat, seperti partai politik, serikat buruh, serikat petani, perkumpulan wanita, pemuda, ulama, dan perkumpulan sosial lainnya. Untuk DPRD Kabupaten/kotamadya, anggoya akan dipilih oleh badan pemilih yang beranggotakan utusan organisasi massa yang ada di kecamatan-kecamatan. Sementara itu, DPRD provinsi akan dipilih oleh badan pemilih yang beranggotakan dari utusan organisasi massa yang ada di kabupaten/kotamadya. Organisasi massa yang berhak mengirimkan utusan adalah yang memiliki cabang paling sedikit di 3 kabupaten di satu provinsi dan mulai aktif sejak 30 Juni 1950. Apabila Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 1950 diterapkan, maka akan menguntungkan Partai Masyumi (mempunyai struktur dari pusat sampai daerah), sementara partai lain termasuk pendukung kabinet akan mengalami kesulitan. Mayoritas anggota parlemen mendukung pencabutan PP tersebut, dan menarik menterinya dari kabinet, seperti Wongsonegoro dari Persatuan Indonesia Raya, dan Harsono Cokroaminoto dari PSII. Merasa tidak mendapat dukungan dari parlemen, maka Natsir mengembalikan mandat kepada Presiden.




Daftar Pustaka

Akhmaddani G Martha, dkk. Tt. 2011.  Pemuda Indonesia Dalam Dimensi Sejarah Perjuangan Bangsa. Jakarta: Kantor Menteri Pemuda dan Olahraga.

Suprapto, Bibit.1985.  Perkembangan Kabinet dan Sistem Pemerintahan di Indonesia. Malang: Ghalia Indonesia.

Joeniarto.2001. Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.

Kartodirjo, Sartono dkk.1977.  Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Depdikbud Balai Pustaka.

Post a Comment

Previous Post Next Post