NATSIR DAN DINAMIKA PARTAI ISLAM DI PENTAS NASIONAL

Natsir yang bisa dikatakan sebagai seseorang yang religius dalam agamanya yaitu agama Islam. Pandang dia tentang Islam, baginya hubungan dengan Allah SWT dalam ibadah segala sesuatu yang tidak diperintahkan tidak boleh dilakukan. Sedangkan hubungan antar manusia menyangkut pesoalan dunia, mencakup dua segi. Pertama perintah Tuhan yang pelaksanaannya disesuikan dengan perkembangan pemikiran dan penilaian manusia. Yang kedua, ketidak jelasan ketentuan dari Allah dan dalam hal ini diijinkan kecuali yang dilarang, dan dalam pelaksanaanya tentu dengan memperhatikan batasan-batasan yang ditetapkan. 

Mengenai negara, menurut natsir Nabi tidak memerintahkan untuk mendirikan sebuah negera melain kan beiau menyuruh untuk menyelenggarakan pemerintahan yang kuat dan sejahtera sesuai dengan kaidah-kaidah Islam. Negara bagi Natsir bukan sebuah tujuan melainka sebuah alat. Baginya tidak hanya menciptakan sebuah negara Islam saja, tetapi kemakmuran dan keadilan bagi rakyat yang terpenting.Selain tentang negara, natsir juga mengemukakan tentang kepala negara. Baginya gelar atau jabatan tidaklah terlalu penting, baginya sifat dan perbuatan dari tiap individu ketika diberi amanah besar itu lah yang penting. Kepala negara harus bisa bermusyawarah dengan rakyatnya mengenai masalah-masalah yang dihadapi bersama.

Pemerintahan bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyatnya, maka setelah pemerintahan ini melaksanakanya maka pemerintah berhak akan ketaatan rakyatnya. Dalam hal ini pula rakyat berhak mengkoreksi sistem pemerintahan dan dalam hal ini apabila terjadi pelanggaran dalam pemerintahan maka rakyat berhak mengingkari ketaatan tersebut. 

Islam menghormati toleransi, terutama toleransi dalam beragama. Bagi Natsir, meniru sistem yang dipergunakan oleh bukan muslim diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Ia mengemukakan “pada hakikatnya tidaklah ada satu pun dalam ajaran dan paham Islam, sesuatu yang menentang hukum susila atau inti dari agama mana pun”. 

Mengenai golongan-golongan fanatik dalam kalangan Islam, itu hanyalah masalah waktu saja. Dimana pemberontakan-pemberontakan tersebut dilakukan ketika adanya penyelewengan dan ketidak sukaan terhadap kekuasaan. Sehingga didalam kubu pemerintahan pastilah ketika ada suatu pemberontakan yang bisa membuat ketidak stabilan dalam pemerintahan maka pemerintah tidak akan bersikap lembut. 

Pendapat Natsir terhadapap pancasila dianggapnya sebagai dasar ruhani, ahlak, dan asusila oleh negara Indonesia. penamaan “negara nasionalis” atau “negara Islam” hanya akan membuat kekusutan pikiran saja. Menurutnya tafsiran yang terkandung dalam sila pancasila tidak berlawanan dengan ajaran Islam. Namun Natsir menolak Pancasila dijadikan dasar negara dan pemersatu bangsa. Karna belum tentu partai-partai komunis dapat menerima sila pertama. 

Kabinet Natsir 

Sebelum terbentunya kabinet Natsir, pada masa kabinet Hatta peran partai Masyumi dan PNI lebih mendominasi. Sehingga setelah berakhirnya kabinet Hatta diharapakan akan terbentuknya kabinet koalisi. Pada tanggal 20 Agustus ditunjuklah Natsir dari partai Masyumi sebagai formatir dibantu Syafruddin Prawinegara untuk membentuk sebuah kabinet baru. Banyak pihak mengandalakan Natsir agar membentuk kabinet dari berbagai partai. Namun hal ini mendapat kesulitan ketika berhadapan dengan PNI.

Perebutan kursi terjadi antara Masyumi dan PNI, PNI menghendaki agar disediakan 3 kursi untuk partainya yaitu Menteri Pendidikan, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Dalam Negeri. Dalam perundingan PNI merelakan kursi menteri luar negri dipegang dari Masyumi dan menteri pendidikan diambil partai lain. Namun PNI tidak setuju ketika menteri dalam negri juga dipegang dari Masyumi, karna baginya masyumi juga mendapat kursi perdana menteri juga mendapat kursi menteri dalam negri juga.

Dua kali Natsir mengembalikan mandatnya sebagai formatir, namun ditolak oleh Presiden, Presiden mendesak agar dia tetap berusaha untuk mendapat dukungan dari berbagi partai. Baginya kegagalan dalam pembentukan kabinet harusnya bisa dites didalam parlemen misalnya dengan penolakan progam yang dibuatnya. Akhirnya pada tanggal 6 September 1950 terbentuk kabiner Natsir tanpa melibatkan PNI didalamnya. Sehingga kabinet ini tidak bisa dibilang sebagai kabinet koalisi seperti yang diharapkan dari pertama melainkan zeken kabinet.

Beberapa hal tentang pembentukan kabinet Natsir, pertama kedudukan pimpinan partai diluar parlemen lebih kuat dibanding dengan yang didalam parlemen. Kedua ketergantungan kabinet hanya pada formatir tidak pada apa yang diperlukan oleh negara, terbuktinya dengan gagalnya terbentuk kabinet koalisi dan lebih menjadi zeken kabinet. Ketiga terjadi kabinet “dagang sapi” dengan sifat tawar-menawar, yang dimaksud disini adalah orang yang ditunjuk sebagai menteri kebanyakan belum siap, kurangnya pehaman terhadap bidang yang akan dijabatnya, sehingga hal ini membuat memperpanjang pembentukan kabinet. Keempat, presiden dan tentara ikut campur dalam pembentukan kabinet, yaitu ketika pihak militer meminta kepada Natsir untuk menggantikan menteri pertahanan lewat surat dari Hamengkubuwono.

Masalah yang timbul pada masa kabinet Natsir ini dimulai ketika ada mosi dari Hadikusumo dari PNI. Ia mengemumukan agar PP No. 39 tahun 1950 tentang pemiihan anggota-anggota lembaga perwakilan daerah dicabut. Atas dasar mosi tersebut, parlemen mengadakan pemungutan suara dan suara terbanyak adalah menduung mosi Hadikusumo. Hal ini membuat menteri dalam negri Assaat yang tidak setuju akan mosi tersebut mengundurkan diri akan tetapi pengunduran diri tersebut ditolek oleh Natsir.

Sebenarnya Natsir dan beberapa partai tidak menyetujui dengan dibubarkannya PP tersebut. Natsir bisa saja melakukan beberapa jalan perombakan terhadap PP tersebut sehingga tak harus dibubarkan. Dalam perombakan ini Natsir akan mengajak PNI masuk kedalam kabinet dan membantuk merombak PP tersebut. Namun hal ini akan sulit terjadi karena PNI jelas memilih pembubaran PP bukan pemrombakan.

Selain didalam kubu parlemen, pertentangan juga terjadi dalam kubu Masyumi sendiri. Pendapat Jusuf Wibisono selaku ketua umum Masyumi mengemukakan Natsir perlu mengembalikan mandatnya karean mosi Hadikusumo, kegagalan masalah Irian Barat dan pendapatnya tentang orang-orang non partai harusnya tidak masuk dalam kabinet. Hal ini ditentang Syafruddin, baginya orang-orang non partai bisa saja lebih cakap pemahaman teantang pemerintahan dibanding dengan orang-orang partai. 

Masalah ini pecah pada tanggal 20 Maret 1951 dengan pengunduran diri menteri-menteri PIR dari kabinet. Dengan sebelumnya pada bulan desember 1950 PSSI telah menarik wakilnya dalam kabinet yaitu Harsono dengan alasan tidak setuju dengan progsm kabinet. Mosi Hadikusumo itu sendiri dianggap oleh Natsir sebagai mosi tidak percaya terhadap progam kabinet. Sehingga pada tanggal 21 Maret 1951, Natsir menyerahkan mandatnya kepada Presiden.

Daftar Pustaka
Noer, Deliar.2000. Partai Islam di Pentas Nasional. Bandung: Mizan Khasanah Ilmu-Ilmu Islam

Direpot oleh: Ninit Indah Sari

Post a Comment

Previous Post Next Post