TERCAPAINYA KONSENSUS NASIONAL TAHUN 1966-1969

Dalam pemiihan umum 1955 Partai Konumis Indonesia (PKI) memperoleh kemenangan yang cukup berarti. PKI merupakan salah satu dari empat partai besar lain yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), dan Nahdatul Ulama (NU).

Cita-cita PKI adalah menciptakan system demokrasi rakyat dan mewujudkan masyarakat sosialis dan masyarakat komunis yang sebenarnya tidak sesuai dengan tata pergaulan masyarakat Indonesia dan berlawanan dengan Pancasila. Pertama-tama PKI menanamkan pengaruhnya dipelbagai bidang kehidupan negara.

Di bidang ideology bakan mereka berusaha mengganti sila pertama dari Pancasila yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa” dengan “Kemerdekaan Beragama”. Tahun 1950 an PKI semakin memperbesar pengaruhnya dan di beberapa daerah timbul pergolakan yang mengancam persatuan bagsa. Oleh karena itu Presiden melontarkan sebuah konsepsi yang disampaikan tanggal 21 Februari 1957 dalam pidato Menyelamatkan Republik Proklamasi dan mengisyaratkan dilaksanakannya Demokrasi Terpimpin dan dalam pelaksanaannya dirasa perlu membentuk kabinet Gotong Royong dan Dewan Nasional. Presiden Sukarno menghendaki orang-orang PKI duduk dalam kabinet gotong royong dan dalam dewan tersebut. PKI sangat mendukung hal itu karena sangat menguntungkan pihak PKI. 

Konstituante hasil pemilu 1955 tidak berhasil menyusun undang-undang dasar baru sebagai pengganti Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) karena adanya perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat tersebut sudah terang akan mendatangkan akibat yang negative bagi masyarakat. untuk menghindari hal buruk itu maka Tentara Nasional Indonesia (TNI) menyarankan kepada presiden agar memberlakukan kembali UUD ’45 karena diangap dapat mengatasi kericuhan yang terjdi dalam negara masa itu. Maka Presiden Sukarno pada tanggal 5 Juli 1959 mengumumkan Dekrit Presiden yang menyatakan kembali pada UUD’45. Namun dalam pelaksanaannya UUD’45 tidak dijalankan sebagaimana mestinya. 

Dalam suasana kembali ke UUD’45 Presiden Sukarno mempertegas kembali konsepsinya dalam pidatonya Penemuan Kembali Revolusi Kita17 Agustus 1959. Pidato itu diserahkan kepad Dewan Pertimbangan Agung (DPA) untuk dirumuskan menjadi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Yang memimpin panitia itu ialah D.N Aidit, Ketua CC PKI. kesempatan itu dimanfaatkan oleh Aidit untuk memasukkan program-program PKI ke dalam GBHN yang diberi judul Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol).

Keuntungan selanjutnya bagi PKI adalah ketika pertengahan tahun 1960, yakni pada saat presiden Sukarno mulai mengadakan pembaharuan struktur pemerintahan menurut ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam manipol. Sesuai dengan program umum Manipol maka dibentuklah Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), DPA, dan Front Nasional (FN). Dalam badan-badan baru itu PKI duduk sebagai anggota. Dalam berbagai kesempatan Presiden Sukarno memberi angin kepada PKI. 

Pertengan tahun 1960 PKI mencoba kekuatannya menghadapi TNI-AD dengan cara melancarkan kritik yang keras menuduh TNI-AD tidak bersungguh-sungguh dalam menumpas Pemberontakan PRRI/Permesta, bersamaan dengan itu PKI melancarkan pemberontakan di tiga wilayah yaitu (Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan). Dikenal dengan “Peristiwa Tiga Selatan”.

TNI-AD sangat tersinggung dengan kritikan tersebut dan dibalaslah oleh TNI-AD membekukan kegiatan PKI sesuai dengan UNDANG-Undang Keadaan Bahaya yang saat itu sedang berlaku. TNI-AD memerintah untuk menangkap dan memeriksa para pimpinan PKI dan melarang mass-media PKI terbit dan beredar. TNI-AD juga mengatakan pada Presiden untuk tidak percaya pada PKI. namun tidak diindahkan, malahkan mengingatkan TNI-AD supaya tidak fobi terhadap PKI.

Setelah program PKI menjadi bagian dari program pemerintah, PKI merasa semakin kuat. Kini PKI melakukan ofensif manipolis kemudian meningkat menjadi ofensif revolusioner terhadap semua kekuatan social politik yang tidak mereka senangi. PKI juga merangkul golongan lain agar menjadi kawan.

Tahun 1959 kelaur Penetapan Presiden No.7 tentang “Syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian”. Semua partai politik harus berasaskan Pancasila. Sekadar untuk menegakkan eksistensinya PKI menerima UUD 45 dan Pancasila. Namun lebih lanjut PKI mensejajarkan pendapatnya dengan Presiden mengenai Pancasila bahwa Pancasila hanyalah alat pemersatu. Tahun 1964 PKI melakukan ofensif terhadap tokoh-tokoh politik dan kekuatan- kekuatan politik yang dianggap menjadi lawannya. Secara sistematis PKI melancarkan tuduhan kontra-revolusi, anti pancasila, anti-manipol, anti pemimpin besar revolusi terhadap lawan-lawan politik mereka. Dalam aksi tersebut PKI mendapatkan perlindungan dari Presiden Sukarno.

Akibat dari adanya perlindungan Sukarno PKI merasa sangat kuat dan membuat badan atau partai yang menghalanginya dibuabarkan secara perlahan seperti Badan Pembela Sukarnoisme (BPS) yaitu badan yang pembentukannya disponsori oleh kelompok anti-PKI dan sangat gigih menentang aksi-aksi PKI. Selanjunya Partai Murba yang juga dibekukan pada ttanggal 5 Januari 1965.

Kaum komunis selalu berusaha menguasai Angkatan Perang, sebab dengan cara demikian mereka akan dapat merebut kekuasaan negara. Saat itu Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin menyusun konsepsi untuk membentuk Tentara Nasional Indonesia (TNI), namun ditolak oleh Jenderal Soedirman. Tahun 1947 pemerintah mengeluarkan keputusan tentang penggabungan lascar-laskar ke dalam TNI. Penggabungan lascar ke dalam TNI sangat merugikan kaum komunis. PKI menghimpun kekuatan sebnayak-banyaknya yaitu dengan cara menarik pasukan-pasukan mereka yang sudah ada dalam jajaran TNI. Bulan Agustus 1947 Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin membentuk sebuah wadah yang disebut TNI-Masyarakat. selain itu juga mengumpulkan bekas anggota Marine Keamanan Rakyat (MKR) Surabaya pimpinan Atmaji kedalam Direktorat Jenderal Angkatan Laut. Namun usaha PKI untk menempatkan TNI dibawah kekuasaan mereka dalam Perang Kemerdekaan digagalkan oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman dan Kepala Stafnya Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo. 

Kecemburuan PKI terhadap TNI semakin meruncing. Hal itu terjadi pula waktu pemerintah menasionalisasi semua perusahaan milik Belandadalam rangka pembebasan Irian Barat. PKI ingin menempatkan orang-orangnya dalam perusahaan terbut namun PKI tidak diberi kesempatan sedikitpun bahkan TNI mengawasi dengan ketat proses Nasionalisasi perusahaan-perusahaan tersebut. setelah pembentukan DPRGR PKI kalah kuat dnegan ABRI karena wakil ABRI 35 orang sedangkan PKI 30 orang. Sehingga untuk menjaga perimbangan kekuatan, Presiden melakukan reorganisasi dan integrasi dalam tubuh ABRI. Hal ini memudahkan Presiden jika ingin merangkul salah satu Angkatan ke pihaknya untuk mendukung politiknya. Hal ini menimbulkan persaingan dan rasa curiga antar Angkatan.hal ini digunakan oleh PKI untuk mengadu domba antar Angkatan ABRI. Akibatnya banyak terjadi kericuhan di tubuh ABRI. Oleh karena itu Angkatan Darat kemudian menyusun doktrin perjuangan. Pimpinan TNI juga memntapkan anggotanya agar selalu waspada dengan PKI dan tidak ragu-ragu menghadapi PKI. Dengan sekuat tenaga TNI-AD berusaha mencegah berkembangnya pengaruh PKI. lebih-lebih jika menyangkut masalah pertahanan-keamanan.

Sikap pimpina TNI-AD yang tegas menolak setiap ofensif revolusioner PKI, dinilai oleh pimpinan PKI sebagai sikap kepala batu. Akhirnya PKI melancarkan pemberontakan yang dkenal dengan nama Gerakan Tiga puluh September (G30S/PKI).mereka menculik kemudian membnuh beberapa orang pejabat teras TNI-AD. Namun dalam waktu singkat dapat ditumpas oleh ABRI bersama-sama rakyat yang tetap setia kepada Pancasila. Dengan menyebarkan isyu yang memburuk-burukkan pimpinan TNI-AD, PKI berharap rakyat akan membenci TNI-AD dan menyokong PKI. pemberontakan ini ada hubungannya dengan sakitnya Presiden Sukarno karena selama ini Presiden Sukarno lah sangat melindungi PKI. hai ini sangat dianggap serius oleh PKI.


MENCAPAI KONSENSUS NASIONAL

Benih-benih kelahiran Orde Baru sudah ada pada waktu ABRI bersama-sama Rakyat-rakyat Pancasilais menumpas pemberontakan G30/ S PKI. Dalam upaya menegakkan kembali pemurnian Pancasila dan UUD 45, beberapa partai politik dan organisasi massa menandatangani piagam pembentukan Front Pancasila. Partai dan organisasi itu adalah NU, PSII, Parkindo, Partai Katholik, IPKI, Perti, Muhammadiyah, Soksi, dan Gasbiindo. Bersama dengan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), front Pancasila muncul sebagai pendukung Orde Baru dan mempelopori tuntutan yang lebih luas yang menyangkut penataan kembali kehidupan kenegaraan sesuai dengan Pancasila dan UUD 45.

Tema pokok perjuangan Orde Baru ialah melaksanakan Pancasila dan UUD 45 secara murni dan konsekuen. Landasan perjuangan Orde Baru adalah landasan ideology, landasan ketatanegaraan dan sikap mental. Yang menjadi landasan landasan ideology ialah pancasila dan landasan ketatanegaraan ialah UUD 45. Sikap mental menjadi landasan perjuangan Orde Baru ialah kemurnian pengabdian kepada kepentingan rakyat banyak.

Berbagai dikusi , seminar dan pembahasan telah dilakukan dalam masa awal Orde Baru mengenai cara-cara memperbaiki kehidupan kenegaraan. Bulan Mei 1966 diadakan Simposium yang berjudul “Simposium Kebangkitan Semangat 66 Menjelajah Trace Baru”. Dibahas tentang berbagai permasalahan yang meliputi bidang politik dalam negeri, luar negeri, ekonomi, dan social-budaya. Juga diajukan saran-saran kepada Pemerintah untuk menegakkan kembali kewibawaan negara Republic Indonesia sebagai negara hokum. Selain itu juga mengusulkan agar diadakannya jaminan yang cukup terhadap hak-hak asasi manusia dalam menciptakan dan menegakkan hokum.

Seminar II Angkatan Darat menyebutkan bahwa Orde Baru pada hakekatnya adalah suatu tantangan, sedangkan tujuannya ialah menciptakan kehidupan social, politik, ekonomi, cultural yang menjiwai oleh moral Pancasila, khususnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Konsep yang dirumuskan dalam seminar ke II Angkatan Darat dipakai sebagai landasan kerja pemerintah Orde Baru. Menegakkan dan melaksanakan Demokrasi Pancasila.

Konsensus Utama

Kesepakatan masyarakat secara keseluruhan untuk kembali pada pelaksanaan secara murni dan konsekuen Pancasila dan UUD 45. Kesepakatan itu disebut dengan Konsensus Nasional. Sebenarnya ada dua macam Konsensus Nasional. Pertama, ialah kebulata tekad masyarakat dan pemerintah untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 45 secara murni dan konsekuen. Kedua, consensus mengenai cara-cara melaksankan konsensus utama. Konsensus kedua tercapai antara partai-partai politik dan pemerintah. Banyak sekali pendapat yang memperdebatkan tentang kelahiran Konsensus Nasional. Namun yang pasti, Konsensus Nasional itu pernah ada dan hal itu diakui oleh berbagai pihak serta tokoh-tokoh politik, organisasi massa, dan ABRI yang terlibat dalam proses terjadinya Konsensus tersebut. isinya pun jelas yaitu melaksanakan Pancasila dan UD 45 secara murni dan konsekuen.

Konsensus Mengenai Cara Melaksanakan Konsensus Utama 

Pembicaraan-pebicaraan yang menghasilkan Konsensus ini melewati waktu selama 3 tahun. Dimulai dari bulan November 1966, pada waktu pemerintah menyampaikan tiga rancangan undang-undang kepada DPRGR, dan baru berakhir setelah DPRGR mensahkan UU No. 15 dan UU No. 16 dalam bulan Desember 1969. Untuk membahas ketiga RUU tersebut, tanggal 30 Januari 1967 DPRGR membentuk sebuah panitia yang dsebut Panitia Khusus.

Pertama-tama yang dibahas adalah tentang kepartaian, keormasan, dan kekaryaan. Pemerintah meminta agar tiap-tiap partai mencantumkan Pancasila sebagai asas partainya. Pada saat itu kekuatan social politik terpusat pada tiga pool kekuatan yaitu ABRI, Front Pancasila dan Angkatan Muda yang tergabung dalam satuan-satuan aksi. Selain itu jga membahas tetang pemilihan umum dimana pemerintahan menginginkan agar rakyat memilih langsung wakil-wakilnya mereka di daerah masing-masing yang betul-betul mereka kenal.

Sementara itu pemegang Surat Perintah 11 Maret, Jenderal Suharto, denga iktikat baik untuk menjamin suksesnya mission Orde Baru, berkali-kali mengadakan konsultasi dengan partai politik. Dalam konsultasi itu Jenderal Soeharto antara lain meminta kepada partai-partai politik supaya jumlah anggota DPR jangan terlalu banyak. Akhirnya diadakan pertemuan konsultasi antara presiden dan pimpinan parpol serta sekber Golkar. Partai yang berkonsultasi antara lain NU, PNI DAN Parkindo. Selain itu juga Partai Katolik, Murba, PSII. Setelah semua fraksi dikumpulkan mereka sepakat untuk segera menyelesaikan penggarapan RUU tentang susunan MPR, DPR, dan DPRD.

Daftar Pustaka

Notosusanto, Susanto, dkk.1995. Tercapainya Konsensus Nasional 1966-1969. Jakarta: Balai Pustaka
oleh Eka Martiningrum

Post a Comment

Previous Post Next Post