1. Profil Kepulauan
Senkoku/Diaoyu
Kepulauan
Senkaku atau Diayou memiliki luas 7 km2 terletak di Laut China Timur. Berada disebelah
Timur Republik Rakyat China, sebelah selatan Jepang dan sebelah utara Taiwan. Kepulauan
ini terdiri dari lima pulau besar (Diaoyu Dao / Uotsuri Jima, Chiwei Yu /
Taisho Jima, Huangwei Yu / Kuba Jima, Bei Xiaodao / Kita Kojima dan Nan Xiaodao
/ Minami Kojima) dan tiga karang (Bei Yan / Kitaiwa, Nan Yan / Minamiiwa dan
Fei Jiao Yan / Tobise).
Wilayah
gugusan kepulauan Senkaku memang terkenal dengan wilayah yang sangat kaya akan
ikan dengan kualitas tinggi, terlebih pada tahun 1968 wilayah ini ditengarai
memiliki cadangan minyak bumi. Dari segi lokasi, kepulauan ini berada di lokasi
yang sangat strategis karena sangat dekat dengan jalur kapal pengiriman barang
di Laut Cina Timur.
Nama
Kepulauan Senkaku atau kepulauan Diaoyu sudah tercatat dalam literatur China
semanjak abad ke 15, saat itu nama kepulauan ini adalah Daiyou dalam bahasa
China. atau Uotsuri dalam bahasa Jepang yang sama-sama memiliki arti
"memancing".
Klaim
formal wilayah ini oleh Jepang dilakukan pada 14 Januari 1895. Saat itu terjadi
perang antara Kerajaan Meiji Jepang dengan Dinasti Ming tahun 1894-1895. Pada
akhir perang tersebut Taiwan juga masuk kedalam kekuasaan Jepang masa itu.
Wilayah
ini berada dalam kekuasaan Jepang hingga akhir Perang Dunia kedua, dimana
Jepang harus melepaskan semua wilayah yang didudukinya semenjak perang dunia
pertama termasuk Taiwan, Kepulauan Penghu (Pescadores) dan Korea seperti yang
tercantum Pada Deklarasi Kairo (1943).
Pada
1952 kepulauan Ryukyu (Okinawa) berada di bawah kekuasaan Amerika Serikat
menurut Perjanjian San Fransisco. Tahun 1971, wilayah Kepulauan Ryukyu dipindah
tangankan ke Jepang, akan tetapi wilayah Okinawa tetap menjadi basis militer
terbesar Amerika di Jepang. Pada perjanjian-perjanjian setelah perang dunia
kedua, nama Kepulauan Senkaku tidak disebutkan sama sekali kecuali di revisi
perjanjian pemindah kekuasaan kepulauan Ryukyu dan sekitarnya ke Jepang pada
1972.
2.
Latar Belakang Perselisihan
Di samping
faktor historis yang menjadi latar belakang rusaknya hubungan China dengan
Jepang, masalah perebutan Kepulauan Senkaku menjadi masalah yang masih
berlangsung sampai dengan saat ini. China dan Jepang saling mengklaim bahwa
Kepulauan Senkaku ialah milik mereka. Kondisi kepulauan Senkaku yang setelah
diteliti memiliki banyak sumber daya aam terutama minyak, semakin menambah
semangat kedua negara untuk memperjuangkan kepemilikan kepulauan tersebut.
Hingga
sekarang sudah banyak peristiwa yang menggambarkan ketegangan antara China
dengan Jepang akibat Kepulauan Senkaku ini, seperti halnya pada tahun 1996
ketika Jepang membangun mercusuar pengganti di salah satu pulau dari Kepulauan
Senkaku. Hal ini jelas membuat geram Cina. Pada 1997, di Laut Cina Timur
terjadi baku hantam antara penjaga pantai Jepang dengan para demonstran dari
Hongkong yang membawa dua puluh kapal berupaya untuk mencapai kepulauan
Senkaku. Demonstrasi yang dilakukan terhadap pengklaiman Kepulauan Senkaku
tidak hanya terjadi pada tahun 1997-an tetapi terjadi juga pada awal 2000
sampai dengan sekarang. Koreshige Anami, Duta Besar Jepang, pada 5 Januari
2004, menyatakan bahwa Pemerintah Jepang telah menegaskan akan kepemilikan
kepulauan Senkaku. Kepulauan Senkaku adalah bagian dari wilayah teritorial
Jepang dan klaim Cina atas wilayah tersebut dianggap tidak berdasar. Pada Maret
2004 beberapa aktivis China menancapkan bendera China di Kepulauan Senkaku,
atas perbuatannya, beberapa aktivis ini ditangkap dan ditahan oleh tentara
Jepang.
3.
Faktor Perselisihan
Pertama,
perbedaan paham garis perbatasan laut di Laut China Timur (the East China Sea)
antara Jepang dan China hingga kini belum dicapai kesepakatan bersama. Walau
keduanya sama-sama meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982,
tetapi mereka membangun pemahaman sendiri yang belum tuntas dibicarakan. Jepang
mengusulkan pembagian wilayah berdasar garis tengah di zona ekonomi eksklusifnya
(berjarak 200 mil dari garis dasar/baseline), sedangkan China mengacu pada
kelanjutan alamiah dari landas kontinennya (berjarak di luar 200 mil).
Mengenai
paham garis tengah ala Jepang memang tidak sesuai dengan isi konvensi. Sebab,
jika sudah berkait dengan hal kedaulatan (sovereignty), keputusan yang bersifat
sepihak tak punya basis legal. Pakar hukum laut dari China, Ji Guoxing,
menegaskan bahwa pengambilan garis tengah untuk pengukuran ZEE dan landasan
kontinental seharusnya didasarkan pada sebuah perjanjian antarkedua pihak agar
tercapai solusi adil. Selanjutnya, pengukuran wilayah berdasarkan garis tengah
hanya sebuah cara pengukuran, bukan sebuah prinsip dari hukum internasional
kebiasaan dalam delimitasi.
Sementara
pakar dari Jepang melihat, garis tengah yang dipahami Jepang hanya bersifat
sementara (Seoung-Yong Hong, 2009, Maritime Boundary Disputes, Settlement
Processes, and the Law of the Sea). Di bawah kondisi sementara ini, joint
development bisa dibangun hingga kedua negara mencapai kesepakatan membuat
garis perbatasan bersama (a common line). Karena itu, Jepang mengusulkan joint
development berkelanjutan di garis tengah yang dipahaminya.
Kedua,
perbedaan persepsi sejarah kepemilikan Senkaku (Diaoyu dalam bahasa China) di
setiap pihak bermuara pada klaim berbeda. China yakin kepemilikan atas Senkaku
sejak Dinasti Ming (1368-1644), di mana namanya sudah tercantum di sebuah buku
berjudul Departure Along the Wind (terbit 1403). Selain itu, kepulauan ini
beserta pulau-pulau kecil yang mengitari kerap kali disebutkan dalam lingkup
pertahanan maritim China saat itu.
Lagi
pula, Kepulauan Diaoyu yang saat itu menjadi bagian dari Taiwan biasa digunakan
para nelayan China sebagai basis operasional. Pada saat kekalahan China dalam
perang Sino-Jepang (1894-1895), Taiwan (termasuk Diaoyu Islands) diserahkan ke
Jepang. Namun, akhir PD II, kepulauan ini dikembalikan oleh AS ke China
berdasarkan perjanjian ”Tiga Besar” (AS, Inggris, China) di Kairo tahun 1943.
Jepang
setelah kemenangannya dalam perang Sino-Jepang menerima penyerahan Senkaku dari
China. Ini dianggap sebagai bagian teritorial Jepang secara resmi. Sejak itu,
survei atas kepulauan ini dilakukan Jepang dan diyakini bahwa kepulauan ini
tidak berpenghuni. Survei saat itu menunjukkan tiadanya tanda- tanda bahwa
kepulauan Senkaku berada di bawah kontrol China.
Berdasarkan
keputusan Kabinet 14 Januari 1895, kepulauan ini dimasukkan ke teritorial
Jepang. Sejak itu, Senkaku menjadi bagian integral dari Kepulauan Nansei Shoto,
di mana ini diyakini tidak menjadi bagian dari Taiwan ataupun lainnya, yang
diserahkan ke China setelah PD II. Lagi pula, sebuah Map 1969 buatan Pemerintah
the People’s Republic of China berlabel confidential memasukkan Kepulauan
Senkaku ke wilayah Jepang. Berarti ada pengakuan resmi sejak itu bahwa Senkaku
masuk dalam wilayah otoritas Jepang.
Ketiga,
munculnya sengketa ini dipicu setelah kedua pihak menyadari adanya sumber
cadangan minyak dan gas di sekitar Kepulauan Senkaku pada pertengahan 1990-an,
yang berlanjut hingga kini. Ketika kepentingan nasional dipicu kepentingan
bisnis prospektif berupa temuan cadangan minyak dan gas, segala daya penguat
dan bukti pembenaran akan dihimpun demi basis legal untuk penguasaan sumber energi
itu.
Apalagi
Jepang dan China adalah dua negara yang sangat bergantung pada suplai minyak
dan gas dari luar. Dan, ketika keduanya menyadari adanya cadangan energi yang
tidak jauh dari wilayah mereka, keduanya akan ”mati-matian” memperjuangkannya.
3.
Sejarah Konflik Perebutan Wilayah Kepulauan Senkaku :
Kepulauan
Senkaku secara sejarah tidak menjadi wilayah yang diperebutkan secara intensif
sebelumnya, wilayah ini bisa dikatakan sebagai batas wilayah Formosa (sekarang
Tawian) dengan kepulauan Ryukyu hingga tahun 1875, dimana sejak 1372 hingga
1875 di kepulauan Ryukyu sendiri terdapat negara independen yang berada di
bawah perlindungan Kekaisaran Ming (China).
Tahun
1875 Kerajaan Ryukyu yang menguasai kepulauan Ryukyu dianeksasi oleh Jepang.
tahun 1885 kepulauan Senkaku dianggap sebagai pulau tak bertuan (Terra
Incognita) oleh Jepang akan tetapi rencana pendirian monumen batas resmi di
kepulauan tersebut urung dilakukan karena masalah diplomasi dengan kerajaan
Qin.
Rencana
pendudukan secara resmi wilayah tersebut akhirnya dilaksanakan pada 1895,
meletakkan pulau tersebut dibawah perfektur Okinawa. Bahkan pada awal 1900-an
hingga tahun 1940 kepulauan Senkaku dijadikan tempat pengolahan dan pengeringan
ikan oleh pengusaha dari Jepang.
Tidak
ada "permasalahan berarti" menganai wilayah ini pada saat perang dunia
pertama hingga akhir perang dunia kedua karena mulai dari Okinawa hingga Taiwan
seluruhnya dibawah kekuasaan Jepang. Setelah PD II daerah ini resmi dibawah
kekuasaan Amerika hingga dikembalikan ke Jepang pada 1971.
Klaim
dari China dan Taiwan mulai mencuat saat tahun 1971, sebelumnya tahun 1968 di
lokasi tersebut dinyatakan mungkin memiliki cadangan minyak bumi dan tahun 1971
wilayah tersebut tidak lagi dibawah kekuasaan Amerika Serikat. Semenjak 1971
itu pula pihak China terus mempertanyakan "penguasaan" wilayah
tersebut oleh Jepang.
4.
Perkembangan Perselisihan di Masa Sekarang
Pada
2012 dan 2013, eskalasi perselisihan Jepang dan China semakin memanas.
Pengerhahan kekuatan militer kedua negara di kepulauan tersebut, demonstrasi di
kedutaan besar masing-masing, hingga isu penyebaran angket terhadap masyarakat
di kepulauan Senkaku oleh China yang membuat gusar Jepang. Toko-toko yang
menjual barang asal Jepang akan dicari oleh warga China. Berbagai sepeda motor
asal Jepang juga tak lagi mendapat tempat di China.
Jepang
menyatakan tidak akan pernah mau membuat perundingan dengan China terkait Pulau
Senkaku di wilayah Laut China Selatan. Walau demikian, Negeri Matahari Terbit
ini juga memilih untuk sebisa mungkin menghindari provokasi dari Negeri Tirai
Bambu. Sementara itu, China menyatakan ingin menyelesaikan sengketa wilayah
dengan damai. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Qin Gang melalui laman
resmi kementerian pada Jumat (19/1) mengatakan perselisihan tersebut seharusnya
diselesaikan melalui diskusi-diskusi.
Sementara
itu, Fumio Kishida, Menteri Luar Negeri Jepang yang baru, Jumat (18/1),
mengatakan negaranya tidak akan menyepakati apapun dengan China terkait
kepulauan tersebut. Namun, pihaknya akan berupaya untuk menghindari provokasi
dengan China.
Perdana
Menteri Jepang Shinzo Abe, yang baru menjabat sejak bulan lalu, telah
meningkatkan anggaran pertahanan untuk menghadapi klaim dari China terhadap
kepulauan tidak berpenghuni yang dikuasai Jepang.
Hingga
sekarang, ketegangan antara Jepang dan China masih berlanjut. Protes dan
tindakan antioati terhadap warga Jepang d China dan warga China di Jepang juga
masih berlangsung.
DAFTAR PUSTAKA
Soedjatmoko,
Asia di mata Soedjatmoko, Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2010
http://ajw.asahi.com/article/asia/china/AJ201212250008
Diakses 3 Juni 2013
Tags:
Sejarah Internasional
