TIONGHOA DI INDONESIA



1. Identifikasi


Orang Tionghoa yang ada di Indonesia sebenarnya tidak merupakan satu kelompok yang berasal dari satu daerah di negara China, tetapi terdiri dari beberapa suku bangsa yang berasal dari dua provinsi yaitu Fukien dan Kwangtung. Setiap imigran ke Indonesia membawa kebudayaan-kebudayaan suku bangsanya sendiri bersama dengan perbedaan bahasanya.

Para imigran Tionghoa, terbesar datang ke Indonesia mulai abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-19 berasal dari suku Hokkien dari daerah Fukien selatan. Daerah itu adalah daerah yang sangat penting dalam pertumbuhan perdagangan orang China ke seberang lautan dan kepandaian berdagang tersebut telah ada dalam suku bangsa Hokkien sejak lama dan tampak jelas pada orang Tionghoa di Indonesia.

Dalam pandangan orang Indonesia, umumnya orang Tionghoa perantau tersebut dibedakan menjadi orang Peranakan dan orang Totok. Penggolongan tersebut bukan hanya berdasarkan kelahiran saja. Orang Peranakan bukan saja orang Tionghoa yang lahir di Indonesia, tetapi hasil perkawinan campuran antara orang Tionghoa dan orang Indonesia. Sedangkan orang Totok bukan hanya orang Tionghoa yang lahir di Tionghoa. Penggolongan tersebut juga menyangkut soal derajat penyesuaian dan akulturasi dari para perantau Tionghoa itu terhadap kebudayaan Indonesia yang ada di sekitarnya.

2. Angka-angka dan Data-data Demografi

Pada awalnya orang Tionghoa berpusat di Jawa. Baru setelah terjadi industrialisasi pada era penjajahan, banyak orang Tionghoa yang menjadi buruh dan mulai tersebar dari Bangka hingga perkebunan di Sumatera Timur. Hingga tahun 1961, jumlah penduduk Tionghoa di Indonesia berjumlah 2,5 juta jiwa. Data juga menunjukkan bahwa penduduk Tionghoa di Indonesia yang paling banyak menetap di Jawa, rata-rata tinggal di perkotaan. Sedangkan di Sumatera, Kalimantan Barat dan daerah-daerah lain, kebanyakan penduduk Tionghoa tinggal di pedesaan.

3. Mata Pencaharian

Sebagian besar penduduk Tionghoa di Indonesia sekarang memang hidup dari perdagangan, terutama di Jawa. Perdagangan yang mereka gunakan memakai sistem hubungan kekerabatan. Usaha mereka kebanyakan kecil, dan hanya diurus oleh sesama anggota keluarga. Apabila usaha tersebut menjadi besar, mereka akan membuka cabang dan keluarga atau kerabat mereka yang akan bekerja di sana.

Di Jawa Barat dan pantai barat Sumatera, orang-orang Tionghoa yang sebagian dari mereka berasal dari suku Hokkien, bekerja sebagai petani sayur. Dan di Bagan Siapi-api Riau, mereka menjadi penangkap ikan. Tahun-tahun menjelang Perang Dunia II, banyak dari orang Tionghoa bekerja sebagai profesional seperti menjadi pengacara, insinyur, pegawai dan dokter.

4. Perkampungan dan Rumah Tionghoa

Kebanyakan perkampungan Tionghoa di kota-kota adalah deretan rumah yang berhadap-hadapan di sepanjang jalan pusat pertokoan. Ciri khas kuno rumah Tionghoa adalah bentuk atapnya yang runcing dan dan berukir naga. Rumah-rumah itu merupakan petak di bawah satu atap yang umumnya tidak mempunyai pekarangan. Dan di setiap perkampungan selalu ada satu atau dua kuil.

5. Sistem Kekerabatan

Dalam masyarakat China, perkawinan harus mahal, agung dan rumit, karena merupakan penutup suatu masa tertentu di dalam kehidupan seseorang. Dalam hal perjodohan, orang Tionghoa Peranakan memiliki pembatasan-pembatasan seperti dilarang dengan nama keluarga sama, antara dengan yang masih memiliki hubungan kekerabatan, seorang adik tak boleh mendahului kakak, dan lain-lain.

Setelah laki-laki memilih jodohnya, maka akan ditentukan tanggal perkawinan dan pihak laki-laki mengantarkan angpao. Dimaksudkan untuk mengganti uang yang dikeluarkan orang tua si gadis selama mengasuh anaknya. 

Dalam hal menetap setelah kawin, umumya di rumah orang tua si suami, karena anak laki-laki akan mewarisi pemujaan terhadap leluhurnya. Ketika berhubungan dengan perceraian, maka hal ini dibolehkan dengan beberapa alasan. Meski demikian perceraian jarang terjadi karena dianggap perbuatan tercela dan akan mencemarkan nama keluarga. Bagi keluarga yang masih memegang adat, biasanya akan menasihati mengenai buruknya perceraian. Namun tetap kadang perceraian terjadi, dengan alasan si istri tak memberikan anak laki-laki.

Bentuk rumah tangga orang Tionghoa adalah keluarga luas. Keluarga luas orang Tionghoa terbagi dalam keluarga orang tua dengan hanya anak laki-laki tertua beserta istri, anak-anaknya serta saudaranya yang belum kawin dan keluarga luas yang terdiri dari keluarga orang tua dengan anak laki-laki beserta keluarga-keluarga batih mereka masing-masing.

Kedudukan wanita dalam orang Tionghoa dulu sangat rendah dan saat dewasa dipingit. Mereka harus tunduk pada suami dan dikuasai mertua mereka serta tidak diizinkan dalam kehidupan di luar rumah. Namun keadaan demikian sekarang sudah ditinggalkan. Wanita dapat memasuki perkumpulan-perkumpulan, seklah dan memegang peranan penting dalam ekonomi

6. Sistem Kemasyarakatan Orang Tionghoa di Indonesia

Stratifikasi Sosial.

Dalam masyarakat Tionghoa di Indonesia, ada perbedaan antara lapisan buruh dan majikan, miskin dan kaya. Namun karena sering adanya ikatan kekeluargaan, perbedaan tersebut tak mencolok. Tionghoa Peranakan umumnya memandang rendah Tionghoa Totok karena mengaggap dirinya lebih tinggi dari Tinghoa Totok yang seorang kuli dan buruh. Sedangkan Tionghoa Totok merasa lebig tinggi dari Tionghoa Peranakan karena mereka menganggap Tionghoa Peranakan sebgaai darah campuran.

Munculnya dua arah pendidikan, seperti pendidikan yang mengarah ke China, Barat dan Indonesia bagi orang Tionghoa di Indonesia, juga telah memunculkan perbedaan. Masing-masing menganggap yang berlawanan adalah lebih rendah.

Pimpinan Masyarakat Tionghoa.

Bagi masyarakat Indonesia di daerah, pemerintah Belanda dulu mengangkat seorang yang dipilih dari masyarakat untuk memimpin yang bertugas menjaga ketertiban, mengurus adat istiadat, kepercayaan, perkawinan, dan memutuskan segala hal. 

Perkumpulan Orang Tionghoa.

Pada mulanya orang Tionghoa di kota besar mendirikan perkumpulan Kamar Dagang yang disebut Sianghwee. Kamar Dagang ini merupakan perkumpulan pedagang-pedagang Tionghoa yang bekerja untuk kepentingan angoota-anggotanya, terutama mengurus masalah pajak.

Perkumpulan orang Tionghoa berkembang seiring nasionalisme yang pesat karena tindakan Kolonial Belanda yang sewenang-wenang. Pada 1900, didirikan perkumpulan yang bertujuan mamajukan nasionalisme berdasarkan Religi Kung Fu Tse dan menyatukan orang Tionghoa. Setelah Indonesia merdeka, organisasi-organisai melebur dalam organisasi yang mewakili orang Tionghoa di DPR yaitu Baperki.

7. Religi

Orang Tionghoa di Indonesia adalah pemeluk agama Buddha, Kung Fu Tse, Kristen, Katolik dan Islam. Kung Fu Tse sebenarnya hanya merupakan ajaran filsafat untuk hidup dengan baik. Ajaran Kung Fu Tse mengenai cara hidup di dunia fana ini bukan mengenai hidup di alam baka.

Dalam masyarakat China juga dikenal pemujaan kepada leluhur. Upacara ini dilakukan dengan memelihara abu dalam rumah. Kewajiban ini kemudian diteruskan kepada anak laki-laki sulung, dan seterusnya. Anggota keluarga yang memelihara abu leluhur, melakukan upacar pemujaan ruh leluhur yang dilakukan di tempat abu leluhur.

Hari-hari raya orang Tionghoa mencakup Imlek atau tahun baru tradisional orang China yang berdasar sistem penanggalan bulan yang kini di China dikenal sebagai pesta musim semi. Tahun Baru Imlek dirayakan oleh sebagian orang di Indonesia. Pada hari itu dilakukan Sembahyang Tahun Baru di kuil atau di muka meja abu. Di atas meja, disediakan aneka makanan seperti kue keranjang.

Hari raya lain orang Indonesia yang juga dirayakan di Indonesia adalah Pek Chun atau Pesta Air, sembahyabg Chioko untuk ruh-ruh yang tidak disembahyangkan oleh kerabatnya, perayaan bulan purnama pada bulan ke-7 tahun Imlek, dan perayaan Tong Che pada permulaan tahun baru.

8. Pendidikan

Sebelum abad ke-19, pendidikan untuk orang Tionghoa dibatasi oleh pemerintah Belanda. Hingga kemudian pemerintah Belanda membolehkan orang Tionghoa bersekolah bersama orang Indonesia asalkan mampu berbahasa Belanda. Pada 1900, orang Tionghoa mendapat pengaruh dari siste pendidikan di China yang mengalami modernisasi. Oleh karen itu, dengan didukung organisasi Tionghoa di Indonesia, maka didirikan sekolah untuk orang Tionghoa di Jakarta. Pendidikan Tionghoa ini menimbulkan kekhawatiran Pemerintah Belanda. Pada 1908, sekolah-sekolah Tionghoa Belanda didirikan di seluruh Indonesia yang dikhususkan untuk anak Tionghoa saja.

Pendirian sekolah-sekolah Tionghoa Belanda ini sebagai tindakan Belanda untuk menjamin pendidikan yang luas bagi orang Tionghoa. Orang Tionghoa yang dapat menyelesaikan pelajarannya di sekolah atas dapat melanjutkan pelajarannya di Belanda. Kebanyakan kemudian berorientasi ke masyarakat Belanda daripada Indonesia. Tetapi yang mendapatkan kesempatan itu hanya kalangan terbatas saja.

Setelah peristiwa G-30S, semua sekolah China ditutup dan diambil alih oleh pemerintah Indonesia, sehingga semua anak orang Totok maupun Peranakan terpaksa masuk sekolah Belanda.

9. Potensi Orang Tionghoa WNI dalam Pembangunan

Di Indonesia, proses integrasi antara suku-suku bangsa memang sudah dimulai, tetapi masih terlampau lambat. Antara lain karena kurangnya pengetahuan dan toleransi terhadap kebudayaan suku lain. Di dalam pengerahan potensi dari tiap-tiap suku bangsa atau golongan maka haruslah kita melihat potensi yang ada pada mereka. Golongan keturunan Tionghoa di Indonesia dapatlah kita anggap mepunyai suatu bagian besar di antara mereka, yang memiliki kepandaian dalam perdagangan. Kepandaian itu perlulah kita manfaatkan dalam sektor-sektor pembangunan ekonomi sekarang ini. Sifat keuletan dalam berusaha adalah memang suatu sifat yang dinilai tinggi di antara pedagang-pedagang keturunan Tionghoa itu.

Post a Comment

Previous Post Next Post