Setelah KMB (Konferensi Meja Bundar) dan penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Indonesia, pada awal tahun 1950 menjelma Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan Mohammad Hatta sebagai perdana menteri dan dengan kabinet yang anggotanya atas orang Republik Indonesia dan orang BFO (Federal).banyak gonvcangan dialami seperti serangan Kapten Westerling (Pemimpin APRA) terhadap Bandung tanggal 23 Januari 1950.
Ditangkapnya Sultan Pontianak Hamid Alkadri (menteri negara) karena bersekongkol dengan Westerling. Proklamasi RMA oleh Dr. Soumokil yang semuanya itu mempercepat pembubaran Negeara Federal RIS untuk digantikan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adapun Kabinet yang memerintah pada masa Demokrasi Parlementer yaitu:
1) Kabinet Natsir
Setelah kembali ke negara kesatuan lahirlah kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951) berdasarkan kerjasama Masyumi-PSI. Natsir berpendirian Soekarno adalah presiden konstitusional semata, tetapi Soekarno tidak menerima peran demikian dan mendesak soal Irian Barat harus diberikan prioritas pertama.
Pada masa Kabinet Natsir banyak sekali gerakan separatis dan pemberentokan di berbagai daerah, seperti DI/TII di Aceh, RMS di Maluku, dan gerakan APRA serta terhambatnya perundingan masalah Irian Barat dengan Belanda. Situasi tersebut menyebabkan kinerja Kabnet Natsir mendpat mosi tidak percaya dari parlemen, sehingga pada tanggal 21 Maret 1951 natsir mengembalikan mandatnya pada Presiden.
2) Kabinet Sukiman
Kabinet berikut dipimpin oleh Dr. Sukiman Wiryosanjoyo (April 1951-Februari 1952) berdasarkan koalisi Masyumi-PNI, tetapi golongan Natsir dalam Masyumi dan PSI tidak diikutsertakan. Selama kabinet Sukiman, PSI menentang perjanjian keamanan bersama (MSA-Mutual Security Agreement) dengan Amerika Serikat, tidak setuju partisipasi Indonesia dalam konferensi San Fransisco mengenai soal Jepang, tidak mendukung tindakan pemerintah terhadap serikat buruh. PKI marah karena PNI ikut dalam kabinet Sukiman dan mengadakan aksi mogok. Sukiman menindak orang-orang Komunis dan para pemimpin PKI Aidit, Lukman, dan Nyoto menyembunyikan diri.
3) Kabinet Wilopo
Kabinet Wilopo (April 1952-Juni 1953) berdasarkan kerjasama Masyumi-PNI-PSI sesungguhnya sesuatu zaken kabinet. Karena menteri agama bukan wahid hasyim sebagaimana halnya sejak tahun 1949, maka Masyumi pecah dengan keluarnya Nahdhatul Ulama (NU). Pada masa itu terjadi peristiwa Oktober 1952. Mosi parlemen menuntut digantinya pimpinan tentara dan ditinjaunya kembali susunan kementrian pertahanan. Para Panglima didaerah menentang pelaksanaannya dan balik menuntut supaya parlemen dibubarkan. Terjadinya demontrasi rakyat didepan istana memperkuat tuntutan tersebut, tetapi tidak diindahkan oleh Soekarno yang mengatakan dia tidak mau menjadi diktator. Show of force tentara gagal dan A.H Nasution diberhentikan sebagai KSAD bulan Desember 1952. Selama tiga tahun A.H Nasution tidak aktif menjadi tentara.
Pada Januari 1953 Sultan Hamungku Buwono IX meletakkan jabatannya sebagai menteri pertahanan, bulan Maret sekjen Kementrian Pertahanan Mr. Alibudiarjo diganti dan dibulan November jabatan Kepala Staff Angkatan Perang dihapus sehingga Mayor Jendra. T.B. Simatupang pun berhenti.
4) Kabinet Ali-Wongso
Kabinet selanjutnya dipimpin oleh Mr. Ali Sastromijoyo (Juli 1953-Juli 1955) terdiri dari PNI, NU dan beberapa partai kecil, sedangkan Masyumi dan PSI dikesampingkan. Pada tanggal 19 September 1953 Teuku Daud Beureueh beserta pengikutnya dalam PUSA (Pusat Ulama Seluruh Aceh) mencetuskan pemberontakan terhadap pemerintah pusat dan menyatakan bahwa Aceh sebagai daerah Darul Islam (DI). Di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan gerakan DI meningkat semasa Kabinet Ali. Dibidang politik luar negeri kabinet Ali dengan sukses menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika diBandung bulan April 1955 dihadiri oleh 29 negara Asia-Afrika. Pada masa Kabinet Ali jumlah PKI meningkat menjadi satu juta orang, dipihak lain Tentara menyelesaikan urusan internya dan bulan Februarai 1955 diadakan sebuah konferensi di Yogyakarta dihadiri oleh 270 Perwira TNI untuk menuntaskan persoalan Peristia 17 Oktober. Kabinet Ali mengangkat Bambang Utoyo sebagai KSAD, dan hal itu ditentang oleh pimpinan angkatan darat. Kabinet Ali meletakkan jabatan.
5) Kabinet Burhanuddin Harahap
Setelah itu, dibebtuk Kabinet Burhanuddin Harahap (Agustus 1955-Maret 1956) berdasarkan kerjasama Masyumi-PSI dan ddukung oleh NU. Semasa Kabinet ini diselenggarakan Pemilihan Umum yang pertama untuk memilih DPR pada bulan September 1955. Hasilnya muncul partai besar yakni PNI, Masyumi, NU, dan PKI yang masing-masing memperoleh jumlah kursi57, 57, 45, dan 39 dalam parlemen. Sedangkan PSI menenpati rankink ke-8 dengan perolehan 5 kursi parlemen dari 753.191 pemberi suara, yang berartisuatu kemerosotan yang luar biasa, dibandingkan dengan 17 kursi yang dipunyai PSI dalam parlemen sebelumnya. Dr. Leimena (Parkindo). Secara teori kabinet ini non-partai, tetapi pada hakikatnya koalisi PNI-NU. Charul Shaleh menjadi menteri urusan veteran dan Dr. Soebandiro menteri luar negeri. Bulan Mei 1957 dibentuk Dewan Nasional terdiri dari 41 anggota dari golongan karya, plus anggota ex-officio. Soekarno ketua Dewan Nasonal, tetapi untuk urusan sehari-hari dipegang oleh wakil ketua Roeslan Abdulgani yang kemudian tampil sebagaipengatur ideologi demokrasi terpimpin.
6) Kabinet Ali Sastromijiyo II
Kabinet Ali Sastroamijoyo II merupakan kabinet pertama yang berkuasa sejak diadakannya Pemilu 1955. Kabinet Ali Sastroamijoyo II yang bertugas selam kurang dari dua belas bulan, kabinet ini telah mendapat dukungan penuh dari presiden dan dianggap sebagai titik tolak dari periode planning and investment.
Banyaknya kendala-kendala dalam tubuh Kabinet Ali Sastroamijoyo II dan adanya pertentangan antara PNI dan Mayumi yang membuat, akhirnya pada tanggal 9 Januari 1957 Masyumi menarik para menteri-mentrinya untuk keluar dari Kabinet. Selain itu munculnya gerakan separatis yang menuntut kinerja pemerintah. Pada dasarnya, gerakan separitis ini muncul sebagai bentuk ketidak puasan ditubuh militer terhadap kinerja pemerintah. Berbagai gerakan daerah lahir dan cepat berkembang secara pesat, seperti Dewan Banteng di Sumatera Barat pada tanggal 20 Desember 1956, Dewan Gajah di Sumatera Utara pada tanggal 22 Desember 1956. Dewan Garuda di Sumatera Selatan dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara.
Akibat terjadinya gerakan separatisme, konflik dalam konstituante, maka presiden menyatakan negara dalam keadaan bahaya. Untuk mengatasi keadaan ini Presiden mengumumkan berlakunya undang-undang SOB (negara dalam keadaan bahaya) dan angkatan perang mendapat wewenang khusus untuk mengamankan negara di seluruh Indonesia. Pertentangan politik makin meluas, sehingga pembentukan kabinet baru semakin bertambah sulit. Sementara itu partai-partai masih tetap menempuh cara tawar-menawar kedudukan dalam bentuk kabinet baru. Pada tanggal 14 Maret 1957 secara resmi Kabinet Ali Sastroamijoyo II mengundurkan diri dan menyerahnkan mandatnya kepada Presiden Sukarno.
7) Kabinet Djuanda
Dibawah keadaan darurat perang, A.H Nasution mengadakan pembersihan terhadap orang-orang korupsi.akibatnya, Dr. Sumitro Joyohadikusumo bulan Mei 1957 menyinggkir ke Sumatera. Djuanda melakukan Musyawarah pembangunan, akan tetapi tuntutan memulihkan kerjasama dwitunggal Soekarno-Hatta kandasdan hubungan pusat dengan daerah tetap tegang.
Kabinet Djuanda disebut juga kabinet karya, karena program kerjanya yang terkenal dengan sebutan Panca Karya. Program kerja Panca Karya meliputi hal-hal berikut:
a) Membentuk Dewan Nasional, yaitu suatu perangkat baru dalam sistem politik Indonesia yang dibentuk dengan tujuan untuk menyerap dan menyalurkan aspirasi masyarakat no-Partai.
b) Normalisasi keadaan Republik Indonesia
c) Melaksanakan pembatalan hasil KMB
Karena tanggal 29 November 1957 PBB gagal menyetujui resolusi yang menyerukan kepada Belanda supaya berunding tentang Irian Barat, maka meletus aksi ambil alih perusahaan Belanda. Tanggal 5 Desember 1957 Kementrian Kehakiman memerintahkan pengusiran kurang lebih 46.000 warga negara Belanda dari Indonesia. Nasution memerintahkan agar Tentara mengelola perusahaan-perusahaan Belanda yang diambil alih.
Mohammad Natsir dan para pemimpin Mayumi lain pergi dari Jakarta ke Sumatera bulan Desember 1957 karena mengalami intimidasi dari pihak pemuda. Bulan Januari 1958 Masyumi dan PNI meminta dibentuknya kabinet baru untuk mengulangi keadaan, tetapi PNI dan NU membela kabinet Djuanda. Selahi Soekarno berkunjung ke luar negeri (6 Januari-16 Februari 1958) pada tanggal 10 Februari golongan oposisi mengirimkan sebuah ultimatum dari Padang yang menuntut pembubaran Kabinet, penunjukan Hatta dan Sultan Hamengku Buwono IX sebagai pembentuk kabinet baru dan kembalinya Soekarno pada posisi presiden konstitusional. Kabinet Djuanda menolak ultimatum tersebut.
B. Sistem Pemerintahan Pada Masa Demokrasi Terpimpin
Pada tanggal 15 Februari 1958 diumumkan pembentukan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) terpusat di bukit tinggi, sipimpin oleh Syarifuddin Prawiranegara , Sumitro Joyohadikusumo, dan Simbolon. Dua hari kemudian Permesta di Sulawesi bergabung dengan PRRI. Tanggal 16 Februari Soekarno kembali dari luar negeri dan menghendaki tindakan militer tegas terhadap PRRI-Permesta. AURI membom instalasi PRRI di Padang, Bukit Tinggi, dan Manadoo akhir Februari.
Awal Maret pasukan TNI di bawah Komando Kolonel Achamad Yani mendarat di Padang dan sedikit sekali menemukan perlawanan pasukan PRRI yang terus mengundurkan diri. Tanggal 5 Mei Bukit Tinggi diduduki dan PRRI tinggal hanya melakukan gerilya. Sesudah itu pemerintah pusat mengalihkan perhatian ke Sulawesidan pada pertengahan Mei Gorontalo berhasil direbut, sedangkan Manado diduduki akhir Jumi. Pada pertengahan 1958 perjuangan PRRI dipatahkan tulang pungungnya.
PRRI-Permesta mendapat simpati dan bantuan dari amerika serikat. Sebuah pesawat terbang B-26 yang dikemudikan oleh seorang pilot sipil Amerika Serikat jatuh di Ambon. Hubungan Indonesia-Amerika tegang dibuatnya. Malaysia yang memperoleh kemerdekaannya pada tahun 1957 membantu PRRI dengan menjadi saluran utama bagi pemasok senjata. Begitu juga Singapura dan Filipina mendukung PRRI.
Sidang Konstituante yang bertugas menyusun Undang-Undang Dasar Baru menghadapi jalan buntu, dalam pembicaraannya Nasution mengusulkan kepada Presiden Soekarno supaya mendekrit Indonesia kembali keada UUD 1945. Soekarno balik perjalannya dari luar negeri tanggal 29 Juni dan pada tanggal 5 Juli 1959 Konstituante dibubarkkannya . RI kembali pada UUD 1945.
Pada tanggal 9 Juli dibentuk Kabinet Karya yang baru dengan Soekarno sebagai PM dan Djuanda sebagai menteri pertama. Kepala Staff Angkatan Darat, Laut, dan Udara, serta Kepala Polisi masuk dalam kabinet sebagai ex-officio. Tanggal 19 Agustus 1959 Soekarno dalam pidatonya menerangkan ideologi Demokrasi Terpimpin yang kemudian dikenal sebagai Manipol (Manifesto Politik). Pada awal 1960 manipol dilengkapi dengan USDEK (UUD 1945, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Indonesia) sehhingga menjadi Manipol–USDEK.
Soekarno mengumumkan akan membentuk suatu DPR Gotong Royong (DPR-GR) dan ini ditentang oleh PSI dan Masyumi. Dengan mulannya mendapat dukungan pihak tentara, seperti Kolonel Soekendro dan Jendral Nasution sendiri, mereka membentuk Liga Demokrasi, tetapi Perwira Tentara yang tadinya mendukung, malah mundur sendiri. DPR-GR denga 283 anggota diangkat, tetai Masyumi-PSI tidak diikut sertakan. Pada bulan Agustus 1960, terlaksannya keinginan Soekarno yaitu melarang Masyumi dan PSI. Lalu dia mengajukan konsep Nasakom yaitu kerjasama antara Nasionalais, Agama, dan Komunis.
Ada tanggal 30 September 1965 terjadi sebuah gerakan kudeta yang ditujukan kepada Preside Soekarno, malam hari harinya sekelompok orang yang menamai dirinya sebagi Dewan Revolusi mengawali aksinya. Dewan ini terdiri dari gabungan pasukan Cakrabirawa, pemuda, rakyat, dan beberapa kesatuan Diponegoro serta Brawijaya yang mendukung aksi penculikan dan pembunuhan terhadap perwira-perwira tinggi Angkatan Darat, yaitu Jendral Ahmad Yani, Mayjen Hayono, Mayjen Suprapto, Mayjen S Parman, Brigjen D.I Pajaitan, dan Brigen Sutoyo.
Pada tanggal 20 Februari 1997 Presiden soekarno menandatangani sebuah dokumen yang berisi penyerahan kekuasaan pemerintah kepada Pengemban TAP MPRS No. IX/MPRS/1996 yakni Jendral Soeharto. Pada tanggal 7-12 Maret 1967 diadakan sidang istimewa MPRS yang mengagendakan proses penyerhan kekuasaan dari Presiden Soekarno dan memberikan jabatan kepada Jendral Soeharto sebagai Presiden sampai dilaksanakannya Pemilihan Umum. Dengan penyerhan kekuasaan ini maka dualisme kepemimpinan nasional sudah dapat diatasi. Dengan ini dimulai babak baru pemerintahan Indonesia dibawah kekuasaan Presiden kedua Indonesia, yaitu Presiden Soeharto.
C. Sistem Pemerintahan Pada Masa Orde Baru
Orde baru megupayakan kontrol terhadap rakyatketimbang mobiisasi rakyat. Orde baru percaya tanggung jawab utama pemerintah terhadap rakyatny dapat dipenuhi melalui pembangunan ekonomi. Orang-orang yang mendominai Orde baru mempunyai latar belakang militer. Sedikit sekali dari golongan elite baru ini yang mempunyai pendidikan universiter di Indonesia atau di Belanda. Pendidikan universiter telah memperluas wawasan kaum nasionalis sipil dan memperkenalkan kepada mereka cita-cita demokratis. Bagi golongan elte baru, sisitem Oerde baru memberikan bentuk dan cara pemerinrahan yang paling mapan serta enak.
Dalam sidang Maret 1957 MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) mencabut semua kekuasaan Presiden Soekarno sebagai pejabat Presiden. Soekarno dikuncilkan dalam sebuah rumah dan disitulah tempatnya sampai meninggal dunia bulan Juni 1970. Pemerintah Orde Baru melaksanakan tahapan stabilisasi mulai 1967 hingga selesai tahun 1969. Reformasi ekonomi dijalankan, angkatan bersenjata dipadukan dibawah kontrol Soeharto dan dengan demikian diakhiri persaingan antar angkatan yang digalakkan oleh Soekarno. Bulan Maret 1968 Soeharto diangkat menjadi Presiden. Penentuan pemilihan Rakyat (Perpera) membawa pada masuknya Irian Barat kedalam Indonesia sebagai provinsi ke-26 pada bulan September 1969. Dalam pemilihan umum pertama dibawah Orde Baru tahun 1971 Golakar meraih kemengan mutlak. Partai-partai politik sial penampilannya. Melaluai struktur organisasi Golkar, pemerintah membentuk suatu aliansi dengan birokrasi guna menghadapi politisi sipil.
Pada awal tahun 1970-an berlangsung pemulihan ekonomi Indonesia secara mengesanka. Sumber daya alam seperti minyak bimu mendapat harga bagus. OPEC (Oil Producing Export Countries) dengan Indonesia sebagai salah satu anggotannya mempunyai dampak internasional. Tetapi kemiskinan rakyat belum bisa diatasi. Korupsi sebagai salahurus dalam pertamina yang dipimpin oleh Dr. Ibnu Sutowo, kebijakan ekonomi yang menguntungkan pengusaha asing dan bukan pengusaha pribumi, merupakan ciri-cir khas dari pemerintahan Oede Baru.
Sejak tahun 1974 suara protes dan kritik terhadap keadaan makin vokal di kota-kota. Masiswa dan intelektual dengan santer mengecam dominan peranan Jepang dalam perdagangan ekspor dan impor di Indonesia. Pengusaha-pengusaha Jepang dinilai berkolusi dengan Soeharto. Tak kala aerdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka mengujungi Jakarta pada bulan Januari 1974 para mahasiswa mengadakan demontrasi anti Jepang. Keributan anti pemerintah yang menyebabkan sebagian Pasar Senen dibakar oleh rakyat meledak secara luas. Terjadi Malapetaka 15 Januari 1974 atau disebut Malari.
Setelah berkuasa selama 32 tahun, pemerintahan Orde Baru yang dipimpin olehSoeharto tumbang, hal ini disebabkan munculnya gerakan reformasi yang dipelopori oleh Mahasiswa dan kaum intelektual. Gerakan ini memiliki formulasi atau gagasan menuju terwujudnya Indonesia baru yang berusaha diaktualkan melalui agenda reformasi yang meliputi suksesi kepemimpinan nasional, penghapusan dwi fungsi ABRI, amandemen UUD 1945, otonomi daerah, penegakkan Supermasi hukum, kebebasan Pers, dan pemberantasan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Kronologis Runtuhnya Sistem Pemerintahan Orde Baru:
a) Krisis Moneter
Pada waktu krisis melanda Thailand, keadaan Indonesia masih baik. Inflasi rendah, ekspor masih surplus sebesar US$ 900 juta dan cadangan devisa masih besar, lebih dari US$ 20 B. Tapi banyak perusahaan besar menggunakan hutang dalam US Dollar. Ini merupakan cara yang menguntungkan ketika Rupiah masih kuat. Hutang dan bunga tidak jadi masalah karena diimbangi kekuatan penghasilan Rupiah.
Tapi begitu Thailand melepaskan kaitan Baht pada US Dollar di bulan Juli 1997, Rupiah kena serangan bertubi-tubi, dijual untuk membeli US Dollar yang menjadi murah. Waktu Indonesia melepaskan Rupiah dari US Dollar, serangan meningkat makin menjatuhkan nilai Rupiah. IMF maju dengan paket bantuan US$ 20B, tapi Rupiah jatuh terus dengan kekuatiran akan hutang perusahaan, pelepasan Rupiah besar-besaran. Bursa Efek Jakarta juga jatuh. Dalam setengah tahun, Rupiah jatuh dari 2,000 dampai 18,000 per US Dollar.
b) Tragedi “TRISAKTI”
Tragedi 12 mei 1998 yang menewaskan 4 orang mahasiswa Universitas Trisakti. Tragedi yang sampai saat ini masih dikenang oleh para mahasiswa di seluruh Indonesia belum jelas penyelesaiannya hingga sekarang. Tahun demi tahun kasus ini selalu timbul tenggelam. Setiap 12 Mei mahasiswa pun berdemo menuntut diselesaikannya kasus penembakan mahasiswa Trisakti. Namun semua itu seperti hanya suatu kisah yang tidak ada masalah apapun. Seperti suatu hal yang biasa saja. Pemerintah pun tidak ada suatu pernyataan yang tegas dan jelas terhadap kasus ini. Paling tidak perhatian terhadap kasus ini pun tidak ada. Mereka yang telah pergi adalah :
1. Elang Mulia Lesmana
2. Heri Hertanto
3. Hafidin Royan
4. Hendriawan Sie
Mereka merupakan Pahlawan Reformasi selain mahasiswa lainnya yg ikut berjuang pada saat itu.
c) Penjarahan
Pada tanggal 14 Mei 1998, Jakarta seperti membara. Semua orang tumpah di jalanan. Mereka merusak dan menjarah toko dan gedung milik swasta maupun pemerintah. Masa pada saat itu sudah kehilangan kendali dan brutal akibat kondisi yang terjadi di tanah air pada saat itu.
Tak hanya itu, massa juga memburu warga keturunan Cina. Tarakhir, banyak warga keturunan Cina mengungsi ke luar negeri. Sebagian lainnya bertahan dalam ketakutan dan munculah isyu-isyu gak tidak jelas bahwa pada hari itu terjadi perkosaan masal warga keturunan tiong Hoa.
d) Mahasiswa Menduduki Gedung MPR
Pada tanggal 18 Mei Pukul 15.20 WIB, Ketua MPR yang juga ketua Partai Golkar, Harmoko di Gedung DPR, yang dipenuhi ribuan mahasiswa, dengan suara tegas menyatakan, demi persatuan dan kesatuan bangsa, pimpinan DPR, baik Ketua maupun para Wakil Ketua, mengharapkan Presiden Soeharto mengundurkan diri secara arif dan bijaksana. Harmoko saat itu didampingi seluruh Wakil Ketua DPR, yakni Ismail Hasan Metareum, Syarwan Hamid, Abdul Gafur, dan Fatimah Achmad.
Pukul 21.30 WIB, empat orang menko (Menteri Koordinator) diterima Presiden Soeharto di Cendana untuk melaporkan perkembangan. Mereka juga berniat menggunakan kesempatan itu untuk menyarankan agar Kabinet Pembangunan VII dibubarkan saja, bukan di-reshuffle. Tujuannya, agar mereka yang tidak terpilih lagi dalam kabinet reformasi tidak terlalu “malu”. Namun, niat itu tampaknya sudah diketahui oleh Presiden Soeharto. Ia langsung mengatakan, “Urusan kabinet adalah urusan saya.” Akibatnya, usul agar kabinet dibubarkan tidak jadi disampaikan. Pembicaraan beralih pada soal-soal yang berkembang di masyarakat.
Pukul 23.00 WIB Menhankam/Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto mengemukakan, ABRI menganggap pernyataan pimpinan DPR agar Presiden Soeharto mengundurkan diri itu merupakan sikap dan pendapat individual, meskipun pernyataan itu disampaikan secara kolektif. Wiranto mengusulkan pembentukan “Dewan Reformasi”. Gelombang pertama mahasiswa dari FKSMJ dan Forum Kota memasuki halaman dan menginap di Gedung DPR/MPR.
e) Soeharto Meletakkan Jabatannya.
Pada tanggal 21 Mei Pukul 9.00 WIB. Soeharto kemudian mengucapkan terima kasih dan mohon maaf kepada seluruh rakyat dan meninggalkan halaman Istana Merdeka didampingi ajudannya, Kolonel (Kav) Issantoso dan Kolonel (Pol) Sutanto (kemudian menjadi Kepala Polri). Mercedes hitam yang ditumpanginya tak lagi bernomor polisi B-1, tetapi B 2044 AR. Wakil Presiden B.J. Habibie menjadi presiden baru Indonesia.
Anwar, Rosihan. 1995. Soebadio Sastrosatomo Pengemban Misi Politik: Pusat Dokumentasi Politik. Direport oleh Leanvin Didik