Sesudah Perang Dunia II hubungan antara Uni Soviet dan Partai Komunis Indonesia (PKI) ruwet, sulit, dan selala beberapa saat malah tidak ada. untuk memperbaiki keadaan seperti itu itu Moeso dikirim ke Indonesia, bulan Juli 1935, untuk mendapatkan gambaran yang bisa dipercaya tentang hal-ihwal komunisme dan untuk membangun kembali PKI. Ia tinggal selam enam bulan, mengamati keadaan dengan hati-hati, dan dengan menggunakan Surabaya sebagai basis. Ia merekrut beberapa orang pengikut, menulis beberapa brosur dan artikel, semuanya tentu saja dengan menggunakan nama samaran. Brosurnya merupakan setangan hebat terhadap Tan Malaka, penyataannya khas kebencian pribadi. Sesudah Moeso meninggalakan Indonesia, kawan-kawan kepercayaannya mendirikan kembali PKI, yang dikenal bernama PKI Moeda.
Pada tanggal 11 Agustus 1948 Soeripno tiba di Yogyakarta untuk menyerahkan teks perjanjian dan memberikan penjelasan tentang perjanjian yang sudah dilakukannya dengan Uni Soviet seputar tukar-menukar konsul. Bersama dengannya ialah sekretarisnya bernama Soeparto, yang tak lain tak bukan adalah tokoh veteran PKI, Moeso. Ia dilukiskan sebagai bertubuh pendek, gemuk dan kekar, dengan lagak gaya seorang pemimpin. Ia dikenal sebagai pembicara ulung dan betindak-tanduk tidak formal.
Dalam bulan Maret 1948 di Praha Soeripno bertemu Moeso untuk pertama kali. Menurutnya, Moeso, pemimpin ‘jang tua, besar dan berpengalaman’ ini, meminta bantukan kepadanya untuk pulang kembali ke Republik. Dalam pertemuannya itu mereka berdua juga berbincang tentang perkembangan politik di tanah air, khususnya tentang PKI dan FDRM dengan nada pembahasan sangat kritis. Kelemahan Republik diketahui dengan tidak adanya suatu Front Nasional. Situasi internasional begitu rupa sehingga politik kompromi dengan Belanda tidak perlu lagi diteruskan.
Percakapan Moeso dengan Soeripno bukanlah pertukaran pikiran yang tanpa ikatan. Pendapat Moeso mendapat dukukang dari Moskow. Menurut Soermarsono, Moeso, mengatakan bahwa sebelum berangkat ke Indonesia Stalin menginstruksikan, dengan haluan baru PKI harus menghindarkan Indonesia jatuh kedalam lingkungan pengaruh Amerikam perkembangan yang akan didukung kabinet Hatta.
Pada tanggal 13 dan 14 Agustus Politbiro PKI bersidang. Moeso memberikan penjelasan tentang ‘pekerdjaan dan kesalahan partai dalam dasar organisasi dan politi’ dan sesudah ‘diskusi sedalam2nja’ resolusi diambil yang menjadi terkenal dengan sebutan Djalan Baru untuk Republik Indonesia. Politbiro memutuskan melakukan perbuahan radikal, yang bertujuan untuk:
1. Selekas-lekanja mengembalikan kedudukan PKI sebagai pelopor klas buruh.
2. Selekas-lekasnja mengembalikan tradisi PKI jang baik pada waktu sebelum dan selama perang dunia ke II.
3. PKI mendapat HEGEMONI (kekuasaan jang besar) dalam pimpinan Revolusi Nasional ini.
Di Solo unsur-unsur konflik sangat gampang ditemukan. Di kota ini terletak markas besar FDR dan GRR. Barisan Benteng mempunyai lasykar yang berkekuatan antara dua ribu sampai tiga ribu orang. Ketegangan memuncak ketika Kolonel Seotarto pada tanggal 2 Juli dibunuh. Pembunuhan Soetarto dianggap sebagai balas dendam terhadap Mardjuki yang telah dieksekusi beberapa bulan sebelumnya. Soetarto harus mendapat hukuman karena pendiriannya yang pro-FDR.
Kejadian-kejadian di Solo sangat penting dalam adu kekuatan antara pemerintah dan FDR. Kedua belah pihak saling salah-menyalahkan dan mencari-cari konfrontasi di Solo dengan sadar. Kesatuan-kesatuan Siliwangi di daerah ini merasa tidak diakui, menjadi frustasi, dan marah oleh penerimaan mereka dapat setelah hijrah mereka. Mereka mempersalahkan pertentangan antara itu pada pihak Senopati yang kiri, dan FDR dan pendukung-pendukungnya. Keadaan menjadi lepas kendali dan tak bisa diperbaiki lagi, ketika perwira-perwira Senopati yang diculik dibunuh.
Pada tanggal 21 Juli pemerintah Republik bertemu dengan delegasi Amerika Serikat. Menurut sumber-sumber PKI pertemuan tersebut berkhir dengan ‘Red Drive Proposals’ (Usul-usul pembasmian PKI), dimana Amerka serikat menjanjikan 65 juta dolar AS asalkan PKI dibasmi. Moeso dan pimpinan PKI lainnya memutuskan untuk melakukan aksi sebagai satu partai, dan PKI akan mengambil pimpinan dalam perjuangan Nasional.
Di Madiun, kota ketiga Republik sesudah Yogya dan Solo yang terletak strategis di persimpangan jalan lalu lintas, partai-partai FDR sejak awal revolusi hampir selalu merupakan kekuatan yang paling kuat. FDR di Madiun dipimpin oleh Soemarsono, pemimpin Persindo dan ketua BKPRI. Aksi di Madiun menurut Soeripno merupakan reaksi preventif dari pimpinan FDR lokal.
B. Madiun Dalam Pandangan Politik dan Sejarah, 1948-2010
Pandangan Soekarno dan Hatta
Soekarno menanggapi Madiun dalam kata-kata yang lebih umum. Ia menamakan Madiun sebagai suatu revolusi sosial yang diprovokasi, dan dikasakan bertahun-tahun dan berpuluh-puluh tahun barangkali terlalu awal, oleh pengacau-pengacaunya, yang hendak memimpin revolusi sosial dan menyingkirkan orang-orang yang belum mau itu dengan jalan menyiksa mereka, membunuh mereka. Revolusi mereka itu gagal. Madiun adalah pilihan atas dasar subjektif dari revolusi yang kebelinger, itu adalah putsch yang bersimbah darah. Para pelakunya melakukan aksi tanpa mengenal teori revolusioner.
Sedangkan Hatta menilai peristiwa Madiun adalah suatu tragedi nasional yang sedih. Masyarakat menjadi terpecah belah, kaum tani saling bertentangan, panen dihancurkan, kaum buruh dan kaum tani dihasut. Para pemberontak di Madiun tidak hanya untuk mengejar kekuasaan, tetapi juga membunuh lawan-lawan mereka dengan kejam.
Historiografi lain di Indonesia
Pada tahun 1969 Soe Hok Gie, untuk skripsi doktoralnya jurusan sejarah pada Universitas Indonesia, menulis tentang Madiun dan pendahuluannya yang panjang. Sebuah tulisan yang matang, yang selain menggunakan sebagai sumber literatur yang ada, sejumlah wawancara pers di Yogya, juga sumber dari FDR. Penjelasan Madiun sebagai provokasi, sebagai fait accompli, sebagai bagian dari stratego komunis, baginya semua itu tidak memuaskan. Sebab-musababnya jauh lebih mendasar, dan disimpulkannya terletak pada tekanan masyarakat di sebuah negara yang ada di dalam revolusi: harapan-harapan yang belum terwujud, dan tekanan ekonomi yang menimbulkan bertumbuhnya radikalisasi. Dengan demikian konflik tidak terhindarkan.
Dalam sejarah tentang nasionalisme Indonesia yang dua jilid, Slamet Muljana terutama memberikan fakta-fakta, tetapi tidak memberikan peta pemihakan dengan tegas. Akhirnya dikemukakannya tentang kerugian moril dan materiil yang besar bagi rakyat dan negara. Dibangkitkannya perasaan dendam yang sudah lama tetap terus menjalar. Ia menujuk pada pembunuhan besar-besaran di kedua belah pihak, dan menyebut jumlah korban yang beratus-ratus dari aksi PKI di Dungus. Madiun merupakan malapetaka nasional, yang ditimbulkan oleh rakyat Indonesia sendiri, suatu kisah yang menyedihkan dan pelajaran yang pahit.
Sumber : Madiun 1948 PKI Bergerak : Harry A. Poeze. Direport oleh Arip Rahman