KEKERASAN DAN PERLAWANAN DALAM MASYARAKAT


A. Kekerasan dan Perlawanan Dalam Masyarakat

Menurut Loekman Soetrisno, collective incident terjadi karena:

1) SARA bagi masyarakat Indonesia yang pluralistik merupakan hal biasa. Pasti ada perbedaan-perbedaan yang kadang-kadang bisa membuat sedikit gejolak diantara mereka.

2) SARA adalah satu hal yang biasa dalam Negara yang bersifat pluralistik ini, yang menjadi tugas kita adalah bagaimana membuat SARA itu menjadi alat yang ampuh untuk menimbulkan gejolak.

Masalah SARA, khususnya agama masih sering dilihat menjadi pemicu. Namun,

perlu berhati-hati sebelum kita mengambil kesimpulan bahwa agama adalah pemicu utama dari pecahnya suatu konflik sosial. Faktor agama dari SARA hanyalah limbah dari suatu masalah yang lebih besar seperti masalah penguasaan sumber daya alam, ketidaksiapan bersaing, kolusi antara pejabat dan satu etnik tertentu dan sebagainya.

Beberapa cara mencegah SARA menjadi sumber konflik:

1) Dalam membangun perekonomian harus secara tegas menempuh pendekatan affirmative action. Ini yang dilakukan oleh PM. Mahathir Mohamad dan pemerintahannya di Malaysia, yakni memberikan kesempatan sebesar-besarnya kepada penduduk pribumi untuk mengembangkan ekonomiannya.

2) Pemerintah harus menciptakan aparat pemerintah yang netral secara politis. Misalnya saja KORPRI haruslah dianggap sebagai organisasi profesional Pegawai Negeri Sipil dan bukan sebagai mesin perolehan suara dalam pemilu.

3) Terciptanya suatu organisasi bagi kelompok etnis Cina yang dapat memberikan perlindungan politis bagi mereka sehingga mereka tidak perlu mencari perlindungan pada birokrasi.

4) Menciptakan pemerintahan yang bersih dari segala jenis kecurangan, karena banyak masalah-masalah SARA berakar dari kecurangan ini.


B. Hegemoni, Kekerasan, dan Perlawanan

Berikut ini akan disampaikan mengenai hegemoni, kekerasan, dan perlawanan. Suatu hegemoni dapat disebabkan karena ketika orang tidak bisa berpikiran lain, orang tidak boleh berpikiran lain, bahkan orang tidak boleh berkata lain dari yang digariskan oleh penguasa. Kecuali kata yang memang diharuskan untuk dikatakan seperti itu. Misalnya saja seperti yang telah dikatakan oleh Hotman M. Siahaan diamana pada waktu itu beliau berkesempatan mewawancarai Walikota Surabaya. Walikota saat itu sangat bangga terhadap Bonek (bondo nekat), karena semua orang satu republic ini seolah-olah patuh terhadap Bonek. Dikatakan bahwa hanya dengan bonek-lah 10 November 1945, rakyat bisa bersatu memberontak melawan penjajah di Surabaya.

Latar belakang terjadinya kekerasan dan perlawanan, karena adanya political insecurity. Disampng itu, yang paling utama adalah adanya economic insecurity. Ketika rakyat diberdayakan bukan dalam rangka partisipasi atau kedewasaan politik untuk berdemokrasi, tetapi diberdayakan sebagai satu kekuatan kekerasan yang terorganisir lewat simbol-simbol solidaritas. Apakah itu solidaritas partai, golongan atau termasuk sebenarnya simbol-simbol agama. Pemberdayaan semacam itu ternyata menimbulkan banyak korban yang luar biasa di dalam masyarakat.

Lihat saja kasus di Sampang misalnya. Pada Pemilu tahun 1992 mereka tidak mau menandatangi hasil Pemilu, karena mereka tahu bahwa pemilu itu hasil rekayasa. Barulah sesudah ada campur tangan DPP PPP, Sampang mau menandatangi hasil Pemilu. Pelajaran 1992 membuat mereka lebih dewasa dan lebih intelijen melihat persoalan Pemilu. Seharusnya panitia Pemilu atau Gubernur sadar betul kecenderungan solidaritas agama lebih kuat daripada solidartas birokrasi. Di Sampang ketua PPS dan seluruh panitia PPS terdiri dari guru-guru sekolah yang merupakan lambing birokrasi dan kebetulan mayoritas dari guru-guru itu adalah orang Jawa. Kepanitiaan itu sendiri sudah membuat perlawanan dari warga Sampang bahwa pasti ada rekayasa dalam pemilu.

Berbeda lagi dengan kasus di Pasuruan, tidak hanya masalah kampanye dan Pemilu saja Pasuruan mengalami konflik besar melawan kekuasaan. Di Pasuruan ada sebuah desa, desa itu hidup dari menjual mercon. Mereka biasanya panen menjelang hari raya Idul Fitri dan setiap hari Raya Idul Fitri, desa itu selalu disatroni polisi karena selalu membuat mercon. Namun, pada hari raya Idul Fitri yang lalu ada yang unik. Polisi tidak berani masuk ke desa itu karena ternyata warga desa sudah bertambah canggih membuat mercon, yaitu sudah bisa membuat ranjau dari mercon.

Dimulai dari pintu masuk desa sudah dipasangi mercon dalam bentuk ranjau yang kalau dilewati sepeda motor pasti meledak. Dan dalam kampanye lalu mercon yang meledak itu ternyata diisi dengan kelereng dan paku. Sehinnga dapat kita tarik kesimpulan bahwa bentuk-bentuk itu semua bukan mereka mau mencoba melawan kekuasaan tetapi ketika sumber daya mereka diganggu, sumber rejeki yang setahun sekali itu diganggu oleh kepentingan-kepentingan keamanan dan kekuasaan maka mereka bereaksi.

Pasuruan bagi orang yang sangat awam pun, yang belajar teori-teori ekonomi dan sosial pasti sadar betul bahwa daerah itu sangat potensial untuk menimbulkan konflik. Sebab seluruh wilayah Pasuruan saat ini sedang diplot untuk menjadi wilayah industri yang besar sebagai pengganti Surabaya. Dan seluruh konflik tanah di Pasuruan tidak akan pernah bisa diselesaikan. Bupati yang lama pernah mengalami, bahkan tanah bondo deso dijual untuk kepentingan industry oleh Bupati, karena dianggap milik Negara. Jadi kepentingan esensial dari rakyat Pasuruan benar-benar dirampas sehingga mereka siap untuk melakukan counter hegemoni dengan cara apapun.

Karena rasa ketertindasan dan ketidakberdayaan semakin besar dan semakin multi faset dan multi dimensional akan sangat mudah dipolitisasi untuk melakukan perlawanan, karena itu budaya kekerasan akan terjadi. Dan budaya kekerasan yang muncul dari masyarakat itu sebagai bentuk upaya untuk melakukan pemberdayaan karena tidak ada pilihan lain. Tetapi kebudayaan kekerasan yang muncul dari atas itu sebagai bukti karena kelebihan kekuasaan untuk melakukan pemaksaan terhadapnya. Akibatnya in all out war, perang semua melawan semua, konflik yang sangat keras dan sporadis tetapi dengan biaya sosial yang sangat tinggi. Itulah yang sedang kita alami saat ini, banyak orang menilai kita sedang set back dilihat dari sudut integrasi nasional, hal-hal yang seharusnya sudah selesai dan tidak menjadi persoalan, justru muncul secara fenomenal menjadi persoalan.

Kalau integrasi sosial yang sudah cukup lama berlangsung dibangun di dalam masyarakat dilapis bawah tiba-tiba rusak total, tidak dapat diketahui berapa lama lagi akan dapat terbangun hubungan sosial semacam itu. Di tengah-tengah political insecurity dan economic insecurity di dalam kehidupan masyarakat, konflik-konflik SARA akan potensial menjadi konflik yang lebih keras. Apakah karena datang dari bawah atau juga karena datang dari atas. Ini semua terjadi karena lebih kuat arus deras yang dating dari atas entah untuk kepentingan apa sehingga memicu perssoalan kebawah.

Post a Comment

Previous Post Next Post