1. Pengertian Historiografi Modern
Historiografi modern adalah penulisan sejarah Indonesia yang bersifat kritis atau memenuhi kaidah-kaidah ilmiah. Banyak tulisan yang salah interpretasi dengan mendefinisikan historiografi modern sebagai penulisan sejarah Indonesia setelah Indonesia merdeka. Padahal, sebelum Indonesia merdekapun, kita memiliki karya sejarah yang sengat tepat yaitu historiografi modern. Contohnya Cristiche Beschouwing van de Sadjarah Banten (Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten) yang merupakan karya dari Dr. Hoesein Djajadiningrat (1886-1960).
Historiografi Indonesia Modern dapat diartikan sebagai penulisan sejarah Indonesia yang lebih modern dari pada historiografi Indonesia yang terdahulu yaitu historiografi tradisional, historiografi masa kolonial atau masa reformasi. Tumbuhnya historiografi Indonesia modern merupakan suatu tuntutan akan ketepatan teknik dalam usaha untuk mendapatkan fakta sejarah secermat mungkin dan mengadakan rekonstruksi sebaik mungkin serta menerangkannya setepat mungkin. Historiografi modern merupakan cara menulis, pemaparan, atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
2. Perkembangan Historiografi Modern Indonesia
a. Garis-Garis Pokok dan Pola Perkembangan Historiografi Indonesia
Kesadaran akan historisitas kita menunjukkan perbedaan yang sangat besar antara corak historiografi tradisional, seperti Babad, Hikayat, Silsilah atau Kronik, dengan historiografi modern yang berlandaskan ilmu sejarah. Perubahan dari historiografi jenis pertama ke yang kedua merupakan proses yang bergerak melalui beberapa fase. Sebagian besar historiografi tradisional memuat tindakan-tindakan dari manusia, tetapi dipengaruhi oleh kekuatan dewa-dewa, jadi merupakan teogoni dan kosmogoni yang menerangkan kekuatan-kekuatan alam dan mempersonifikasikan sebagai dewa. Selama suatu kelompok manusia belum hidup sebagai suatu kesatuan politis, maka historiografi belum berkembang. Dengan timbulnya kerajaan atau negara dan bangsa yang hidup sebagai suatu kesatuan politik, maka perhatian timbul terhadap sejarah sebagai kesatuan yang mencakup hubungan antara kejadian-kejadian dan fakta-fakta. Akan tetapi penggerak sejarah masih dilihat sebagai kekuatan kosmis, maka sejarah tidak dibedakan dari alam.
Sejarah berjalan tanpa dipengaruhi atau ditentukan oleh aksi atau motivasi manusia. Jadi lama sebelum orang menulis sejarah mitos telah menjawab pertanyaan wie es eigentlich gewesen, yaitu bagaimana sesuatu sesungguhnya terjadi. Mitos mempunyai fungsi membuat masa lampau bermakna dengan memusatkan kepada bagian-bagian masa lampau yang mempunyai sifat tetap dan berlaku secara umum, maka dalam mitos tidak ada unsur waktu, juga tidak ada masalah kronologi, tidak ada awal maupun akhir. Kronologi merupakan benih sejarah yang berpusat pada tindakan manusia, meskipun masih merupakan susunan kosmis kejadian-kejadian, baik yang alamiah maupun yang super alamiah. Sudah mulai tampak hal-hal yang esensial bagi cerita sejarah, yaitu adanya batasan waktu dan urutan kejadian. (Sartono, 1982: 10)
b. Perkembangan Historiografi Modern Indonesia
Historiografi modern yang tumbuh dari Eropa baru dikembangkan di Indonesia dan Asia Tenggara pada paruh kedua abad ke-19. Perluasan kekuasaan bangsa Eropa yang tidak merata di seluruh wilayah dan sumber bahan yang sedikit tidak memungkinkan adanya perkembangan historiografi modern, maka tulisan yang dihasilkan orang-orang Eropa pada abad ke 16 sampai ke 19 tidak mempengaruhi penulisan orang-orang Asia khususnya Indonesia.
Usaha penulisan sejarah bangsa kita, dalam artian historiografi modern, telah dilakukan pada zaman penjajahan berupa sejarah Hindia-Belanda (Geschiedenis van Nederlands-Indie) sejumlah 5 jilid. Jilid satu tentang prasejarah, jilid dua tentang sejarah Hindu-Jawa, jilid tiga tentang pembentukan VOC, dan jilid empat tentang sejarah Hindia Belanda abad ke-18. Jilid lima ditulis oleh F.W. Stappel terbit tahun 1943, ketika Belanda diduduki Jerman dan kepulauan Indonesia diduduki Jepang. Oleh karena itu, jilid lima ini tidak beredar di Indonesia. Tentu saja, kecenderungan penulisan buku tersebut didasarkan perspektif kolonial Belanda (Purwanro dan Asvi, 2005: 103).
Setelah kemerdekaan Indonesia, mulai didasari kebutuhan akan penulisan buku sejarah oleh anak bangsa. Penulisan sejarah oleh orang Belanda berfokus pada masyarakat Belanda di negara koloni atau di Eropa. Sekiranya terdapat pembahasan tentang bumiputera tentunya dari perspektif Barat (Van Leur, misalnya). Oleh karena itu, muncul pemikiran untuk menulis sejarah oleh orang Indonesia sendiri sebagai history from within. Terjadi dekolonisasi sejarah, dengan motivasi menggantikan buku teks Belanda. Penulisan sejarah ini dilakukan melalui penyaduran dengan membalikkan posisi pelaku sejarah. Model historiografi Indonesia tahun 1957 bergeser dari Belandasentris menjadi Indonesiasentris. Label “pemberontak” bagi Belanda seperti Diponegoro misalnya, berganti menjadi “pahlawan” bagi kita (Piliang, 2001: 2). Akan tetapi, dekolonisasi penulisan sejarah ini cenderung menjadi regionalisasi, dalam hal ini pokok pembahasannya lebih banyak tentang Jawa (Jawasentris).
Historiografi Indonesia Modern dimulai pada tanggal 14-18 Desember 1957, ketika itu kementrian pendidikan mengadakan Seminar Nasional Sejarah yang pertama di Yogyakarta untuk merancang sejarah nasional yang resmi. Pembangunan nasional adalah salah satu tema utama pada tahun 1950-an dan penulisan sejarah nasional adalah bagian yang tidak terpisahkan dari proses ini. Seminar itu membicarakan tentang usaha penulisan sejarah nasional yang berpandangan Indonesia sentris. Sejarah nasional diharapkan menjadi alat pemersatu dengan memberikan penjelasan tentang keberadaaan bangsa Indonesia melalui jejak sejarahnya. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di Indonesia ditulis oleh orang Indonesia sendiri, dengan demikian tentu objektivitasnya dapat dipertanggungjawabkan karena yang menulis sejarah adalah orang yang berada pada saat peristiwa tersebut terjadi atau setidaknya adalah orang Indonesia asli.
Pada saat Seminar Nasional Sejarah yang pertama muncul perselisihan pendapat antara Muhammad Yamin dan Soedjatmoko. Yamin berpendapat bahwa penelitian ilmiah seharusnya mengarah pada interpretasi nasionalis yang dapat berguna untuk memperkuat kesadaran nasional. Sodjatmoko berpendapat nasionalisme mengesampingkan pendekatan ilmiah murni, karena itu ia menjunjung tinggi tanggung jawab perorangan dan semacam universalisme abstrak. Soedjatmoko kalah suara dikarenakan pendekatannya tidak sesuai dengan kondisi masyarakat tahun 1950-an, saat rakyat di Indonesia didorong untuk menjadi orang Indonesia.
Para sejarawan baru membangun sejarah nasional mereka di atas basis kolonial. Meskipun demikian asal-usul Indonesia tetap dipancang kuat-kuat pada masa imperialisme Majapahit yang berpusat di Jawa. Kaum intelektual seperti Muhammad Hatta, Takdir Alisjahbana, dan para pemuka politik diluar Jawa menentang imperialisme Majapahit baru yang terpusat di Jawa. Roeslan Abdul Gani mengemukakan sejarah yang diilhami Marxisme yang menunjukan antithesis antara kekuatan terang dan kekuatan gelap pada akhirnya membuahkan kebebasan bagi rakyat jelata, sementara Hatta menekankan bahwa historiografi sejati Indonesia berkaitan dengan wujudnya manusia pancasila.
Menjelang akhir tahun 1950-an upaya untuk membentuk lembaga-lembaga demokrasi dan otonomi daerah mengalami kegagalan akibat nasionalisme otoriter Soekarno. Indonesia masih menjadi negara tanpa sejarah karena niat konstituante 1957 untuk menulis sejarah nasional yang baru tidak terwujud. Menurut Pramodya Anata Toer yang mempunyai pandangan sama dengan Yamin dan lain-lain beranggapan bahwa meskipun historiografi Indonesia sebaiknya menggunakan metode modern penulisan sejarah yang berkembang di barat, tetapi historiografi Indonesia harus membedakan diri dari yang tidak sejalan dengan kepentingan nasional Indonesia. Sementara itu disisi lain, para wakil militer juga ikut serta menulis ulang sejarah nasional dan memasukannya ke dalam mata pelajaran sejarah. Nugroho Notosusanto pada tahun 1970-an berhasil melakukan militerisasi historiografi Indonesia terutama menyoroti peranan militer dalam menjaga keselamatan negara.
Sejak tahun 1950-an dirintis penulisan sejarah nasional namun gagal, dan baru dilakukan secara serius sesuai Seminar sejarah Nasional II (Yogyakarta, 1970). Pemerintah membentuk tim yang dipimpin Sartono Kartodirjo, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Buku itu terdiri 6 jilid: prasejarah, sejarah kuno, kerajaan-kerajaan islam, periode 1800-1900, 1900-1942 dan 1942-1965 (Purwanto dan Asvi, 2005: 104-105).
Setelah empat tahun mengadakan penelitian, termasuk studi banding di AS (Berkeley) dan Belanda (Leiden), tahun 1975 terbit buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) yang membuahkan kontroversi. Konflik sudah dimulai dalam lingkungan tim penyusunannya. Deliar Noer yang ditugasi menulis “pergerakan Islam 1900-1945”, satu hari dipanggil Nugroho Notosusanto dan diminta mengundurkan diri. Mundurnya Deliar diikuti oleh Abdurrahman Surjomihardjo, Thee Kian Wie, Taufik Abdullah dan kemudian, Sartono Kartodirdjo. Pada kenyataannya, buku SNI ini membuahkan banyak kritik terutama jilid 6 yang disunting oleh Nugroho Notosusanto. Tahun 1993 sempat dilakukan revisi oleh RZ Leiressa, Anhar Gonggong dan kawan-kawan, namun akhirnya buku itu tidak diedarkan.
3. Ciri-ciri Historiografi Modern Indonesia
Secara umum ciri-ciri historiografi modern, yaitu:
1. Menggunakan metode yang kritis
Penulisan sejarah dengan cara yang konvensional (yang hanya mengandalkan naskah sebagai sumber sejarah) yang bersifat naratif, deskriptif, kedaerahan, serta tema-tema politik dan penguasa diganti dengan cara penulisan sejarah yang kritis (struktur analitis).
2. Penghalusan teknik penelitian
Dalam teknik penelitian sejarah menggunakan metode yang tepat yaitu:
- Memilih topik penulisan yang tepat/sesuai
- Mencari dan memilih bukti-bukti sejarah yang sesuai dengan topik
- Membuat berbagai catatan penting (teknik membuat catatan)
- Mengevaluasi secara kritis semua bukti yang ada
- Menyusun hasil-hasil penelitian dalam suatu sistematika tertentu yang telah disiapkan sebelumnya
- Menyajikan dalam suatu cara yang dapat menarik perhatian dan mengkomunikasikan kepada para pembaca
- Dalam teknik penelitian menggunkan teknik studi kepustakaan yaitu dengan melalaui kajian terhadap sumber-sumber tertulis
- Wawancara melalui oral history
- Observasi dilakukan melalui penelitian di lapangan
- Ekskavasi dilakukan melalui penggalian terhadap peninggalan sejarah.
3. Memakai ilmu-ilmu bantu baru yang bermunculan
Secara bertahap berbagai ilmu bantu baru dalam pengerjaan sejarah berkembang mulai dari:
- Penguasaan bahasa
- Epigrafi (membaca tulisan kuno)
- Numismatik (mempelajari mata uang kuno)
- Arkeologi yang mempelajari permasalahan arsip-arsip.
4. Metode pengumpulan sumber (heuristik) harus dikembangkan
Heuristik sebagai tahapan atau kegiatan menemukan dan menghimpun sumber, informasi, dan jejak masa lampau. Jadi, heuristik merupakan tahapan proses mengumpulkan sumber-sumber sejarah. Di samping sumber tertulis, terdapat pula sumber lisan. Dalam sejarah lisan, terdapat informasi-informasi yang tidak tercantum dalam sumber-sumber tertulis. Untuk mendapatkan informasi-informasi itu, penulis harus melakukan wawancara dengan narasumber yang disebut sebagai pengkisah dengan menggunakan alat rekam dan kaset.
5. Penulisan sejarah dengan cara yang konvensional (yang hanya mengandalkan naskah sebagai sumber sejarah) yang bersifat naratif, deskriptif, kedaerahan, serta tema-tema politik dan penguasa diganti dengan cara penulisan sejarah yang kritis (struktural analitis).
6. Menggunakan pendekatan multidimensional
Caranya yaitu dengan menggunakan teori-teori ilmu sosial untuk menjelaskan kejadiaan sejarah sesuai dengan dimensinya dengan menggunakan sumber-sumber yang lebih beragam daripada masa sebelumnya.
7. Mengungkapkan dinamika masyarakat dari berbagai aspek kehidupan yang kemudian dapat dijadikan bahan kajian untuk memperkaya penulisan sejarah Indonesia. Sebagai contoh: Tulisan berjudul ”Pemberontakan Petani di Banten 1888” oleh Sartono Kartodirdjo, seorang sejarawan Indonesia pertama yang menggunakan metode multidimensional dalam penulisannya.
Historigrafi Modern Indonesia
Setelah kemerdekaan bangsa Indonesia maka masalah sejarah nasional mendapat perhatian yang relatif besar terutama untuk kepentingan pembelajaran di sekolah sekaligus untuk sarana pewarisan nilai-nilai perjuangan serta jati diri bangsa Indonesia. Penjelasan tentang historiografi modern di atas belumlah mengedepankan aspek Indonesia sehingga perlu ditambahkan beberapa poin seperti berikut :
a. Hasil penulisan merupakan perbandingan dari berbagai sumber baik, itu sumber kolonial maupun sumber lokal.
b. Tidak hanya mengangkat sejarah orang-orang besar dan negara saja, tetapi lebih pada kemanusiaannya, yaitu kebudayaan.
c. Cara pandang yang digunakan dalam melihat peristiwa tidak lagi dari satu sisi melainkan memandang suatu peristiwa dari berbagai sudut pandang. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya subjektifitas dalam menuliskan sejarah.
d. Mengandung character and nation-bulding (pembangunan karakter bangsa).
e. Mulai muncul gerakan Indonesianisasi dalam berbagai bidang sehingga istilah-istilah asing khususnya istilah Belanda mulai di Indonesia kan selain itu buku-buku berbahasa Belanda sebagian mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
f. Mulai Penulisan sejarah Indonesia yang berdasarkan pada kepentingan dan kebutuhan bangsa dan negara Indonesia dengan sudut pandang nasional (Indonesiasentris). Dengan syarat-syarat sebagai berikut:
- Sejarah yang mengungkapkan “sejarah dari dalam” yang menempatkan bangsa Indonesia sebagai pemeran utama.
- Penjelasan sejarah Indonesia diuraikan secara luas, dengan uraian yang mencakup aspek politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
- Erat hubungan dengan kedua pokok di atas, perlu ada pengungkapan aktivitas dari pelbagai golongan masyarakat, tidak hanya para bangsawan atau ksatria, tetatpi juga dari kaum ulama atau petani serta golongan-golongan lainnya.
- Untuk menyusun sejarah Indonesia sebagai suatu sintesis, yang menggambarkan proses perkembangan ke arah kesatuan geopolitik seperti yang kita hadapi dewasa ini, maka prinsip integrasi perlu dipergunakan untuk mengatur seberapa jauh integritas itu dalam masa-masa tertentu telah tercapai.
g. Orang-orang dan bangsa Indonesialah yang menjadi subjek/pembuat sejarah, mereka tidak lagi hanya sebagai objek seperti pada historiografi kolonial. Penulisnya berasal dari orang-orang akademis/ktitis dalam bidang bahasa, kesusastraan, dan kepurbakalaan.
h. Penulisan buku sejarah Indonesia yang baru awalnya hanya sekedar menukar posisi antara tokoh Belanda dan tokoh Indonesia.
Jika awalnya tokoh Belanda sebagai pahlawan sementara orang pribumi sebagai penjahat, maka dengan adanya Indonesianisasi maka kedudukannya terbalik di mana orang Indonesia sebagai pahlawan dan orang Belanda sebagai penjahat tetapi alur ceritanya tetap sama.
Keadaaan yang demikian membuat para sejarawan dan pengamat sejarah terdorong untuk mengadakan ”Kongres Sejarah Nasional” yang pertama yaitu pada tahun 1957. Pada kongres kedua namanya diubah menjadi ”Seminar Nasional Sejarah”, membicarakan mengenai rencana untuk pembuatan sebuah buku sejarah nasional baru dengan harapan dapat dijadikan semacam buku referensi.
Penulisan sejarah Indonesia modern bertujuan untuk melakukan perbaikan dengan menggantikan beberapa hal seperti:
a. Adanya pandangan religio-magis serta kosmologis seperti tercermin dalam babad atau hikayat diganti dengan pandangan empiris-ilmiah.
b. Adanya pandangan etnosentrisme diganti dengan pandangan nationsentris.
c. Adanya pandangan sejarah kolonial-elitis diganti dengan sejarah bangsa Indonesia secara keseluruhan yang mencakup berbagai lapisan sosial.
.
DAFTAR PUSTAKA
Kartodirdjo, Sartono. 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu Alternatif. Jakarta: PT Gramedia.
suka sekali dengan info info yang dishare
ReplyDeletebundling xl iphone