Pengaruh H. O. S Tjokroaminoto Terhadap Para Tokoh Pendiri Bangsa



1. Biografi H.O.S Tjokroaminoto

Raden Mas Oemar Said Tjokroaminoto, dilahirkan di Bakur, sebuah desa yang sunyi pada tanggal 16 Agustus 1982 bertepatan dengan tahun meletusnya gunung Krakatau di Banten. Peristiwa ini sering dikiaskan oleh orang Jawa bahwa gunung meletus itu akan banyak menimbulkan perubahan terhadap alam di sekelilingnya. Peristiwa ini pula yang kelak dikaitkan dengan meledaknya tuntutan H.O.S Tjokroamioto terhadap pemerintah kolonial Belanda ketika ia menjadi pemimpin Sarekat Islam. (Amelz, 1952: 50). Namun di buku karangan Anshoriy halaman 19 kelahiran H.O.S Tjokroaminoto pada 16 Agustus 1883 di Bakur, Madiun.

Ia terlahir dengan nama kecil Oemar Said. Sesudah menunaikan ibadah haji ia meninggalkan gelar keningratannya dan lebih suka memperkenalkan diri dengan nama Haji Oemar Said Tjokroaminoto atau lebih dikenal H.O.S Tjokroaminoto. Gelar ‘Raden Mas’ baginya adalah hak yang dapat dipergunakannya, sebagaimana ningrat-ningrat lainnya, sebab dalam dirinya mengalir darah ningrat, bangsawan dari Surakarta, cucu Susuhunan. Demikian pula halnya dengan gelar ‘haji’ merupakan lambang dari kealiman. Ketaatan seseorang dalam menjalankan ajaran-ajaran agama Islam. Bagi Tjokroaminoto bukanlah merupakan sesuatu yang asing karena dirinya adalah keturunan kyai ternama yaitu Kyai Bagoes Kesan Besari. Seorang ulama yang memiliki pondok pesantren di Desa Tegal Sari, Kabupaten Ponorogo, Karisidenan Madiun, Jawa Timur yang kemudian memperistri seorang putri dari Susuhunan II. Dengan perkawinanya itu, dia menjadi keluarga Keraton Surakarta. (Gonggong, 1985: 7).

Dari perkawinannya dengan putri Susuhunan tersebut Kyai Bagoes Kesan Besari dikaruniai seorang putra, yaitu Raden Mas Adipati Tjokronegoro. Dalam menjalani kehidupannya, Tjokronegoro tidak mengikuti jejak ayahnya sebgai seorang kyai termasyhur atau menjadi pemimpin pondok pesantren. Tjokronegoro menerjuni pekerjaan di bidang kepamong prajaan sebagai pegawai pemerintah. Selama menjalani karirnya itu, Tjokronegoro pernah menduduki jabatan-jabatan penting diantaranya sebagai bupati di Ponorogo. Oleh karena jasanya pada negeri, ia dianugerahi bintang jasa Ridder der Nederlansche Leeuw.

Tjokronegoro kemudian dianugerahi seorang putra bernama Raden Mas Tjokroamiseno. Tjokroamiseno mengikuti jejak ayahnya dengan menekuni pekerjaan sebagai pegawai pamong praja pula. Tjokroamiseno juga pernah menduduki jabatan-jabatan penting pemerintahan, antara lain sebagai wedana di Kawedanan Kletjo, Madiun. Raden Mas Tjokroamiseno inilah ayah Tjokroaminoto. Beliau mempunyai dua belas orang anak. Berturut-turut:

1. Raden Mas Oemar Djaman Tjokroprawiro, seorang pensiunan Wedana,

2. Raden Mas Oemar Said Tjokroaminoto,

3. Raden Ayu Tjokrodisoerjo, seorang istri almarhum mantan Bupati Purwokerto,

4. Raden Mas Poerwadi Tjokrosoedirjo, seorang bupati yang diperbantukan kepada Residen Bojonegoro,

5. Raden Mas Oemar Sabib Tjokrosoeprodjo, seorang pensiunan Wedana yang kemudian masuk PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) dan Masyumi yang kemudian meninggal di Madiun di zaman yang terkenal dengan istilah ‘Madiun Affair’,

6. Raden Ajeng Adiati,

7. Raden Ayu Mamowinoto, seorang istri pensiunan pegawai tinggi,

8. Raden Mas Abikoesno Tjokrosoejoso, seorang arsitek terkenal yang juga politikus ulung yang pernah menjadi kaetua PSII dan sempat menjabat sebagai menteri di Kabinet Republik Indonesia,

9. Raden Ajeng Istingatin,

10. Raden Mas Poerwoto

11. Raden Ajeng Istidjah Tjokrosoedarmo seorang pegawai tinggi kehutanan,

12. Raden Aju Istirah Mohammad Soebari, seorang pegawai tinggi Kementrian Perhubungan.

Menurut Gonggong (1985: 6), Tjokroaminoto pada masa kecilnya memang nakal dan bandel, tetapi berbeda dengan anak-anak priyayi yang nakal lainnya dia nakal tetapi cerdas. Dia juga bandel tetapi cekatan dalam berpikir. Akibat dari kebandelannya itu ia terpaksa beberapa kali pindah sekolah karena dikeluarkan dari sekolah tersebut. Setelah beberapa kali pindah, akhirnya ia berhasil menyelesaikan sekolahnya di OSVIA (sekolah calon pegawai pemerintah atau pamong praja) di Magelang pada 1902. Di OSVIA, lama pendidikannya adalah 5 tahun dan bahasa pengantarnya adalah bahasa Belanda. Sejak di OSVIA, pemikiran-pemikiran H.O.S Tjokroaminoto makin berkembang seiring dengan pengetahuan yang dimiliki serta didorong oleh perhatiannya terhadap kondisi masyarakat waktu itu. Ketajaman pikirannya dapat dilihat pada ketrampilannya dalam bidang karang mengarang sehingga berbagai surat kabar mulai memuat karyanya. Pemikiran dan perhatiannya banyak mengarah pada soal-soal masyarakat dan kerakyatan. (Anshoriy, 2015: 20-21).

Selesai dari OSVIA, tahun 1902 sampai 1905 ia menjadi juru tulis patih di Ngawi (Jawa Timur), kemudian menjadi patih (pejabat dalam lingkungan pegawai negeri pribumi), pembantu utama pada seorang Bupati (regent). Pada bulan September 1905 ia minta berhenti dari Jabatan. Alasannya, merasa tidak senang dengan kehidupan kepegawaian yang terus-menerus berjongkok dan menyembah pada atasan. Sebagai seorang anak priyayi, Tjokroaminoto tentu saja dijodohkan oleh orang tuanya dengan anak priyayi pula, yaitu Raden Ajeng Soeharsikin. Tjokroaminoto kemudian menikahi Soeharsikin, putri Patih Mangoensoemo yang saat itu menjadi wakil bupati Ponorogo. Kelembutan dan budi pekerti Soeharsikin berhasil meluluhkan sifat Tjokroaminoto yang keras dan berapi-api. Sikap keras dan menentang apa yang tidak sejalan dengan pemikirannya itulah yang membuat Tjokroaminoto pernah meninggalkan rumah sekaligus istrinya. Perbedaan pandangan antara dirinya dan sang mertua juga berpengaruh terhadap kepergiannya. Namun, setelah dirasa cukup menyendiri kemudia ia mengambil istrinya kembali. Ternyata kesetiaan Soeharsikin, dukungan moral, kekuatan dan keteguhan hatinya dalam mendukung suaminya memperjuangkan rakyat telah memberikan kekuatan batin luar biasa bagi diri Tjokroaminoto. (Anshoriy, 2015: 21).

Dalam pengembaraannya, Tjokroaminoto sampai di kota Semarang. Waktu itu, tahun 1905, beliau sudah meninggalkan pekerjaannya sebagai juru tulis patih di Ngawi. Untuk menyambung hidupnya, ia tidak segan-segan menjadi kuli pelabuhan di sana. Malah pengalaman yang tak terlupakan ini mendorongnya untuk memperhatikan kehidupan kaum buruh baik di perkebunan, kereta api, pengadilan, pelabuhan dan sebagainya ketika ia nantinya berkecimpung di dunia pergerakan. Dia lah yang mempelopori berdirinya ‘sarekat sekerja’ yang bertujuan mengangkat harkat kaum buruh. Merasa sulit beradaptasi di Kota Semarang, ia kemudian memutuskan pindah ke Surabaya. Di Kota Surabaya ini ia bekerja pada sebuah firma yang bernama Kooy dan Co. Disamping bekerja beliau juga tidak lupa meluangkan waktu untuk menambah ilmu pengetahuan. Pada tahun 1907-1910, ia mengikuti pendidikan di sekolah B.A.S (Burgerlijke Avond School), sejenis sekolah lanjutan yang dilaksanakan pada sore hari. (Amin, 1995: 11-13).

Setelah menamatkan sekolahnya di BAS, agaknya Tjokroaminoto sudah tidak tertarik lagi untuk meneruskan pekerjaannya di perusahaan dagang tersebut. Kemudian ia berhenti dan bekerja sebagai leerling machinist selama satu tahun lamanya yaitu dari tahun 1911-1912. Kemudian ia pindah bekerja lagi ke sebuah pabrik gula, Rojojampi Surabaya di dekat Kota Surabaya sebagai seorang chemiker. Di antara banyak pekerjaan yang dilakoninya, pekerjaan sebagai jurnalistiklah yang paling disukainya. Beliau pada sebuah surat kabar di Kota Surabaya, yaitu Suara Surabaya. Bakatnya ini semakin tampak jelas semasa ia menjadi pemimpin Sarekat Islam dan PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) di mana ia mampu menerbitkan beberapa surat kabar harian dan mingguan serta majalah, yaitu surat kabar Oetoesan Hindia, surat kabar Fajar Asia, dan majalah Al- Jihad. Pada semua penerbitan itu ia selalu menjadi pemimpin redaksi. Ia memang menyadari fungsi suarat kabar dan majalah sebagai salah satu alat perjuangan. (Amelz, 1952: 50-51).

Akhirnya setelah cukup lama merantau, Tjokroaminoto memutuskan menetap di Surabaya dan membawa serta istri dan anak-anaknya yaitu Siti Oetari, Oetarjo alias Anwar, Harsono alias Moestafa Kamil, Siti Islamijah, dan Soejoet Ahmad. Walaupun dalam suasana sederhana, keluarga ini sangat harmonis dan bahagia. Untuk membantu ekonomi keluarga, Soeharsikin membuka rumahnya untuk indekos para pelajar di Surabaya. Pelajar yang mondok di rumah Tjokroaminoto sekitar 20 orang. Kebanyakan dari mereka bersekolah di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), atau HBS (Hollands Binnenlands School). Di antara siswa yang mondok tersebut adalah Soekarno, Kartosoewiryo, Sampoerno, dan Abikoesno, Alimin dan Moesso. Mereka tidak hanya makan dan tidur di rumah Tjokroaminoto, tetapi juga berdiskusi baik denga sesama teman maupun dengan Tjokroaminoto. Sehingga rumah Tjokroaminoto adalah ibarat kancah yang terus menerus menggembleng dan membangun ideologi kerakyatan, demokrasi, sosialisme, dan anti imperalisme. Dalam mendidik anak-anaknya maupun mengatur para pelajar yang indekos, Soeharsikin dan Tjokroaminoto sangat disiplin meskipun tetap akrab. (Amin, 1995: 13-15)

Pada usia 35 tahun, Tjokroaminoto mencapai puncak karirnya sebagai pemimpin Sarekat Islam selama beberapa periode. Tetapi semua gerak langkahnya tidak akan berhasil, jika tidak mendapat dukungan dari istri tercintanya. Tetapi tidaklah lama Raden Ayu Soeharsikin dapat menyumbangkan darma baktinya kepada cita-cita suaminya, pada tahun 1921, beliau akhirnya berpulang ke Rahmatullah meninggalakan suami dan kelima anaknya. Kematian beliau disebabkan sakit tipus dan sakit perut. Hal ini bermula dari anak bungsu beliau, Soejoet Tjokroaminoto, terkena tipus. Soeharsikin yang menjaga anaknya meninggal dunia. Almarhumah Soeharsikin kemudian di makamkan di Botoputih, Surabaya. (Amelz, 1952: 57). Keluarga Tjokroaminoto amat terpukul dengan kepergian beliau. Mereka larut dalam kesedihan yang mendalam. Namun betapapun kedukaan itu melanda dirinya, Tjokroaminoto tetap pada prinsip yang dipegangnya, berjuang untuk pembebasan bangsanya dari belenggu penjajahan. Untuk itu ia tidak pernah berhenti sampai akhir hayat. (Amin, 1995: 19). Tjokroaminoto meninggal di Surabaya pada 17 Desember 1934 dan di makamkan di TMP Pekuncen, Yogyakarta, pada usia 52 tahun. (Anshoriy, 2015: 19).

2. Pengaruh H.O.S Tjokroaminoto terhadap Para Pendiri Bangsa

Ada sejumlah tokoh pergerakan kemerdekaan yang langsung maupun tak langsung mempunyai hubungan dekat dengan H.O.S Tjokroaminoto. Bahkan, boleh dikata mereka juga merupakan murid maupun rekan dalam berfikir, berjuang, dan berpolitik, sehingga berhasil memberikan darma baktinya yang besar kepada bangsa dan negara Indonesia. Di antara tokoh-tokoh tersebut adalah:

a. Pengaruh H.O.S Tjokroaminoto terhadap Soekarno

Tokoh nasionalis Indonesia yang langsung memperoleh bimbingan H.O.S Tjokroaminoto adalah Soekarno. Hubungan Soekarno dengan keluarga Tjokroaminoto cukup akrab. Sehingga selama kos di sana Soekarno banyak berguru kepada Tjokroaminoto, baik dalam ilmu pengetahuan, agama, kepemimpinan, bernegara, maupun berpolitik. Ketika Ibu Soeharsikin meninggal anaknya masih kecil-kecil. Semenatara Tjokroaminoto sibuk dengan kegiatan sosial politiknya di luar rumah. Dikisahkan waktu itu ada saudara Tjokroaminoto datang menemui Soekarno untuk membantu meringankan beban keluarga Tjokroaminoto. Caranya, dengan menikahi putri sulungnya yang bernama Dyah Oetari, walaupun dia baru berumur 16 tahun dan Soekarno 21 tahun. Akhirnya Soekarno memang jadi menikah dengan Oetari dengan cara ‘nikah gantung’ pada 1921. Setelah Soekarno menjadi menantu, ke mana Tjokroaminoto pergi dia sering ikut serta. Sejak itu, nyaris Soekarno-lah yang selalu menemani ke pertemuan-pertemuan untuk berpidato. Pada waktu itu Tjokroaminoto memang mempunyai pengaruh besar terhadap rakyat jelata. Meskipun demikian, Soekarno menyadari bahwa pidato Tjokroaminoto seringkali monoton. Waktu itu, Soekarno tidak pernah membaca satu buku pun mengenai teknik pidato di muka umum. Cerminannya hanya Tjokroaminoto.

Suatu malam Tjokroaminoto tidak dapat memenuhi undangan ke suatu rapat dan kepada Soekarno diminta untuk menggantikannya. Kali ini adalah suatu pertemuan kecil. Akan tetapi Soekarno menggunakan kesempatan ini sebaik-baiknya. Soekarno benar-benar mendalami lebih banyak lagi persoalan politik di rumah Tjokroaminoto, disebut dapur nasionalisme kala itu. Setelah mengikuti setiap pidatonya maka kawan-kawan seperjuangan mulai mengerti lebih banyak tentang pendirian Soekarno. Kemudian mereka pun mulai setuju dan mengikuti pemikiran dan sikapnya. Lalu mereka memilihnya sebagai sekretaris Jong Java dan beberapa waktu kemudian mengangkat sebagai ketua. Soekarno juga menulis untuk majalah Tjokroaminoto ‘Oetoesan Hindia’ tetapi dengan samaran Bima. (Anshoriy, 2015: 63-65).

b. Pengaruh H.O.S Tjokroaminoto terhadap H. Agus Salim

Haji Agus Salim merupakan seorang intelektual dan perjuangan Islam yang selama setengah abad memberikan baktinya untuk bangsa Indonesia dan agama. Ia juga seorang pemimpin politik berkaliber internasional, pengarang, orator, dan diplomat ulung yang menguasai banyak bahasa dan ilmu pengetahuan. Termasuk pengetahuan yang luas dan dalam mengenai agama Islam. H. Agus Salim beberapa kali keluar masuk berbagai organisasi seperti perkumpulan Teosog, NIVB, dan ISDV. Kegiatan politinya dimulai setelah ia menjadi anggota SI, dan diangkat sebagai anggota pengurus pusat. Setelah mendalami seluk beluk SI, ia bergabung dengan partai itu. Dalam waktu singkat ia menjadi tangan kanan H.O.S Tjokroaminoto dalam kepemimpinan SI. Ia pernah menjadi anggota Volksraad (semacam DPR untuk bumiputera) selama satu periode (1922-1925) sebagai pengganti Tjokroaminoto. Sebagai tokoh pergerakan, seperti halnya Tjokroaminoto, Agus Salim merasakan perlunya menyebarluaskan gagasan-gagasannya kepada khalayak. Maka, masuklah Agus Salim ke dunia jurnalistik, dunia yang semakin mengasah kepekaannya. Sebagai wartawan Fajar Asia, ia sering turun ke lapangan di pedalaman Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.

Memang Tjokroaminoto turut mewarnai progresivitas Agus Salim saat bersama-sama mengembangkan SI. Namun, di SI pula badai menerpa ketika ia dituding Mr. Singgih sebagai mata-mata Hindia Belanda yang menyusup. Tak tanggung-tanggung, tuduhan Mr. Singgih itu dipublikasikan dalam majalah Timboel. Lebih lanjut dikatakannya, ia memang diminta seorang komisaris polisi untuk menyelidiki isu bahwa Tjokroaminoto akan memimpin revolusi dengan ribuan pucuk senjata dari Jerman. Akan tetapi, ketika berkenalan dengan Tjokroaminoto dan SI, Agus Salim malah jatuh cinta dan masuk menjadi anggota SI. Perkenalan dengan SI dimulai dari tugasnya di PID pada tahun 1915. Sewaktu SI disusupi unsur-unsur komunis (Semaun, Tan Malaka, Darsono, dan lain-lain), Agus Salim berhasil menegakkan disiplin partai dari keanggotaan dan pengaruh organisasi politik lain. Setelah Tjokroaminoto meninggal (1934), Agus Salim menggantikannya sebagai pemimpin partai, yang dimulai tahun 1930 berganti nama menjadi Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII). (Anshoriy, 2015: 42-51).

c. Pengaruh H.O.S Tjokroaminoto terhadap Kartosuwiryo

Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo lahir di Cepu, 7 Januari 1907. Pemimpin gerakan Darul Islam (DI), pendiri Tentara Islam Indonesia (TII), dan proklamator Negara Islam Indonesia (NII) ini meninggal pada bulan September 1962. Dia seorang organisator ulung yang mampu mengikat banyak pengikut di kalangan rakyat pedesaan. Selain itu ia juga mempunyai banyak pengalaman dalam politik nasional dan telah memainkan peranan penting dalam gerakan Islam pada masa perjuangan kemerdekaan. Kehidupan Kartosuwiryo di Surabaya adalah di rumah kos H.O.S Tjokroaminoto yang kemudian menjadi mentor politiknya. Waktu dia resmi masuk Sarikat Islam yang sudah berubah menjadi Partai Sarikat Islam (PSI). Selama tinggal di rumah Tjokroaminoto dia bagaikan sekretaris pribadi politikus terkemuka ini sampai tahun 1929. Pengetahuan tentang agama Kartosuwiryo sebagian diperolehnya dari Tjokroaminoto dan para pemimpin SI lainnya. Karena alasan kesehatan, pada 1929 ia pindah ke Malangbong, sebuah kota kecil dekat Garut dan Tasikmalaya. Meskipun di Malangbong, dia terpilih menjadi sekretaris PSII pada 1931, dan bahkan di tahun 1936 terpilih menjadi wakil ketua PSII karena mendapat dukungan dari anggota atas politik hijrahnya itu. Segera setelah terpilih menjadi wakil ketua, ia mengeluarkan brosur yang menjelaskan konsep politik hijrahnya tersebut. (Anshoriy, 2015: 102-104). Pada saat itu, Tjokroaminoto merupakan “kiblat” kaum pergerakan nasional. Bahkan, oleh sebagian masyarakat ia dipandang sebagai malaikat penolong atau juru selamat yang mampu membebaskan mereka dari penderitaan selam berabad-abad. Itulah sebabnya pemerintah kolonial Belanda menjuluki tokoh ini sebagai “Raja Jawa yang tak Bermahkota”. (Ruslan, dkk. 2008: 7).

d. Pengaruh H.O.S Tjokroaminoto terhadap Natsir

Mohammad Natsir adalah seorang negarwan muslim, ulama intelektual, pembaharu, dan politikus muslim Indonesia yang kenamaan dan disegani, bergelar Datuk Sinaro Pandjang. Natsir menempuh pendidikannya mulai dari HIS, MULO, AMS. Di MULO dan AMS ia mendapat beasiswa dari pemerintah Belanda. Selama di AMS, ia tertarik untuk lebih menekuni ilmu pengetahuan agama. Waktu luangnya digunakan untuk belajar agama pada Persatuan Islam di bawah bimbingan Ustad A. Hasan. Ia lulus dari AMS tahun 1930. Nilai prestasi yang diperoleh memungkinkan ia mendapatkan beasiswa untuk masuk perguruan tinggi. Sejak sekolah di MULO, ia sudah mulai mengenal semangat perjuangan. Ia masuk menjadi anggota kepanduan pada JIB. Ketika belajar di AMS ia menjadi anggota JIB cabang Bandung dan kemudian diangkat menjadi ketua (1928-1932). Kegiatan politiknya terus berkembang setelah lebih jauh berkenalan dengan tokoh-tokoh gerakan politik seperti H. Agus Salim, Wihono Purbohadijoyo, dan Syamsu-rijal. Kebiasaan menulis Mohammad Natsir sudah dimulai sejak sekolah di AMS. Keberadaan Natsir tidak dapat lepas dengan Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Sebuah partai politik di Indonesia pasca kemerdekaan yang dibentuk melalui kongres umat Islam Indonesia di Yogyakarta tanggal 7 dan 8 November 1945. Kongres tersebut dihadiri oleh hampir semua tokoh organisasi Islam dari masa sebelum perang serta masa pendudukan Jepang. Pembentukan partai ini mendapat dukungan besar dari para ulama dan tokoh dari kelompok tradisionalis dan modernis. Dukungan terbesar diberikan oleh Muhammadiyah dan NU. (Anshoriy, 2015: 117-120). Kongres Islam Indonesia yang diselenggarakan di Yogyakarta tersebut dimungkinkan bertemu dengan Tjokroaminoto yang sepaham dengan pandangannya mengenai pengetahuan agama sehingga bisa saling tukar pikiran.

e. Pengaruh H.O.S Tjokroaminoto terhadap Alimin

Alimin adalah sosok yang aktif dalam pergerakan nasional sejak muda, ia pernah menjadi anggota Budi Utomo, Insulinde dan juga salah seorang pendiri Sarikat Buruh Pelabuhan. Alimin Prawirodirdjo juga menjadi tokoh yang berpengaruh dalam Sarikat Dagang Islam maupun Sarikat Islam. Sebagai satu-satunya gerakan massa yang terkuat, SI menjadi target opersi ISDV. Pada 23 Mei 1920 ISDV berubah menjadi PKI. Alimin bergabung dengan SI Merah yang berasas sosialis komunis pada saat SI pecah menjadi 2: SI Putih dipimpin oleh H.O.S Tjokroaminoto (berhaluan kanan) dan berpusat di kota Yogyakarta, dengan SI Merah yang dipimpin Semaoen (berhaluan kiri) berpusat di Semarang. (Anshoriy, 2015: 74-75).

Alimin adalah salah satu murid dari Tjokroaminoto yang tinggal indekos di rumah Tjokroaminoto bersama tokoh pendiri bangsa lainnya. Untuk Alimin sendiri dalam pergerakan nasional memilih beraliran komunis. Pada tahun 1948 di Madiun, Alimin terlibat pertarungan dengan Soekarno. Hal ini mengisyaratkan bahwa pemikiran Tjokroaminoto diintrepretasikan berbeda oleh para muridnya.




f. Pengaruh H.O.S Tjokroaminoto terhadap Semaun

Semaun adalah ketua umum pertama PKI, kemunculannya di panggung politik pergerakan dimulai pada usia 14 tahun. Saat itu ia bergabung dengan Sarikat Islam di Surabaya. Setahun kemudian (1915) bertemu dengan Sneevliet dan diajak masuk ke ISDV, sebuah organisasi sosial demokrat Hindia Belanda Surabaya yang didirikan Sneevliet dan sarikat buruh kereta api dan trem Surabaya. Bersama dengan Alimin dan Darsono, Semaun mewujudkan cita-cita Sneevliet untuk memperbesar dan memperkuat gerakan komunis di Hindia Belanda. Sikap dan prinsip inilah yang membuat renggang hubungannya dengan anggota SI. Pada 23 Mei 1920, Semaun mengganti ISDV menjadi Partai Komunis Hindia. Tujuh bulan kemudian, namanya diubah menjadi Partai Komunis Indonesia dan Semaun sebagai ketuanya. PKI awalnya adalah bagian dari Sarikat Islam. Tetapi akibat terjadinya perbedaan paham di dalamnya membuat kedua kekuatan besar di SI ini berpisah pada Oktober 1921. Pada akhir tahun itu juga Semaun meninggalkan Indonesia untuk pergi ke Moskow, di mana Tan Malaka menggantikannya sebagai Ketua Umum. Setelah kembali ke Indonesia pada bulan Mei 1922, Semaun mendapatkan kembali posisi Ketua Umum dan mencoba untuk meraih pengaruhnya kembali di SI, tetapi kurang berhasil. (Anshoriy, 2015: 71-73).




DAFTAR PUSTAKA


Amelz. 1952. HOS Tjokroaminoto Hidup dan Perjuangannya Jilid I. Jakarta: Bulan Bintang.
Amin, M. Masyhur. 1995. H.O.S Tjokroaminoto, Rekonstruksi Pemikiran dan Perjuangannya. Yogyakarta: Cokroaminoto University Press.
Anshoriy Ch, Nasruddin dan Agus Hendratno. 2015. HOS Tjokroaminoto: Pelopor Pejuang, Guru Bangsa, dan Penggerak Sarikat Islam. Yogyakarta: Ilmu Giri.
Feith, Hebert. 1995. Soekarno Militer dalam Demokrasi Terpimpin. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Gonggong, Anhar. 1985. H.O.S Tjokroaminoto. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Post a Comment

Previous Post Next Post